Bercerita, Sudahkah Anda Membiasakannya?

Selasa, 12 Februari 2008 10:15 WIB | 5.664 kali
Bercerita, Sudahkah Anda Membiasakannya?

Jangan Tinggalkan

Manusia itu unik, begitupun dengan anak. Tak ada manusia di dunia ini yang benar‑benar persis sama. Sebagian anak mungkin tak berkeberatan dan cukup menerima jika harus dinasihati secara langsung. Narnun, bagi sebagian anak, mereka memang tak bisa menerima nasihat langsung, sekalipun dari kedua orangtuanya.

Wiwi Hartanti, seorang ibu yang aktif di organisasi perempuan Persaudaraan Muslimah (Salimah) mengaku putri pertamanya, Nusaibah Hurriyyati, bila dinasihati dengan nada yang sedikit tinggi akan langsung tersinggung. Sejak kecil, Hurri yang juli ini genap berusia 3 (tiga) tahun memang tak biasa dimarahi.

Tak pernah dimarahi? Apakah Hurri tak pernah melakukan ‘kesalahan'? Tentu saja pernah. Walau tak disengaja, ada beberapa perilaku Hurri yang tak diperkenankan kedua orangtuanya. Misalnya, Hurri pernah tiba-tiba bernyanyi dengan irama rap dengan syair yang dilafadzkan pun tak baik untuk di dengar. Saat itu, Wiwi merasa tak pernah mengajarkan Hurri. Entah dari siapa Hurri belajar lagu itu.

Bila langsung dilarang, Hurri biasanya langsung melipat muka, cemberut. Tapi ternyata, hasilnya akan berbeda bila Wiwi menggunakan metode kisah. "Bila ada yang kurang baik dengan Hurri, akan lebih mempan jika menggunakan dialog atau berkisah. Apalagi bila saya membedakan suara tiap‑tiap karakter dalam kisah, Hurri pun bertambah senang" jelas Wiwi yang juga pengisi program 'Klinik Keluarga' di sebuah radio swasta di Bandung.

Kisah tergantikan Sinetron

Menilik begitu besar manfaat kisah, lantas, apakah kita. telah menjadikan kisah-kisah penuh makna sebagai santapan ruhani anak? Wiwi dan Dilla, hanya sebagian kecil orangtua yang 'melek' bahwa kisah bukan sekadar mengucap atau mengulang‑ulang barisan kata. Selebihnya, entah dengan alasan sibuk atau tidak percaya diri, sebagian orangtua masih merasa berkisah sebagai kegiatan dialog dengan anak yang tak terlalu penting.

Tak sedikit orangtua yang kemudian menggantikan kehadiran fisiknya lewat kotak ajaib yang beken disebut televisi. Kini, banyak orangtua yang justru senang anaknya duduk tenang dihadapan televisi sepanjang hari. Televisi kini menjadi teman setia banyak anak.

"Sayangnya, banyak diantara orangtua, pendidik, guru‑guru, hingga ustadzah atau ustadz, jarang berkisah pada anak. Sehingga yang muncul akhirnya berkembanglah cerita‑cerita seperti di sinetron. Tanpa sadar, anak sudah dikenalkan idola baru. Sedang, idola. sesungguhnya, seperti para nabi, para sahabat, tidak lagi anak kenal," tandas Ustadz Wuntat yang juga aktif bersama Kak Bimo di Silaturahim Pecinta Anak (SPA), Divisi Ardika, Yogyakarta yang memfokuskan diri menanarnkan nilai pada anak lewat metode berkisah.

Apalagi, menurut pendapat Ustadz Khozin tayangan‑tayangan televisi seringkali menampilkan kisah‑kisah syirik. Kisah yang harusnya wajib dihindarkan orangtua pada sang anak. Pun kisah‑kisah yang berkembang di kalangan anak kini banyak yang tidak sesuai dengan kaidah‑kaidah islam yang menekankan kesungguhan, kerja keras dan usaha. Anak pun dibentuk menjadi pribadi 'instant yang ingin serba cepat. Saat meminta sesuatu, saat itu pula mereka ingin langsung mendapatkannya. "Bisa jadi ini semua karena kisah‑kisah yang kita sampaikan pada anak adalah kisah- kisah yang tak mendidik," nilai Ustadz Khozin sambil bercerita tentang beberapa tayangan kartun.

Kenyataan ini sungguh jauh berbeda dengan perilaku para sahabat. Bagi mereka, menceritakan kisah tentang Rasulullah kepada anak seperti sedang mengajarkan al qur'an. Artinya, sejarah hidup Rasulullah sangat penting dikenalkan pada anak‑anak. Setidaknya ada dua alasan mengapa berkisah tentang Rasulullah sangat penting. Pertama, dengan mengkisahkan Rasulullah maka saat itu pula anak‑anak dikenalkan dengan teladan sesungguhnya.

Dengan gaya bahasa yang mudah diterima anak, kisah-kisah perjalanan Rasul sejak beliau lahir hingga wafat sangat tepat untuk penanaman nilai. Misalnya, kisah Rasul yang sejak kecil sudah membantu sang paman, yang tak lain telah dianggap orangtua, tentu akan memberi kesan tersendiri pada anak bagaimana seharusnya berbakti pada orangtua. Hanya saja, Ustadz Khozin mengingatkan bahwa orangtua harus selalu merujuk pada kitab shiroh yang shahih saat berkisah tentang Rasul.

Walau buku shirah nabi telah banyak beredar di masyarakat, namun sesekali membacakan langsung pada anak akan jauh lebih baik. Karena, saat membacakan, orangtua dapat mengisahkan sesuai kondisi anak masing‑masing. Belum lagi reaksi anak yang kegirangan karena orangtuanya meluangkan diri untuk berkisah pada mereka.

Seperti rasa bahagia yang terpancar pada Fariha lhda Alhusnayain (7) dan Gulam Muhammad Zahron (7), murid kelas 1 SD Islam Mutiara Hati, Bandung, karena memiliki orangtua yang gemar berkisah. "Bunda dan Ayah sering berkisah di rumah. Iffa paling senang kalau mereka mengarang sendiri kisahnya. Apalagi ayah dan ibu sering meniru suara tokoh‑tokoh cerita. jadi lebih seru" ujar Iffa, gadis berkerudung itu antusias.

Saat anak merasa gembira dengan. apa yang dilakukan orangtuanya, di saat yang sama tentu orangtua akan merasa lebih gembira karena mampu membuat gembira anaknya. Kepuasan berkisah, menurut Ustadz Wuntat akan terasa bila kita merasa lega dan bahagia setelah menuangkan kisah itu pada anak. jadi, apa lagi yang membuat kita masih ragu. berkisah pada anak‑anak kita?



Yuk Bagikan :

Baca Juga

Potensi "Anak Nakal"
Senin, 31 Oktober 2016 09:49 WIB
Telepon Aku dong, please
Senin, 19 Januari 2015 12:19 WIB
Bermain, Apa dan Mengapa?
Senin, 19 Januari 2015 05:23 WIB