Abatasa - Belajar Bersama

Neno Warisman: Manajemen Shalat Pada Anak (Bag. 1)

pada Jum'at, 30 November 2007 09:18 WIB

”Bunda...aku kan udah tahu caranya pasang ’pampers’ dewasa, kalau nanti aku dah baligh. Tau nggak apa yang aku seneng kalau aku dah baligh?” matanya mengerjab-ngerjap seperti binatang.

”Apa ya? Hmm... soal dipercaya kali ya? Kan udah gede, atau hmm... apa ya? Bisa jalan-jalan jauh? Atau..hmm..apa ya?

”He..he..he.. Bunda, tapi jangan marah ya...janji ya...!”

”Ah adik, kayak bundanya suka marah-marah aja...Emang Bunda suka marah?”

”Hmm... suka juga sih, tapi ini jujur, lho..., Bunda suka marah tapi kalau anak-anaknya keteraluan! Iya kan?”

Ibu tersebut mencubit pipi anaknya dengan gemas, lalu berkata, ”Oke deh, kalau Bunda keteralaluan, maafin juga ya, Dik...”

Mereka saling berpelukan.

”O ya tadi, apa yang enak... kalau adik udah baligh?”

Sambil merapatkan badan dipangkuan ibunya, anak tersebut berkata, ”He..he..he.. enaknya?..he..he.. enakmya kita bisa nggak shalat! He..he..he.. Bunda enggak marahkan?”

Sang ibu mesem pahit, ”Iya juga ya Dik...he...he...susah ya Dek shalat terus?”

Bagi Anda yang pernah membaca buku berjudul ’Matahari Odi Bersinar Karena Maghfi’ akan menemukan cuplikan dialog antara ibu dan anak di atas. Neno Warisman, sang penulis sekaligus sang ibu yang ada dalam cerita, dengan jeli menggambarkan kepolosan anak, termasuk dalam perkara shalat. Bagaimana dengan Anda yang berperan sebagai ibu, kira-kira reaksi apa yang akan Anda tunjukkan ketika mendapati ungkapan polos seperti yang ada dalam dialog tadi?

Apa yang dijalankan Bunda Neno, demikian kini ia akrab disapa, dalam upaya mendidik anaknya disiplin shalat, bolehlah menjadi alternatif referensi. Aktris sinetrin terbaik FSI 1990 ini punya kiat dan pandangan tersendiri soal membiasakan diri anak shalat. Neno yang kini menjadi salah satu icon dunia pendidikan anak di negeri ini mengakui bahwa ada saat anak-anak merasa malas untuk melakukan shalat, yang hal itu sebenarnya –kalau mau jujur—juga pernah dialami kita para orang tua.

Di sela-sela kesibukannya mengisi acara di Kota Duri, Riau, beberapa waktu lalu, Bunda Neno dengan antusias berbagi cerita dan hikmah perihal membiasakan anak shalat. Salah satu hal yang menarik adalah memberi kesempatan anak untuk malas shalat. Bagimana yang dimaksud Bunda dari Ghifari, Maghfi dan Odi soal memberi kesempatan malas ini? Berikut kutipan wawancara Bunda Neno dengan Diah Novi Wulandari dari Auladi, di tengah perjalanan Duri-Pekanbaru. Kesan ramah, energik dan bersemangat tak pernah lepas sepanjang wawancara. Menunjukkan kepedulian yang sungguh-sungguh atas setiap kata yang diungkapkan pendiri Neno Educatin Center ini.

Bagaimana menurut Bunda, pola yang terbaik untuk membiasakan anak disiplin melaksanakan shalat?

Sebenarnya konsep itu sudah Allah SWT tuangkan melalui Al Quran di dalam surat Luqman. Ada beberapa tahap yang mestinya dilakukan orang tua sebelum memerintahkan anaknya shalat. Dalam surat Luqman itu kan yang pertama mengenal Allah SWT, ”Ya Bunayya laa tusyrik billah. Inna syirka ladzulmun ’adzhim.” Wahai anakku jangan memepersekutukan Allah SWT dan seterusnya. Jadi yang pertama yang dijadikan dasar dalam mendidik anak adalah dia merasa dekat dulu dengan Allah SWT, bukan perintahnya dulu. Artinya dia merasa dekat dulu, merasa akrab dengan Allah SWT. Nah, bagaimana bisa merasa akrab kalau Allah SWT itu dikenalkan dengan cara yang salah. Jadi tugas pertama sebelum meminta dia shalat, kita perkenalkan dulu bahwa Allah SWT adalah tokoh. Tokoh yang sangat baik, yang sangat indah, segala-galanya.

Itu dari mana? Nah kita ajak anak tadabbur. Sempatkan diri para orangtua untuk duduk sejenak, misalnya duduk berdua di depan rumah berangin-angin. ”Subhanallah Nak, siapa yang mengirimkan angin? Enak sekali angin. Coba lihat bulan, bintang berkedib-kedib nggak ada yang menyalakan. Maha Besar Allah SWT. Lalu matahari..dia terbit dan tenggelam nggak pernah telat ya? Matahari disiplin sekali, siapa yang mengatur matahari?”

Jadi dari takjub itu dia merasakan bahwa Allah SWT itu adalah dzat yang luar biasa. Itu penting ditanam dulu. Baru konsep belonging. Konsep belongin akan berjalan kalau konsep itu disampaikan secara eksplisit oleh orang tua kepada anaknya. ’Ummi sayang sekali kepadamu, tapi Allah SWT lebih sayang. Sesayang-sayang Bunda kepadamu, lebih sayang Allah SWT padamu.’

Shalat itu hal yang pertama akan ditanyakan, itu rangkaiannya dengan kematian. Jadi orangtua harus seimbang. Jadi memberitakan kabar-kabar gembira pada anak. Ada seorang anak yang sangat tegang karena ibunya selalu menceritakan balasan yang menyeramkan tentang akhirat. Misalnya ketika pagi hari melihat bunga mekar, kita katakan, ”Subhanallah, Allah SWT mengirimkan malaikat untuk memekarkan bunga ini pada saat kita sedang tidur. Malaikat Allah SWT itu banyak sekali, untuk menjaga gigi adek.” Jadi yang ghaib juga mulai dikenalkan.

Kalau sudah kita kenalkan bahwa Allah SWT itu adalah pihak yang paling berpengaruh terhadap dia, kita tanamkan tauhiidnya. Barukan ayat berikutnya adalah tentang orang tua. Belum tentang shalat dulu loh. Berbuat baik kepada ibu bapak gimana? Saat ibu memanggil dan anak menjawab ’Nantilah’, anak pun akan menangkap bahwa ibu dan bapak itu bisa ditunda dalam hidup kita saat kita membutuhkan dia. Nanti dia akan menunda kita dalam hidup kita. Anak kita perlu tahu bahwa orangtua itu penting untuk kita, sehingga kita pun penting bagi dia. Jadi penting mencontohkan berbuat baik kepada orang tua.

Baru berikutnya perintah shalat. Keteladanan orang tua dalam hal ini sangat penting. Kita jadikan keteladanan itu mengalir di dalam rumah. Itu berawal dari bagaimana berbuat baik terhadap orang tua. Nah untuk anak berbuat baik itu, orang tua harus berbuat baik dulu. Kita nggak dapat gratis dari anak kita. Kalau kita hanya melihat anak kita sebagai anak biologis kita, kita nggak akan pernah sampai pada shalatnya dia. Karena dia sendiri dari ruh, akal, badan. Ketiganya harus kita santuni, kita harus berbuat baik pada ketiganya. Kalau misalnya kita minta dia shalat, tapi kita abuse sama akalnya maka kita nggak dapat. Nggak bisa cuma satu terus kita mau dapat semua, harus ketiga-tiganya. Barulah kita mengenalkan shalatnya. (bersambung...)

#