Abatasa - Belajar Bersama

Jangan Rusak Pede Anak (Bagian Keempat)

pada Senin, 22 Oktober 2007 08:47 WIB

Kini kita menyadari, betapa banyak hal yang dapat memberi pengaruh buruk untuk dikatakan membunuh kepercayaan diri anak. Ia bisa berada di mana saja. Orang tua, saudara, guru, teman-teman sebanya hingga orang dewasa di sekitarnya.

Seorang anak berusia 9 tahun, Indradhi Faisal Ibrahim misalnya mengaku pada Auladi kadang pede-nya bisa tiba-tiba menguap ketika mendapat ’godaan’ dari teman-temannya. ”Awalanya percaya diri kalau bisa ngerjain tugas sendirian. Kan harus percaya ma Allah. Namun, seringkali ga pede ketika digodain teman-teman,” tutur bunngsu dari empat bersaudara ini.

Rasa kurang percaya diri seringkali tercipta karena anak terbiasa bergantung pada orang dewasa di sekitarnya, terutama orang tua. Sejak mula rasa ketergantungan tersebut tak sengaja diciptakan orang tua. Setiap orang tua memang ingin anaknya mandiri. Namun, alam bawah sadar seringkali menyebabkan orang tua ingin anaknya bergantung padanya. Hal ini tak lain akibat orang tua tak ingin ’dibuang’. Orang tua ingin selalu merasa dibutuhkan oleh anak-anaknya.

Padahal, para ahli yakin salah satu kunci ’kesehatan’ psikologis seseorang, termasuk buah hati kita, adalah ketika ia memiliki keyakinan akan masa depan yang akan dihadapi. Kebalikannya,  ketika seseorang tidak percaya diri menghadapi hidup dan masa depan, maka itulah akar kelesuan dan kejenuhan hidup. Ketika anak dibiasakan bergantung pada orang tua, guru, saudara, dan pembantu, lantas kapan anak mulai belajar mandiri?

Kita selalu berharap, anak kita bisa menjadi khalifah di muka bumi. Khalifah yang bertebaran di bumi Allah SWT dengan membawa rahmat bagi semesta alam. Ketika rasa percaya diri pada anak kita ’bunuh’, bagaimana mungkin mereka dapat tegak eneguhkan panji-panji Islam di muka bumi?

Sekali lagi, bukan soal kekhawatiran dan perlindungan Anda yang dipertentangkan, tapi bagaimana cara Anda mengekspresikan kekhawairan dan memberi perlindungan itu yang menjadi fokus perhatian. Membuat anak belajar bertanggungjawab akan kesalahan barangkali dapat menjadi pilihan daripada sekadar menyalahkan atau memberi omelan. Wallahu’ala bishshawab.

#