Rahasia Meredakan Sakit

Kamis, 11 Februari 2010 11:54 WIB | 7.094 kali
Rahasia Meredakan Sakit
Ketika si kecil akan disuntik atau dioperasi, ada berbagai jalan untuk menghindarkan dia dari rasa sakit berlebih. Namun dokter mungkin tidak pernah mengatakan caranya.

Menghentikan Tangis

Salah satu guru besar saya di sekolah kedokteran mengatakan, praktik dokter anak banyak kemiripan dengan praktik kedokteran hewan. Tidak ada binatang atau bayi manapun yang bisa berbicara. Jadi untuk menolong mereka, dokter perlu bicara dengan orang tua, mencari petunjuk fisik yang samar, dan memaknai perasaan anak yang keluar tanpa kata.

Namun pikirkanlah apa yang dokter lakukan terhadap bayi, meskipun niatnya baik. Sebagai ucapan selamat datang sesaat setelah bayi lahir, kami menusuk paha mereka dengan suntikan vitamin K. Sebelum bayi-bayi itu meninggalkan rumah sakit, kami menyayat kaki mereka dengan pisau bedah berbentuk seperti pisau cukur  untuk mengambil darah demi tes kesehatan. Di banyak rumah sakit, dokter memotong lapisan kulit penis anak lelaki tanpa anestesi topikal. Dan setiap beberapa bulan, bayi-bayi merasakan olesan antiseptik alkohol, disertai beberapa kali suntikan imunisasi. Tangisan anak adalah lagu pengiring kehidupan seorang dokter anak.

Dan itu dilakukan saat anak-anak dalam keadaan sehat. Demam bisa menjadi gejala meningitis pada bayi, jadi mungkin mereka membutuhkan suntikan pada sumsum tulang belakang—biasanya dilakukan tanpa ada anestesi—untuk mengesampingkan infeksi serius. Banyak dokter UGD yang memekerjakan pegawai yang bertugas sebagai “si penahan”, yang tugas utamanya adalah memegangi bayi dan batita yang berontak selama dilakukan prosedur menyakitkan seperti biopsi sumsum tulang belakang. Untuk melakukan sayatan yang tergolong dalam, terkadang kami harus mengikat anak dengan suatu alat penahan, menahan lengan mereka sambil kami menjahit luka robek di wajah mereka dengan hati-hati.

Sulit dibayangkan bila dokter menerapkan cara tersebut pada anak yang sudah besar atau orang dewasa. Mungkin kami tidak memedulikan rasa sakit pada anak usia dini, bukan karena kami tidak punya hati, tapi karena kami  tanpa sadar berpikir, mereka belum sepenuhnya manusia sehingga mereka belum dapat benar-benar mengalami atau memahami rasa sakit. Akibatnya, anak-anak menderita rasa sakit sia-sia di rumah sakit dan klinik, dan bahkan di rumahnya sendiri.

Pelajaran dari Masa Lalu yang Menyakitkan

Selama puluhan tahun, dokter percaya, bayi tidak bisa merasakan sakit atas dasar studi tidak sempurna yang menunjukkan bahwa bayi yang sedang tidur tidak bereaksi pada tusukan ringan. Faktanya, hingga tahun 1980-an, banyak bayi baru lahir yang menjalani operasi jantung tanpa mendapatkan obat penangkal rasa sakit—mereka hanya diberikan obat pelumpuh yang memaksa mereka agar tetap terbaring, tapi sadar sepenuhnya, saat dada mereka dibedah. Praktik seperti ini sangat merisaukan Kanwaljeet Anand, MD, direktur Arkansas Children's Hospital Research Institute Pain Neurobiology Laboratory di Little Rock, yang memerhatikan bahwa detak jantung bayi bertambah cepat dan tekanan darah menjadi rendah setelah operasi jantung tanpa pengendali rasa sakit. “Mereka tampak tertekan luar biasa,” kata dia kepada saya belum lama ini. Dua puluh tahun lalu, Dr. Anand menerbitkan studi yang menunjukkan bahwa penggunaan obat anestesi yang tepat selama operasi jantung bayi mengurangi kematian secara dramatis. Temuannya membantu mengubah cara pikir dokter tentang rasa sakit yang dialami bayi baru lahir, dan kini anestesi umum merupakan prosedur standar bagi bayi yang menjalani operasi.

Penelitian-penelitian baru lainnya telah membuktikan bahwa rasa sakit ringan sekalipun dapat membawa dampak besar. Para dokter di Kanada misalnya, menemukan bahwa bayi baru lahir yang disunat tanpa bius lokal mengalami bentuk  penyimpangan pasca-traumatik. Studi lain yang dimuat di Journal of the American Medical Association menunjukkan, bayi baru lahir yang sering dites darah akan rewel begitu kulit mereka diusap dengan alkohol. Dan menurut survei terhadap anak yang dirawat di rumah sakit dari berbagai usia, salah satu rasa nyeri terparah mereka alami saat diinfus. "Ilmu pengetahuan semakin menjelaskan bahwa rasa sakit yang tidak ditangani dengan tepat dapat menimbulkan bahaya," ujar Gary A. Walco, PhD, guru besar anestesi di University of Washington School of Medicine, Seattle. Dalam artikel-artikel untuk jurnal medis, ia berargumen bahwa penanganan rasa sakit yang tepat pada anak adalah hak asasi manusia. ”Pada sebagian besar kasus, anak-anak tidak perlu merasa sakit karena tindakan medis,” katanya.

Sayangnya, pesan ini belum dipahami secara luas. Pada 2006, survei terhadap unit perawatan intensif bayi baru lahir menemukan bahwa dokter hanya memeriksa rasa sakit pada 10 persen bayi baru lahir setelah operasi besar, dan banyak anak tidak diberikan obat penangkal rasa sakit untuk menenangkan mereka. Bayi-bayi di perawatan intensif mendapatkan rata-rata 14 kali tindakan menyakitkan dalam sehari.

Rasa Sakit Bisa Dihindari

Jika bertanya kepada orang tua manapun apakah dokter anaknya memberikan perlakuan khusus sebelum menyuntikkan vaksin, tes darah, atau prosedur lainnya, Anda mungkin akan mendapatkan tatapan kosong sebagai jawabannya. Satu studi menakjubkan menemukan, kebanyakan orang tua bersedia tinggal 1 jam lebih lama di ruang praktik dokter demi menghindarkan rasa sakit pada anak mereka, dan ¾ dari mereka mengatakan akan membayar Rp 150.000 untuk metode apapun yang bisa menyingkirkan rasa sakit. (1/3 orang tua bahkan bersedia membayar lebih dari Rp 1.000.000!)

“Penting untuk menjadi pembela anak Anda,” ujar Dr. Walco. Namun kenyataannya, bahkan orang tua yang mengetahui adanya pilihan obat pereda sakit, tidak selalu memaksa dokter untuk memberikannya. Dr. Anand ingat saat putrinya dilahirkan di rumah sakit Boston dan membutuhkan tes darah. Sebelum menusuk kakinya, seorang perawat berkata padanya, ”Jangan khawatir, dia tidak akan merasa sakit.” Dr. Anand menjawab, ”Tapi saya tahu bayi bisa merasakan sakit.” Perawat itu tersenyum dingin kepadanya dan berkata, ”Itu karena Anda seorang ayah.” Diberi jawaban sinis seperti itu, Dr. Anand memilih diam saat si perawat mengambil darah putrinya.

Terkadang, saya menoleh ke belakang dengan penuh penyesalan bahwa saya justru memerburuk kondisi sewaktu memeriksa batita yang tidak kooperatif atau mendengarkan jeritan bayi. Berhadapan dengan anak-anak yang ketakutan, orang tua dan dokter menjadi mudah frustrasi, tapi ketegangan kita bisa memerburuk kondisi anak. Sebenarnya tidak sulit untuk melakukan tes darah atau memberikan vaksin tanpa rasa sakit. Tidak perlu temuan medis canggih, dan biayanya pun ringan. Sepengetahuan saya, Anda hanya perlu persiapan.

Baru-baru ini misalnya, seorang bayi di klinik jantung anak memerlukan tes darah, dan ibunya meminta sebisa mungkin tes itu dilakukan tanpa rasa sakit. Sebelum tes darah itu, seperti yang sering saya lakukan, saya memberikan obat resep anestesi topikal bernama EMLA (harga obat itu di apotek setempat hanya $2 per dosis), dan  si ibu mengoleskan obat tersebut ke lengan bayi satu jam sebelum kunjungan kami. Krim itu menyerap ke dalam kulit sehingga suntikan tidak terasa sakit.

Beberapa menit sebelum jarum suntik menusuk kulit, kami memberi empeng yang dicelup ke air gula kepada bayi, yang dipercaya bisa mendorong pelepasan endorfin ke otak. (Penelitian menunjukkan bahwa gula menyingkirkan rasa sakit akibat jarum suntik hingga 80 persen pada bayi.) Lalu kami menyelimuti bayi, mengeluarkan lengannya, dan sang ibu mengalihkan perhatian bayi dengan foto di ponselnya. Perawat kami mengikatkan turniket (alat penghenti pendarahan) yang kecil dan mengambil ¼ sendok teh darah. Sungguh, si bayi sama sekali tidak menangis. Kami tidak hanya bisa membebaskan dia dari rasa sakit, tapi saya pikir kami juga ikut membangun ikatan ibu-anak tersebut. Alih-alih merasa tidak bisa berbuat apa-apa, si ibu justru merasa berdaya karena dia telah berhasil menenangkan putrinya. [Darshak Sanghavi, MD]

Sumber : parentsindonesia.com


Yuk Bagikan :

Baca Juga

Potensi "Anak Nakal"
Senin, 31 Oktober 2016 09:49 WIB
Telepon Aku dong, please
Senin, 19 Januari 2015 12:19 WIB
Bermain, Apa dan Mengapa?
Senin, 19 Januari 2015 05:23 WIB