Potensi "Anak Nakal"
Oleh Admin pada Senin, 31 Oktober 2016 09:49 WIB
Bismillah walhamdulillah, asholatu wassalamu ala Rosulillah. "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)." (Qs. Ali Imron: 14)
KATA nakal’ sering dijadikan label yang melekat bagi seseorang jika orang tersebut teramat sering melanggar ‘aturan atau norma’. Ada pula sosok-sosok orang tua yang cepat melabeli anaknya dengan sebutan "anak nakal", yang terkadang dianggap hal biasa dan sebutan main-main saja. Beda persepsi yang dikarenakan perbedaan latar belakang, dapat menyebabkan telinga orang tua lainnya menjadi tidak nyaman dengan sebutan itu.
Padahal, ada beberapa teman sekolahku, dulu merasa bangga dengan sebutan ‘anak nakal’, qodarulloh label ini malah menyiratkan bahwa anak yang dimaksud sangatlah cerdas. Abangku pun ‘jadi anak nakal’ semasa remaja dengan mencari uang jajan sebagai kernet bus dan angkutan kota. Itu ternyata dilakukannya karena menolong seorang sohib di sekolahnya, dan ia ingin mentraktir teman-temannya dengan tidak meminta uang dari orang tua.
Dua teman senasa SMP, ‘anak nakal’ yang sudah jadi polisi sekarang. Dahulu, ‘kerjaan mereka’ adalah ‘merampas alat tulis teman-teman perempuan’, maksudnya ‘meminjam tanpa bilang, lalu minta dikejar-kejar dan kayak main petak umpet’, hehehehe.... Dan itu berhenti berlariannya jika anak perempuan (yang jadi korban) menangis. Tak bosan pula, tiap hari ada saja yang ‘dibikin nangis’. Namun qadarulloh, saat mereka jumpa di grup alumni kini, justru saling meminta maaf dan hal itu adalah bagian dari kenangan indah masa sekolah.
Aku pun pernah dianggap ‘anak nakal’ oleh bibiku. Tatkala mamaku tidur siang, semasa aku duduk di bangku Sekolah Dasar, aku mengendap-endap di dapur, ‘mencampur bahan-bahan’ yang terserah ‘feeling-ku’ karena agak lapar dan ingin main di dapur, sederhana saja alasanku. Tatkala mamaku bangun tidur, seraya memanggil bibiku untuk membantu di dapur, karena dapurnya memang ‘acak-acakan’ akibat ulahku. Hu hu hu... itu malah membuat mamaku khawatir karena aku menyalakan kompor sendirian dan menggoreng ‘hasil racikanku’. Alhasil, masakan ‘mainan itu’ justru disantap oleh mamaku, dan beliau bilang enak.
Kusadari setelah belasan tahun menikah, bahwa label-label manusia memang sering dikonotasikan beda oleh setiap orang, namun setiap anak selalu berbahagia ketika dihargai oleh orang tuanya. Kasih sayang adalah obat mujarab dalam mengarahkan persepsi menjadi positif ketika ada label yang tidak kita sukai terdengar. Teori dan pengalaman pun memang biasanya jauh berbeda. Sebagai seorang hambaNya yang punya pedoman hidup, kita meyakini bahwa segala yang berlaku adalah rangkaian takdir atas izin dan ketetapan Allah ta’ala.
Tahukah teman-teman bahwa ada beberapa penyebab ditempel kosa kata ‘anak nakal’ : Selalu merasa ingin tahu, merasa kurang diperhatikan atau bosan, merasa terlalu sering dimarahi dan jarang dibujuk. Sehingga bertindak ‘yang membuat orang tua atau orang lainnya menguras energy". Dan justru dari motivasi sebab itulah, hadir kreativitas anak-anak kita yang sering dicap "anak nakal".
Potensi terbaik ‘anak nakal’ ini di antaranya adalah:
1. Mereka adalah anak yang jujur dan kuat.
2. Mereka mandiri, dapat memegang prinsip
3. Mereka selalu pandai berkreasi
4. Mereka penuh energy
5. Mereka memiliki tekad nan kokoh
Praktik sebagai orang tua adalah belajar dan mengajar sampai akhir hayat, maka amatilah masing-masing anak kita terkait bukti potensi yang saya sebutkan di atas.
Saya misalkan si sulung, kakeknya pernah berkata, "Nanti usia tujuh tahun... dia gak lompat-lompat begini banget kok... sekarang ‘nakal dulu’ gak papa lah... kalau diam aja, berarti ‘something cacat’, jangan susah hati...", dan terbukti tepat perkataan ini, soalnya tiap menit dari bangun subuh sampai tengah malam, memang energy anak tidak berkurang secuil pun. Bahkan di musim dingin, kita bisa demam menemaninya bermain di luar berjam-jam, ‘dianya happy aja’.
Namun ternyata saat bersekolah dengan paket lengkap, (kelas regular, kelas musik dan kelas olah raga, Polandia awal 2010-2013) si abang sudah mampu memilah-milih aktivitas yang ditekuninya, dan punya jam rehat setelah ‘lelah memaksimalkan kegiatan’. Pulang sekolah atau pulang renang, ia bisa menghabiskan dua piring makanan, lalu tidur nyenyak dan siap mengerjakan tugas lainnya ketika bangun, tampak segar bugar. Bahkan di usia hampir 8 tahun, ia berani berangkat sekolah dengan bus tanpa diantar, dan sudah hafal lokasi transit jalan alternatif jika bus yang satunya terlambat. Pulang sekolah pun demikian, ia sudah memahami jadwal bus dan tramwajem dengan baik.
Umur delapan tahun, ia sudah bisa menjaga adik. Di umur 9 tahun bahkan ‘mengoordinasikan’ adik-adiknya untuk merapikan mainan, mandi atau renang bersama, dan sebagainya. Dan di usia 11 tahun, sudah mampu menyadari ‘catatan jadwal aktivitas dan tugas sehari-harinya’ dengan kesadaran pribadi. Peristiwa lompat-lompat di ‘tiap detik’ semasa kecil (kala jalan, kala duduk di ruang makan , ruang tamu dsb...) ternyata telah berganti dengan masa sibuknya kini.
Justru di kala anak berjumpa peristiwa-peristiwa hasil sandiwara orang dewasa, energy kita dapat terkuras untuk memikirkan cara penyampaian yang tepat kepadanya.
Hal ini terjadi malah bukan di negeri bule, melainkan saat sudah memasuki area ibu pertiwi. "Mi, om X kenapa merokok? Pak guru Y juga kulihat merokok... Sudah tau- gak yah kalau merokok itu adalah menzholimi diri sendiri?", "Kenapa si B temanku itu buka kerudung~ cuaca juga mendung tidak panas, kalau ke sekolah pakai kerudung... Umurnya sudah 12 tahun kan, sudah pernah dijelaskan guru juga tentang aurat, kenapa yah mi?", "Pas acara mengaji, kenapa pak Y malah tiduran, ngantuk-ngantuk begitu.... Sedih deh, kami mengajinya malah tidak disimak oleh beliau...", "Aku sebenarnya mau nasehati dia sih, mi.... Si H itu, anak bu X, kan pergi jalan-jalan ke KLCC tanpa kasihtau ibunya terlebih dahulu. Aku udah tanya, ‘mau beli kado kejutan apa yah?’ katanya enggak, cuma kalau ngomong ke ibunya, nanti ibunya marah... dia cuma mau jalan-jalan dulu aja..." dan amat banyak pertanyaan kreatif lainnya.
"Ada banyak hal yang tidak tampak, yang kita tidak ketahui, biarkan Allah Sang maha mengetahui yang akan menampakkannya di saat yang tepat..." ini kalimat yang sering menjadi penghujung diskusi kami. Acap kali yang saya sesalkan adalah kebohongan orang dewasa di sekitar kita. Inilah fitnah akhir zaman, anak-anak sudah mesti ‘menyimpan pemahamannya yang lurus’ dalam diam ketika berhadapan dengan kebohongan dan situasi drama di sekitarnya. Salah satu hal menggelitik telinga sewaktu dia bertanya, "Kenapa Mister Prabowo nggak jadi presiden, kan beliau yang menang?!" ☺ Jleb!
"Anak Nakal" dengan potensi segambreng begini mesti kita lestarikan, duhai bapak-ibu, keluarga adalah bagian utama dan terpenting dalam membersamai tumbuh kembang mereka. Pendidikan akhlaq qurani yang disuburkan dalam area keluarga insyaAllah dapat menjadi tameng melindungi potensi-potensi mereka. "Ananda, dunia ini panggung sandiwara... Selalu ada singa berbulu domba dimanapun kita berada. Tidak apa-apa jika kamu menjadi bagian settingan drama itu, asalkan kamu adalah peran protogonis, atau peranan transit numpang lalu~ yang penting selamat melaju di alam sana kelak, Makhluk langit mengapresiasi. Sungguh jangan tergoda bujuk rayu para pemeran antagonis~ meskipun popularitas antagonis mendunia." Secuil pesan dari seorang sahabat sholehah.
Jadi, tepatkah disebut ‘Anak nakal’? Ataukah para orang tua yang menjadi oknum ‘nakal’ dalam pengasuhan anak?! Ini adalah PR buat pribadi masing-masing. Setiap detik kita beristighfar, memohon kepada Allah SWT untuk memudahkan jalan dalam mendidik anak dan dalam memperbaiki diri sebagai orang tua.
Berprasangka baik pada rasa ingin tahu anak tentu lebih tepat, ‘ingin tahu’ untuk peduli dan berempati dirasakan pada nurani yang bersih, untuk berbuat dan berkarya, bukanlah keingin-tahuan untuk ‘istilah kepo’ dan doyan ghibah sebagaimana gaya gaul media dewasa ini. Semisal peristiwa si abang adik yang menyetorkan celengan mereka tanpa ‘ba-bi-bu’ untuk turut menolong sauadara mereka di Syria dan Gaza, mereka sudah mengerti bahwa ‘dana di celengan’ itu tak akan berkurang dalam perhitunganNya di saat berdonasi dijadikan pilihan.
Satu hal tetaplah terpenting bahwa kita dan anak-anak sama-sama belajar, kita di usia anak-anak ‘belum tentu lebih baik’ dibandingkan anak-anak kita saat ini. Tekadkan untuk belajar istiqomah terus-menerus dalam berpegang pada dua pedoman ; al-Quran dan sunnah rasulNya shalallahu ‘alaihi wasalam, semoga Allah ta’ala kurniakan kekuatan bagi kita untuk menghargai segala potensi istimewa anak. Hasbunallahu wa ni`mal Wakil’.
Waullohu a’lam bisshowab. []
Sumber Link
KATA nakal’ sering dijadikan label yang melekat bagi seseorang jika orang tersebut teramat sering melanggar ‘aturan atau norma’. Ada pula sosok-sosok orang tua yang cepat melabeli anaknya dengan sebutan "anak nakal", yang terkadang dianggap hal biasa dan sebutan main-main saja. Beda persepsi yang dikarenakan perbedaan latar belakang, dapat menyebabkan telinga orang tua lainnya menjadi tidak nyaman dengan sebutan itu.
Padahal, ada beberapa teman sekolahku, dulu merasa bangga dengan sebutan ‘anak nakal’, qodarulloh label ini malah menyiratkan bahwa anak yang dimaksud sangatlah cerdas. Abangku pun ‘jadi anak nakal’ semasa remaja dengan mencari uang jajan sebagai kernet bus dan angkutan kota. Itu ternyata dilakukannya karena menolong seorang sohib di sekolahnya, dan ia ingin mentraktir teman-temannya dengan tidak meminta uang dari orang tua.
Dua teman senasa SMP, ‘anak nakal’ yang sudah jadi polisi sekarang. Dahulu, ‘kerjaan mereka’ adalah ‘merampas alat tulis teman-teman perempuan’, maksudnya ‘meminjam tanpa bilang, lalu minta dikejar-kejar dan kayak main petak umpet’, hehehehe.... Dan itu berhenti berlariannya jika anak perempuan (yang jadi korban) menangis. Tak bosan pula, tiap hari ada saja yang ‘dibikin nangis’. Namun qadarulloh, saat mereka jumpa di grup alumni kini, justru saling meminta maaf dan hal itu adalah bagian dari kenangan indah masa sekolah.
Aku pun pernah dianggap ‘anak nakal’ oleh bibiku. Tatkala mamaku tidur siang, semasa aku duduk di bangku Sekolah Dasar, aku mengendap-endap di dapur, ‘mencampur bahan-bahan’ yang terserah ‘feeling-ku’ karena agak lapar dan ingin main di dapur, sederhana saja alasanku. Tatkala mamaku bangun tidur, seraya memanggil bibiku untuk membantu di dapur, karena dapurnya memang ‘acak-acakan’ akibat ulahku. Hu hu hu... itu malah membuat mamaku khawatir karena aku menyalakan kompor sendirian dan menggoreng ‘hasil racikanku’. Alhasil, masakan ‘mainan itu’ justru disantap oleh mamaku, dan beliau bilang enak.
Kusadari setelah belasan tahun menikah, bahwa label-label manusia memang sering dikonotasikan beda oleh setiap orang, namun setiap anak selalu berbahagia ketika dihargai oleh orang tuanya. Kasih sayang adalah obat mujarab dalam mengarahkan persepsi menjadi positif ketika ada label yang tidak kita sukai terdengar. Teori dan pengalaman pun memang biasanya jauh berbeda. Sebagai seorang hambaNya yang punya pedoman hidup, kita meyakini bahwa segala yang berlaku adalah rangkaian takdir atas izin dan ketetapan Allah ta’ala.
Tahukah teman-teman bahwa ada beberapa penyebab ditempel kosa kata ‘anak nakal’ : Selalu merasa ingin tahu, merasa kurang diperhatikan atau bosan, merasa terlalu sering dimarahi dan jarang dibujuk. Sehingga bertindak ‘yang membuat orang tua atau orang lainnya menguras energy". Dan justru dari motivasi sebab itulah, hadir kreativitas anak-anak kita yang sering dicap "anak nakal".
Potensi terbaik ‘anak nakal’ ini di antaranya adalah:
1. Mereka adalah anak yang jujur dan kuat.
2. Mereka mandiri, dapat memegang prinsip
3. Mereka selalu pandai berkreasi
4. Mereka penuh energy
5. Mereka memiliki tekad nan kokoh
Praktik sebagai orang tua adalah belajar dan mengajar sampai akhir hayat, maka amatilah masing-masing anak kita terkait bukti potensi yang saya sebutkan di atas.
Saya misalkan si sulung, kakeknya pernah berkata, "Nanti usia tujuh tahun... dia gak lompat-lompat begini banget kok... sekarang ‘nakal dulu’ gak papa lah... kalau diam aja, berarti ‘something cacat’, jangan susah hati...", dan terbukti tepat perkataan ini, soalnya tiap menit dari bangun subuh sampai tengah malam, memang energy anak tidak berkurang secuil pun. Bahkan di musim dingin, kita bisa demam menemaninya bermain di luar berjam-jam, ‘dianya happy aja’.
Namun ternyata saat bersekolah dengan paket lengkap, (kelas regular, kelas musik dan kelas olah raga, Polandia awal 2010-2013) si abang sudah mampu memilah-milih aktivitas yang ditekuninya, dan punya jam rehat setelah ‘lelah memaksimalkan kegiatan’. Pulang sekolah atau pulang renang, ia bisa menghabiskan dua piring makanan, lalu tidur nyenyak dan siap mengerjakan tugas lainnya ketika bangun, tampak segar bugar. Bahkan di usia hampir 8 tahun, ia berani berangkat sekolah dengan bus tanpa diantar, dan sudah hafal lokasi transit jalan alternatif jika bus yang satunya terlambat. Pulang sekolah pun demikian, ia sudah memahami jadwal bus dan tramwajem dengan baik.
Umur delapan tahun, ia sudah bisa menjaga adik. Di umur 9 tahun bahkan ‘mengoordinasikan’ adik-adiknya untuk merapikan mainan, mandi atau renang bersama, dan sebagainya. Dan di usia 11 tahun, sudah mampu menyadari ‘catatan jadwal aktivitas dan tugas sehari-harinya’ dengan kesadaran pribadi. Peristiwa lompat-lompat di ‘tiap detik’ semasa kecil (kala jalan, kala duduk di ruang makan , ruang tamu dsb...) ternyata telah berganti dengan masa sibuknya kini.
Justru di kala anak berjumpa peristiwa-peristiwa hasil sandiwara orang dewasa, energy kita dapat terkuras untuk memikirkan cara penyampaian yang tepat kepadanya.
Hal ini terjadi malah bukan di negeri bule, melainkan saat sudah memasuki area ibu pertiwi. "Mi, om X kenapa merokok? Pak guru Y juga kulihat merokok... Sudah tau- gak yah kalau merokok itu adalah menzholimi diri sendiri?", "Kenapa si B temanku itu buka kerudung~ cuaca juga mendung tidak panas, kalau ke sekolah pakai kerudung... Umurnya sudah 12 tahun kan, sudah pernah dijelaskan guru juga tentang aurat, kenapa yah mi?", "Pas acara mengaji, kenapa pak Y malah tiduran, ngantuk-ngantuk begitu.... Sedih deh, kami mengajinya malah tidak disimak oleh beliau...", "Aku sebenarnya mau nasehati dia sih, mi.... Si H itu, anak bu X, kan pergi jalan-jalan ke KLCC tanpa kasihtau ibunya terlebih dahulu. Aku udah tanya, ‘mau beli kado kejutan apa yah?’ katanya enggak, cuma kalau ngomong ke ibunya, nanti ibunya marah... dia cuma mau jalan-jalan dulu aja..." dan amat banyak pertanyaan kreatif lainnya.
"Ada banyak hal yang tidak tampak, yang kita tidak ketahui, biarkan Allah Sang maha mengetahui yang akan menampakkannya di saat yang tepat..." ini kalimat yang sering menjadi penghujung diskusi kami. Acap kali yang saya sesalkan adalah kebohongan orang dewasa di sekitar kita. Inilah fitnah akhir zaman, anak-anak sudah mesti ‘menyimpan pemahamannya yang lurus’ dalam diam ketika berhadapan dengan kebohongan dan situasi drama di sekitarnya. Salah satu hal menggelitik telinga sewaktu dia bertanya, "Kenapa Mister Prabowo nggak jadi presiden, kan beliau yang menang?!" ☺ Jleb!
"Anak Nakal" dengan potensi segambreng begini mesti kita lestarikan, duhai bapak-ibu, keluarga adalah bagian utama dan terpenting dalam membersamai tumbuh kembang mereka. Pendidikan akhlaq qurani yang disuburkan dalam area keluarga insyaAllah dapat menjadi tameng melindungi potensi-potensi mereka. "Ananda, dunia ini panggung sandiwara... Selalu ada singa berbulu domba dimanapun kita berada. Tidak apa-apa jika kamu menjadi bagian settingan drama itu, asalkan kamu adalah peran protogonis, atau peranan transit numpang lalu~ yang penting selamat melaju di alam sana kelak, Makhluk langit mengapresiasi. Sungguh jangan tergoda bujuk rayu para pemeran antagonis~ meskipun popularitas antagonis mendunia." Secuil pesan dari seorang sahabat sholehah.
Jadi, tepatkah disebut ‘Anak nakal’? Ataukah para orang tua yang menjadi oknum ‘nakal’ dalam pengasuhan anak?! Ini adalah PR buat pribadi masing-masing. Setiap detik kita beristighfar, memohon kepada Allah SWT untuk memudahkan jalan dalam mendidik anak dan dalam memperbaiki diri sebagai orang tua.
Berprasangka baik pada rasa ingin tahu anak tentu lebih tepat, ‘ingin tahu’ untuk peduli dan berempati dirasakan pada nurani yang bersih, untuk berbuat dan berkarya, bukanlah keingin-tahuan untuk ‘istilah kepo’ dan doyan ghibah sebagaimana gaya gaul media dewasa ini. Semisal peristiwa si abang adik yang menyetorkan celengan mereka tanpa ‘ba-bi-bu’ untuk turut menolong sauadara mereka di Syria dan Gaza, mereka sudah mengerti bahwa ‘dana di celengan’ itu tak akan berkurang dalam perhitunganNya di saat berdonasi dijadikan pilihan.
Satu hal tetaplah terpenting bahwa kita dan anak-anak sama-sama belajar, kita di usia anak-anak ‘belum tentu lebih baik’ dibandingkan anak-anak kita saat ini. Tekadkan untuk belajar istiqomah terus-menerus dalam berpegang pada dua pedoman ; al-Quran dan sunnah rasulNya shalallahu ‘alaihi wasalam, semoga Allah ta’ala kurniakan kekuatan bagi kita untuk menghargai segala potensi istimewa anak. Hasbunallahu wa ni`mal Wakil’.
Waullohu a’lam bisshowab. []
Sumber Link