Takdir

Jum'at, 08 Juni 2012 08:47 WIB | 9.468 kali
Takdir Ketika Mu’awiyah ibn Abi Sufyan  menggantikan  Khalifah  IV, Ali ibn Abi Thalib (W. 620 H), ia menulis surat kepada salah seorang sahabat Nabi, Al-Mughirah  ibn Syu’bah  menanyakan, "Apakah  doa  yang  dibaca  Nabi  setiap selesai shalat?" Ia memperoleh jawaban bahwa doa beliau adalah, "Tiada Tuhan selain  Allah,  tiada  sekutu  bagi-Nya.  Wahai Allah tidak ada yang mampu menghalangi apa yang engkau beri, tidak juga ada yang mampu memberi apa yang  Engkau  halangi, tidak berguna upaya yang bersungguh-sungguh. Semua bersumber dari-Mu (HR Bukhari).
 
Doa ini dipopulerkannya untuk  memberi  kesan  bahwa  segala sesuatu  telah  ditentukan  Allah,  dan  tiada usaha manusia sedikit pun. Kebijakan mempopulerkan doa ini,  dinilai  oleh banyak  pakar sebagai "bertujuan politis," karena dengan doa itu para penguasa Dinasti Umayah  melegitimasi  kesewenangan pemerintahan  mereka,  sebagai  kehendak Allah. Begitu tulis Abdul Halim Mahmud mantan Imam Terbesar Al-Azhar Mesir dalam Al-Tafkir Al-Falsafi fi Al-Islam (hlm- 203).
 
Tentu   saja,   pandangan   tersebut   tidak  diterima  oleh kebanyakan ulama.  Ada  yang  demikian  menggebu  menolaknya sehingga secara sadar atau tidak -mengumandangkan pernyataan la qadar (tidak ada takdir).  Manusia  bebas  melakukan  apa saja,  bukankah  Allah  telah menganugerahkan kepada manusia kebebasan memilih dan memilah? Mengapa manusia harus dihukum kalau  dia  tidak  memiliki  kebebasan  itu?  Bukankah Allah sendiri menegaskan, "Siapa yang  hendak  beriman  silakan  beriman,  siapa  yang hendak kufur silakan juga kufur" (QS Al-Kahf [18]: 29).
 
Masing-masing    bertanggung    jawab    pada   perbuatannya sendiri-sendiri.  Namun   demikian,   pandangan   ini   juga disanggah.  Ini  mengurangi  kebesaran  dan kekuasaan Allah. Bukankah Allah Mahakuasa? Bukankah "Allah menciptakan kamu  dan  apa  yang  kamu  lakukan"  (QS. Al-Shaffat [37]: 96).
 
Tidakkah  ayat  ini berarti bahwa Tuhan menciptakan apa yang kita lakukan? Demikian  mereka  berargumentasi.  Selanjutnya bukankah Al-Quran menegaskan bahwa, "Apa  yang  kamu  kehendaki, (tidak dapatterlaksana) kecuali
dengan kehendak Allah jua" (QS Al-Insan [76]: 30).
 
Demikian sedikit dari banyak  perdebatan  yang  tak  kunjung habis   di  antara  para  teolog.  Masing-masing  menjadikan Al-Quran sebagai  pegangannya,  seperti  banyak  orang  yang mencintai si Ayu, tetapi Ayu sendiri tidak mengenal mereka.
 
Kemudian  didukung  oleh  penguasa yang ingin mempertahankan kedudukannya, dan dipersubur oleh keterbelakangan umat dalamberbagai  bidang, meluaslah paham takdir dalam arti kedua di atas, atau paling tidak, paham yang mirip dengannya
 
Yang jelas, Nabi dan  sahabat-sahabat  utama  beliau,  tidak pernah  mempersoalkan takdir sebagaimana dilakukan oleh para teolog itu. Mereka sepenuhnya  yakin  tentang  takdir  Allah yang   menyentuh  semua  makhluk  termasuk  manusia,  tetapi sedikit  pun  keyakinan   ini   tidak   menghalangi   mereka menyingsingkan   lengan  baju,  berjuang,  dan  kalau  kalah sedikit pun mereka tidak menimpakan kesalahan kepada  Allah.

Sikap  Nabi  dan  para sahabat tersebut lahir, karena mereka tidak memahami ayat-ayat Al-Quran secara parsial: ayat  demi ayat,   atau  sepotong-sepotong  terlepas  dari  konteksnya, tetapi memahaminya secara utuh, sebagaimana  diajarkan  oleh Rasulullah Saw.

Disadur dari buku Haji Bersama M. Quraish Shihab, Penerbit Mizan.



Yuk Bagikan :

Baca Juga