Inti
dari inti, esensi dari esensi kecerdasan ruhani didalam qalbu adalah hubb, cinta! Dia adalah hamparan hati, sagava qalbu, benih dari segala benih,
.. sesungguhnya cintanya kepada
bujangnya itu adalah sangat mendalam...." (Yusuf:
30)
Cinta
adalah sesuatu yang kita alami dengan penuh getaran jiwa, dia tidak bisa
dimengerti hanya dengan intelektual. Cinta berkaitan dengan perasaan yang
paling halus. Perasaan cinta adalah perasaan ruhani, bukan perasaan
indrawi atau perasaan vitalis nafsiyah (perasaan indrawi berkaitan
dengan saraf yang merasakan sakit, pahit, dan lain-lain. Persaan vitalis masih
bersentuhan dengan saraf, tetapi lebih menyeluruh, lebih merangkum seluruh
citra rasa indrawi seperti: segar bugar, lelah, atau bersemangat. Sedangkan,
perasaan ruhani bersifat kejiwaan tidak organis, bahkan tidak atau belum tentu
terpengaruh saraf organis yang bersifat indrawi jasadi, misalnya: hampa, melankolis,
sedih, bingung, dan lain-lain). Karena berpangkal dari perasaan ruhani, cinta
bisa mengungguli perasaan indrawi dan vitalis. Orang bisa merasa lelah, lapar,
dan sedih (indra dan vital), tetapi segera sirna seluruh perasaan itu ketika
rasa cinta yang mendera rindu menampakan dirinya, dia bangkit melupakan segala
perasaan dan atribut lainnya. Inilah keajaiban cinta! Des gustibus non est disputandum-tidak
ada ukuran objektif untuk mengukur materi cinta.
Seorang ibu berani mati melepas
nyawa, asai bayi yang dikandungnya lahir selamat ke dunia. Seorang mujahid
berteriak, "Allahu Akbar," dan diwajahnya tampak ada senyum bahagia, padahal
dadanya terkoyak peluru. Rasa sakit sirna, rasa sedih punah diganti dengan
pelukan rasa cinta sakinah yang penuh dengan ridha Allah,
"Dialah yang menurunkan ketenangan (sakinah) kedalam hati orang-
orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah...." (al-Fath:
4/18)
Cinta mengungguli dan menentukan
qalbu. Dia benar-benar berkaitan dengan ruh, sehingga upaya untuk mengerti dan
mendapatkan gambarannya secara utuh dan total adalah sia-sia. Kita hanya dapat
memahami cinta secara fragmentaris-hipotetis dan tidak pernah sampai pada
hakikat yang sebenarnya. Cinta tidak bisa dipahami oleh akal pikiran, tetapi
hanya bisa dirasakan oleh cinta itu sendiri. Itulah sebabnya, cinta manusia
bisa melangit serta mulia dalam ridha Ilahi, tetapi tidak jarang, karena alasan
cinta pula, manusia bisa terjerumus dalam nista dan kesengsaraan yang
menggigit. Sebab itu, manusia harus menyadari makna dari syariat dan lebih
khusus lagi aturan cinta. Bagaimana caranya menempatkan rasa cinta, upaya
meraihnya, dan mengukurnya dengan bahasa cinta yang disuarakan oleh qalbu yang
sejati. Orang tidak hanya mengerti karena berpikir, tetapi seharusnya dia
berpikir dan mengerti dengan ruh cinta. Manusia harus merasa ada dan mempunyai
harga karena cinta. Manusia harus hidup dengan merasakan dan menghayati
perasaan yang pa- ling hakiki, yaitu perasaan makrifat. Hanya dengan cara itu
dia akan merasakan api cinta sehingga dia bisa mengarah kepada kemuliaan al-insan al-kamil, manusia yang
di dalam qalbunya bersemayam cinta, memberikan peluangyang selapang-lapangnya
untuk memberi tempat iman, karena dalam hamparan cinta inilah iman akan tumbuh
subur,
"Allah telah
menanamkan keimanan dalam hati mereka... "(al-Mujaadilah: 22)
Saghafa
ini menentukan seluruh lorong qalbu. Kalau sagava
qalbu ber- muatkan cinta, dia akan mengalirkan segala potensi ke setiap lorong
qalbunya. Sebaliknya, kalau dia bermuatkan kebencian, amarah dan kebencian itu
pula yang akan dibagikannya.
Tugas manusia adalah mengatur cinta
(ordo amoris)
agar dia menempatkan cinta pada haknya, pada Ilahi, bukan pada yang lain.
Maka, di sinilah manusia akan berperang setiap detik, bahkan kalau ada ukuran
waktu lebih kecil dari detik, dia akan berperang menurut ukuran waktu tersebut,
karena benci dan cinta bagaikan tanpa dinding.
Maka dengan tauhid, sesungguhnya Allah ingin menyelamatkan
manusia, dari penempatan cinta yang salah, tidak
ada yang harus engkau cintai kecuali Allah (la mahbuba illallah).
Cinta Ilahi berarti menerima
keilahian yang ingin menempatkan jiwa manusia pada kedudukan atau maqamat yang
penuh rahmat. Itulah sebabnya, setan melirik dan mengawasi qalbu yang mahabbah dengan caranya yang licik
sehingga manusia menjadikan cintanya yang Ilahi menjadi cinta yang jahili yang
bersebelahan dengan benci yang negatif. Hubb
yang putih diubah menjadi hitam dan menyebabkan potensi iman menjadi tertutup
(kufur) yang membela nafsu syaithaniah. Bagaikan membalikkan telapak tangan,
cinta yang tidak terpuaskan akan otomatis berganti kebencian. Dan kebencian
dapat menampakkan dirinya dalam bentuk-bentuk yang sama tak masuk akalnya
dengan keberingas- an cinta yang tidak terpuaskan. Kita katakan keberingasan
cinta, dikarenakan cinta dapat juga meluluhlantakkan, bisa menjadi pemicu
anarkisme. Atau dengan kata lain, orang akan berperang dengan dalih cinta. Civic pacem parabelum,
berperanglah demi perdamaian. Dia menjadikan perdamaian atau muatan cinta,
tetapi dengan mengangkat senjata. Cinta yang menjadi beringas tersebut, tidak
lain adalah bentuk nyata dari qalbu yang terkalahkan dan didominasi oleh
kejahatan setan, potensi hawa negatif yang membumi. Cinta mempunyai jiwanya
sendiri, mempunyai alam kehidupannya sendiri yang hanya bisa dimengerti melalui
saraf-saraf batin yang paling halus.
Mahabbah
lillah-menempatkan dan meraih cinta Allah tidak bisa diukur dengan
aksioma nalar matematis. Dia hanya bisa dirasakan, dinikmati dengan keseluruhan
tawajuh-nya
sehingga perasaan cinta ini tidak mungkin diartikulasikan dengan
ketentuan-ketentuan normatif yang bersifat objektif. Benturan dengan ahli
fiqih yang mengukur segala sesuatu dengan hitam putih, tentu- nya akan
memberikan keputusan sebagai bid’ah kepada mereka yang sedang dirasuki rasa
cinta tersebut.
Kita bisa memahami orang yang
bercinta, tetapi tidak bisa memahami ukuran cinta yang ingin diterapkan sebagai
satu kepastian. Cinta bukanlah sesuatu yang pasti, tidak bisa diukur apalagi
diformalisasikan dalam bentuk standar.
Ketika al-Halaj berkata, "Ana
al-Haq (akulah Tuhan itu)," seharusnya tidak diterima dengan persepsi yang
telanjang, tekstual, dan menerimanya an
sich seperti apa yang dikatakannya, karena perasaan cintanya kepada
Allah tidak bisa terwakilkan dengan dua kata tersebut. Masih banyak yang ingin dia
uraikan, dia jabarkan, dan dia bentangkan tentang al-Haq tersebut, tetapi
hanya dirinya sendiri yang bisa menalarkannya dan bukan untuk orang lain.
Ucapan dan keyakinan al-Halaj harus berbenturan dengan kaum syariat yang
melihat hukum secara hitam putih, sehingga al-Halaj bukan saja dituduh sebagai
kaum bid’ah, melainkan telah memasuki daerah yang sangat sensitif, yaitu
akidah.
Keyakinan al-Halaj yang kemudian
dikenal sebagai sufi kontroversial dengan bentuk wahdat al-wujud dan huluul (imanensi Tuhan dalam diri manusia),
adalah bahasa cinta yang seharusnya tidak diungkapkan dan distandar- rijsaci sebagai satu keyakinan umum yang
bersifat objektif dan membutuhkan pembuktian-pembuktian.
Keyakinan al-Halaj adalah bentuk mahabbah yang sangat ekstrem, di mana
potensi qalbu telah dipenuhi oleh potensi shadr
tanpa mempertimbangkan potensi lainnya, sehingga seluruh keyakinannya hanyalah
untuk dirinya sendiri dan harus dipahami dengan kerangka berpikir sebagaimana
dirinya merasakan nuansa cinta tersebut.
* KH. Toto Tasmara,
Penerbit Gema Insani Press