Mahabbah

Sabtu, 12 Mei 2012 08:53 WIB | 7.187 kali
Mahabbah Inti dari inti, esensi dari esensi kecerdasan ruhani didalam qalbu adalah hubb, cinta! Dia adalah hamparan hati, sagava qalbu, benih dari segala benih, .. sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam...." (Yusuf: 30)

Cinta adalah sesuatu yang kita alami dengan penuh getaran jiwa, dia tidak bisa dimengerti hanya dengan intelektual. Cinta berkaitan dengan perasaan yang paling halus. Perasaan cinta adalah perasaan ruhani, bukan perasaan

indrawi atau perasaan vitalis nafsiyah (perasaan indrawi berkaitan dengan saraf yang merasakan sakit, pahit, dan lain-lain. Persaan vitalis masih bersentuhan dengan saraf, tetapi lebih menyeluruh, lebih merangkum seluruh citra rasa indrawi seperti: segar bugar, lelah, atau bersemangat. Sedangkan, perasaan ruhani bersifat kejiwaan tidak organis, bahkan tidak atau belum tentu ter­pengaruh saraf organis yang bersifat indrawi jasadi, misalnya: hampa, melan­kolis, sedih, bingung, dan lain-lain). Karena berpangkal dari perasaan ruhani, cinta bisa mengungguli perasaan indrawi dan vitalis. Orang bisa merasa lelah, lapar, dan sedih (indra dan vital), tetapi segera sirna seluruh perasaan itu ketika rasa cinta yang mendera rindu menampakan dirinya, dia bangkit melupakan segala perasaan dan atribut lainnya. Inilah keajaiban cinta! Des gustibus non est disputandum-tidak ada ukuran objektif untuk mengukur materi cinta.

Seorang ibu berani mati melepas nyawa, asai bayi yang dikandungnya lahir selamat ke dunia. Seorang mujahid berteriak, "Allahu Akbar," dan diwajahnya tampak ada senyum bahagia, padahal dadanya terkoyak peluru. Rasa sakit sirna, rasa sedih punah diganti dengan pelukan rasa cinta sakinah yang penuh dengan ridha Allah,

"Dialah yang menurunkan ketenangan (sakinah) kedalam hati orang- orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah...." (al-Fath: 4/18)

Cinta mengungguli dan menentukan qalbu. Dia benar-benar berkaitan dengan ruh, sehingga upaya untuk mengerti dan mendapatkan gambarannya secara utuh dan total adalah sia-sia. Kita hanya dapat memahami cinta secara fragmentaris-hipotetis dan tidak pernah sampai pada hakikat yang sebenarnya. Cinta tidak bisa dipahami oleh akal pikiran, tetapi hanya bisa dirasakan oleh cinta itu sendiri. Itulah sebabnya, cinta manusia bisa melangit serta mulia dalam ridha Ilahi, tetapi tidak jarang, karena alasan cinta pula, manusia bisa terjerumus dalam nista dan kesengsaraan yang menggigit. Sebab itu, manusia harus menyadari makna dari syariat dan lebih khusus lagi aturan cinta. Bagaimana caranya menempatkan rasa cinta, upaya meraihnya, dan mengukurnya dengan bahasa cinta yang disuarakan oleh qalbu yang sejati. Orang tidak hanya mengerti karena berpikir, tetapi seharusnya dia berpikir dan mengerti dengan ruh cinta. Manusia harus merasa ada dan mempunyai harga karena cinta. Manusia harus hidup dengan merasakan dan menghayati perasaan yang pa- ling hakiki, yaitu perasaan makrifat. Hanya dengan cara itu dia akan merasakan api cinta sehingga dia bisa mengarah kepada kemuliaan al-insan al-kamil, manusia yang di dalam qalbunya bersemayam cinta, memberikan peluangyang selapang-lapangnya untuk memberi tempat iman, karena dalam hamparan cinta inilah iman akan tumbuh subur,

"Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka... "(al-Mujaadilah: 22)

Saghafa ini menentukan seluruh lorong qalbu. Kalau sagava qalbu ber- muatkan cinta, dia akan mengalirkan segala potensi ke setiap lorong qalbunya. Sebaliknya, kalau dia bermuatkan kebencian, amarah dan kebencian itu pula yang akan dibagikannya.

Tugas manusia adalah mengatur cinta (ordo amoris) agar dia menem­patkan cinta pada haknya, pada Ilahi, bukan pada yang lain. Maka, di sinilah manusia akan berperang setiap detik, bahkan kalau ada ukuran waktu lebih kecil dari detik, dia akan berperang menurut ukuran waktu tersebut, karena benci dan cinta bagaikan tanpa dinding.

Maka dengan tauhid, sesungguhnya Allah ingin menyelamatkan manusia, dari penempatan cinta yang salah, tidak ada yang harus engkau cintai kecuali Allah (la mahbuba illallah).

Cinta Ilahi berarti menerima keilahian yang ingin menempatkan jiwa manusia pada kedudukan atau maqamat yang penuh rahmat. Itulah sebabnya, setan melirik dan mengawasi qalbu yang mahabbah dengan caranya yang licik sehingga manusia menjadikan cintanya yang Ilahi menjadi cinta yang jahili yang bersebelahan dengan benci yang negatif. Hubb yang putih diubah menjadi hitam dan menyebabkan potensi iman menjadi tertutup (kufur) yang membela nafsu syaithaniah. Bagaikan membalikkan telapak tangan, cinta yang tidak terpuaskan akan otomatis berganti kebencian. Dan kebencian dapat menampakkan dirinya dalam bentuk-bentuk yang sama tak masuk akalnya dengan keberingas- an cinta yang tidak terpuaskan. Kita katakan keberingasan cinta, dikarenakan cinta dapat juga meluluhlantakkan, bisa menjadi pemicu anarkisme. Atau dengan kata lain, orang akan berperang dengan dalih cinta. Civic pacem parabelum, berperanglah demi perdamaian. Dia menjadikan perdamaian atau muatan cinta, tetapi dengan mengangkat senjata. Cinta yang menjadi beringas tersebut, tidak lain adalah bentuk nyata dari qalbu yang terkalahkan dan di­dominasi oleh kejahatan setan, potensi hawa negatif yang membumi. Cinta mempunyai jiwanya sendiri, mempunyai alam kehidupannya sendiri yang hanya bisa dimengerti melalui saraf-saraf batin yang paling halus.

Mahabbah lillah-menempatkan dan meraih cinta Allah tidak bisa diukur dengan aksioma nalar matematis. Dia hanya bisa dirasakan, dinikmati dengan keseluruhan tawajuh-nya sehingga perasaan cinta ini tidak mungkin diarti­kulasikan dengan ketentuan-ketentuan normatif yang bersifat objektif. Bentur­an dengan ahli fiqih yang mengukur segala sesuatu dengan hitam putih, tentu- nya akan memberikan keputusan sebagai bid’ah kepada mereka yang sedang dirasuki rasa cinta tersebut.

Kita bisa memahami orang yang bercinta, tetapi tidak bisa memahami ukuran cinta yang ingin diterapkan sebagai satu kepastian. Cinta bukanlah se­suatu yang pasti, tidak bisa diukur apalagi diformalisasikan dalam bentuk standar.

Ketika al-Halaj berkata, "Ana al-Haq (akulah Tuhan itu)," seharusnya tidak diterima dengan persepsi yang telanjang, tekstual, dan menerimanya an sich seperti apa yang dikatakannya, karena perasaan cintanya kepada Allah tidak bisa terwakilkan dengan dua kata tersebut. Masih banyak yang ingin dia urai­kan, dia jabarkan, dan dia bentangkan tentang al-Haq tersebut, tetapi hanya dirinya sendiri yang bisa menalarkannya dan bukan untuk orang lain. Ucapan dan keyakinan al-Halaj harus berbenturan dengan kaum syariat yang melihat hukum secara hitam putih, sehingga al-Halaj bukan saja dituduh sebagai kaum bid’ah, melainkan telah memasuki daerah yang sangat sensitif, yaitu akidah.

Keyakinan al-Halaj yang kemudian dikenal sebagai sufi kontroversial dengan bentuk wahdat al-wujud dan huluul (imanensi Tuhan dalam diri ma­nusia), adalah bahasa cinta yang seharusnya tidak diungkapkan dan distandar- rijsaci sebagai satu keyakinan umum yang bersifat objektif dan membutuhkan pembuktian-pembuktian.

Keyakinan al-Halaj adalah bentuk mahabbah yang sangat ekstrem, di mana potensi qalbu telah dipenuhi oleh potensi shadr tanpa mempertimbangkan potensi lainnya, sehingga seluruh keyakinannya hanyalah untuk dirinya sendiri dan harus dipahami dengan kerangka berpikir sebagaimana dirinya merasakan nuansa cinta tersebut.

* KH. Toto Tasmara, Penerbit Gema Insani Press



Yuk Bagikan :

Baca Juga