Menagisi Diri

abatasa | Rabu, 17 Juli 2013 07:31 WIB | 5.035 kali
Menagisi Diri
Penaku tidak tahu bagaimana cara menulis. Segala sesuatu yang aku ingat dari kehidupan dunia ini hanyalah kesalahan, maksiat, dan dosa. Tapi aku optimis dan berbaik sangka kepada Allah karena Allah berfirman,

"Katakanlah, ’Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang."
(az- Zumar [39]: 53)

Aku, dengan izin Allah, bukanlah orang yang berputus asa dan pesimis. Aku bersyukur kepada Allah yang menjadikan orang lain sebagai pelajaran dan nasihat kepada kita serta tidak menjadikan kita sebagai pelajaran. Kenikmatan mana yang lebih besar dari keutamaan yang Allah anugerahkan kepadaku ini?

Kisahku ini terjadi pada tahun 1421 H. Saat aku menjadi perokok, pemusik, dan tidak pernah menunaikan shalat di dalam hidupku serta dosaku melampaui batas langit. Aku mempunyai seorang kerabat, dia pengkonsumsi minuman keras, baik lokal maupun impor. Dia mempunyai hubungan erat dengan segala jenis maksiat.

Suatu ketika, saat aku tengah sibuk bekerja, ada telepon masuk dari salah seorang kawan, "Kerabatmu yang bernama Anu mengalami kecelakaan mobil di jalan seberang kamu." Aku pun segera bergerak menuju mobil dan ketika aku sampai, aku menemukannya dalam keadaan sehat wal afiat. Aku memarahi dan mencacinya, mengapa? Karena dia membawa mobil sambil mengkonsumsi bahan-bahan memabukkan. Dia berjanji kepadaku tidak akan mengulanginya lagi dan jika dia minum, dia akan minum di kamar sehingga tidak ketahuan.

Hari terus berlalu. Pada malam Idul Fitri, yakni malam tiga puluh Ramadhan, terjadi peristiwa mengejutkan. Kerabatku ini mengalami kecelakaan tragis. Saat itu, dia pergi dari apartemennya di provinsi Jubail menuju kota Damam. Di tengah jalan, dia teringat barang yang ketinggalan maka dia kembali lagi untuk mengambilnya. Di tengah jalan, tepatnya di jembatan yang ada di gerbang kota Jubail, terjadi kecelakaan. Mobilnya jatuh dari jembatan yang menyebabkan benturan di bagian depan mobil dan mengakibatkan masuknya fiber ke kepala dan setir menekan dadanya. Maka detak jantungnya berhenti.

Segala syahwat telah pergi yang tersisa hanyalah penyesalan. Kami tidak tahu penyebab kecelakaan ini. Dengan kecepatan tinggi, aku segera masuk ke pusat penanganan intensif di Rumah Sakit Umum Jubail, tempat dia dirawat, dengan harapan mudah- mudahan Allah menakdirkan untuknya umur baru. Yang penting, saat berita kecelakaan itu sampai kepadaku, aku tahu bahwa dia dalam kondisi labil akibat mengkonsumsi barang yang memabukkan. Aku diberitahu hal itu oleh salah seorang teman. Begitu juga aku diberitahu oleh orang-orang yang hadir saat kerabatku itu masih di dalam mobil bersimbah darah. Temanku ini menemukan botol-botol minuman keras di jok mobil, lalu dia mengambilnya dan membuangnya jauh-jauh agar tidak dilihat oleh petugas keamanan ketika mereka hadir ke tempat kecelakaan dan agar kerabatku itu tidak diinterogasi setelah siuman.

Kita lupa dari Allah.... Kita lupa hisab Allah.... Apakah aku tertekan? Atau aku teringat bahwa di sana ada Zat yang menangguhkan dan tidak menyia-nyiakan (maksudnya Allah)? Tidak. Aku datang ke rumah sakit dan mendapatinya terbujur di atas ranjang putih. Kepalanya dibalut, kedua matanya ditutup dengan kapas, dan di mulutnya terdapat alat bantu pernapasan. Masya Allah. Pemandangan yang menggentarkan bagi orang yang mempunyai nurani. Aku ditemani oleh seorang rekan kerja, "Kita memohon kepada Allah agar menyelamatkannya," kata rekanku tadi. Namun apa yang aku katakan? Yang aku katakan, "Kawan, kamu tidak harus begitu. Setiap hari, setiap dia sadar, aku memberitahu dia bagaimana akibat minum- minuman keras saat mengendarai mobil, tapi hatinya sudah mati dan otaknya tidak merasakan kekuasaan Pencipta."

Tujuh hari, dia tidak bergerak. Saat aku bertanya ke dokter, sang dokter menjawab, "Kesempatan hidupnya satu persen." Aku menyangkal dan berkata, "Aliahlah satu-satunya yang tahu.... Hidup ada di tangan Allah bukan di tanganmu," lalu aku pergi dan meninggalkannya.

Pagi hari tanggal delapan Syawwal, aku dihubungi oleh seorang petugas keamanan yang bertugas di desaku, "Mana saudara-saudaranya?"
"Kenapa?" tanyaku.
"Si Anu sudah meninggal."
"Ah.... Ini tidak benar," sanggahku.

"Aku serius, beritahu keluarganya agar segera datang dan mengurus pemandian dan pemakamannya," kata sang petugas dengan nada yang tegas. Saudara-saudaranya pun datang, kondisinya sangat sulit sekali. Sungguh, aku tidak akan melupakan situasi saat itu.

Karena bodoh dan tidak tahu ajaran agama bahwa orang yang tidak shalat tidak boleh dishalati dan dikubur di pemakaman kaum Muslimin, tetapi dia harus dikubur jauh-jauh. Kami menshalatinya di Jubail di Masjid al-Wartsan, kemudian kami bertolak ke pemakaman. Di sana, aku seperti ada janji dengan malaikat. Aku melihat yang dijanjikan oleh Allah adalah benar.... Aku melihat kuburan.... Aku melihat liang lahat yang telah lama aku lupakan. Di sana, air mataku mengucur, tapi bukan untuknya. Demi Allah, seribu kali, tidak. Aku tidak menangisinya dan tidak akan menangisinya, sebab diriku lebih pantas untuk aku tangisi.

Malam itu, aku tidak bisa memejamkan mata. Selama dua minggu, aku dalam kondisi terenyuh. Di akhir minggu kedua, kala aku tidur, aku terbangun oleh suara azan subuh. Hayya ’ala ash-shalah.... Ash-shalatu khairun min an-naum.... Tanpa terasa aku bangun dan menyambut panggilan itu. Aku pergi ke masjid dan shalat berjamaah dengan orang-orang. Wajah mereka bercahaya sebagai tanda mereka hidup penuh bahagia, senang, dan tenteram.

Ya Tuhan, bagi-Mu segala puji sampai Engkau ridha. Bagi- Mu segala puji saat Engkau ridha dan bagi-Mu segala puji setelah Engkau ridha.

sumber : Kisah-Kisah Penggugah Jiwa
Karya  : Abdurrahman Bakar


Yuk Bagikan :

Baca Juga