Ruh Kebenaran

Rabu, 18 April 2012 08:22 WIB | 6.902 kali
Ruh Kebenaran Yang dimaksudkan dengan "ruh kebenaran" adalah energi batin yang dipancarkan oleh ruh misteri yang tidak dapat ditangkap oleh indrawi, tidak terpenjara oleh dimensi-dimensi atau ukuran bendawi, bahkan sebaliknya ruh tersebut mampu mengatasi ruang dan waktu. Dia adalah cahaya Allah (nurullah) yang disemai keseluruh alam semesta, "Allah adalah cahaya langit dan bumi... " (an-Nuur:.35). Ruh kebenaran adalah leandungan energi yang merupakan satu- satunya kekuatan batin paling sejati dan orisinal. Dia adalah ruh (hampir sepadan dengan kata ruh, r-w-h, adalah kata rahaa, riih, rihyaan, araha) yang mem­berikan kehidupan yang menggerakkan dan yang memaksa atau memerintah,

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ’Se­sungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yangberasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka, apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan kedalamnya ruh (cipta- an)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud (menghormat). " (al-Hijr: 28-29; as-Sajdah: 7-9)

Dengan ruh itulah Allah menciptakan manusia menjadi hidup dan ke­hidupan manusia tumbuh berkembang karena adanya cahaya Ilahi yang untuk memudahkannya kita sebut dengan hubb atau cinta. Dengan cinta itulah se­luruh alam semesta termasuk manusia diciptakan sehingga seluruh kepribadian manusia pada awainya digerakkan oleh energi cahaya tersebut yang mengisi seluruh pori-pori dan urat saraf qalbu (dhamir) dengan cinta yang meng-Ilahi.

Ruh juga dapat diartikan sebagai ’’rahmat" sebagaimana kita lihat ketika Ya’qub yang dilanda kesedihan melepjiskan anak-anaknya untuk mencari Yusuf, dan Ya’qub berkata, "... dan jangan kamu berputus asa dari rahmat (rauh) Allah. Sesungguh­nya, tiada berputus asa dari rahmat Allah kecuali kaum yang kafir." (Yusuf: 87)

Rahmat yang kita maksudkan di sini, tentu saja merupakan muatan cinta yang melahirkan sikap pelayanan yang membuahkan kedamaian (salam). Daiam sebuah riwayat dijelaskan bahwa Allah mempunyai 100 rahmat, 99 Dia simpan dan 1 Rahmat dia turunkan ke bumi. Dengan rahmat yang satu itulah seluruh makhluk memperoleh pelayanan yang mendamaikan mereka. Karena satu rahmat itu pula seekor kijang dapat mengangkat kakinya untuk memberi kesempatan anak-anaknya menyusui.

Dengan ruh atau cahaya Ilahi yang menyelusup memberikan kehidupan kepada manusia, Allah juga memberikan potensi optimisme, ruh adalah se- mangat, drive yang menyebabkan manusia mampu berjuang menyatakan misi kemanusiaannya. Ruh adalah cahaya Ilahi yang melimpahkan kebahagiaan dan karunia (rauhun dan raihan), sebagaimana Allah berfirman,

"Adapun jika dia (orangyang mati) termasuk orangyang didekatkan (kepadaAllah), maka dia memperoleh ketenteraman (rauhun) dan rezeki (raihan) serta surga kenikmatan (Jannatu Na’im)." (al-Waaqi’ah: 88)

"Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Dan, barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan, Allah Maha Mengetahui segala se­suatu." (at-Taghaabun: 11)

Ruh yang bermuatkan cinta Ilahi tersebut, selalu mengajak manusia pada nilai-nilai luhur kemanusiaan, yaitu dalam bentuk salam. Kiranya harus ada semacam ketukan di hati kita bahwa dengan mengucapkan salam, tidak hanya sekedar doa untuk keselamatan, sebab salam tidak dapat diterjemahkan secara utuh dengan arti ’damai’ atau ’peace’. Salam adalah sikap melayani yang dengan pelayanannya itu melahirkan kebahagiaan yang utuh (integral), sebagaimana Allah berfirman, .. kecuali orangyang menghadap Allah dengan hati yang bersih (qalbun salim)." (asy-Syu’araa : 89)

Ruh berfungsi untuk membuka dan merasakan makna bahagia, sa’adah, dan sekaligus memberikan segala kebutuhan sebagai sarana kebahagiaan ter­sebut yang disebut dengan Raihan (al-Waaqi’ah: 89).

Ruh adalah fitrah manusia yang dengan ruh itu pula manusia menjadi berbeda dengan binatang. Kekuatan yang bisa melangit dan bertanggung jawab, tetapi juga mampu melanggar berbagai norma-norma moral. Kekuatan ter­sebut, akhimya sangat bergantung pada sejauh mana qalbu yang menerima aset Ilahiah tersebut, mampu mengendalikan seluruh potensi yang dimilikinya. "Semua bayi terlahir dalam keadaan fitrah, tergantung sejauh mana pengaruh dominan dari lingkungannya, ke mana kepribadiannya akan mengarah. Apakah akan menjadi tipikal insan kamil, mempunyai karakter Yahudi (lambang dari intelektual tetapi penuh dengan hawa nafsu) ataukah karakter Nasrani (lambang dari karakter intelek tetapi buta mata batinnya) ataukah Majusi (lambang ke- senangan, materialisik, ambisi, dan arogan bagaikan api membarayang mengabai­kan bisikan intelek dan emosi)."

 
* KH. Toto Tasmara, Penerbit Gema Insani Press



Yuk Bagikan :

Baca Juga