Kecerdasan Ruhaniah
Seluruh kecerdasan tersebut (lima kecerdasan utama yang diuraikan sebelumnya), harus berdiri di atas kecerdasan ruhaniah sehingga potensi yang dimilikinya menghantarkan diri kepada kemuliaan akhlak. Empat kecerdasan yang dikendalikan oleh hati nurani akan mem-berikan nilai tambah bagi kesejahteraan dan perdamaian manusia.
Dengan demikian, di dalam qalbu, selain memiliki fungsi indrawi, di dalamnya ada ruhani, yaitu moral dan nilai-nilai etika; artinya dialah yang menentukan tentang rasa bersalah, baik buruk, serta mengambil keputusan berdasarkan tanggung jawab moralnya tersebut. Itulah sebabnya, penilaian akhir dari sebuah perbuatan sangat ditentukan oleh fungsi qalbu.
Kecerdasan ruhani tidak hanya mampu mengetahui nilai-nilai, tata susila, dan adat istiadat saja, melainkan kesetiaannya pada suaia hati yang paling sejati dari lubuk hatinya sendiri (conscience). Bila ukurannya hanya etika tata susila, seorang koruptor pun mampu menunjukkan sikapyang sopan dan inanis tutur katanya, memikat dan simpatik. Apa yang ditampakkan koruptor tersebut, baru pada tahapan cerdas secara intelektual dan sosial. Koruptor tersebut mungkin saja seorang sarjana (kecerdasan intelektual/rasional) dan bisa jadi mempunyai hubungan atau relasi sosial yang banyak (kecerdasan sosial), bahkan dia mampu mengendalikan diri untuk berpura-pura sehingga dalam kondisi tertentu tampak sabar, bersikap manis, dan mampu mengendalikan diri (pengendalian emosi); dia pun termasuk seorang yang piawai bermain golf, tubuhnya atletis, dan segar bugar (kecerdasan physical), tetapi pada koruptor tersebut tidak ada kekuatan spiritual, lemah dan bodoh qalbunya, sehingga seluruh kecerdasannya terlepas dari bisikan nuraninya yang memenuhi qalbunya. Tindakannya terlepas dari nilai hanifiyah yaitu kecenderungannya kepada kebenaran,
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan man usia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. ”(ar-Ruum: 30)
Kecerdasan ruhaniah adalah kecerdasan yang paling sejati tentang kearifan dan kebenaran serta pengetahuan Ilahi. Kecerdasan ini membuahkan rasa cinta yang sangat mendalam terhadap kebenaran (mahabbah lillah), sehingga seluruh tindakannya akan dibimbing oleh ilmu Ilahiah (’ilm alladunni) yang mengantarkannya kepada ma’rifatullah. Sedangkan, kecerdasan lainnya lebih bersifat pada kemampuannya untuk mengolah segala hal yang berkaitan dengan bentuk lahiriah (duniawi). Sebab itu, dapat kita katakan bahwa setiap niat yang terlepas dari nilai-nilai kebenaran Ilahiah, merupakan kecerdasan duniawi dan fana (temporer), sedangkan kecerdasan ruhaniah qalbiyah bersifat autentik, uni versal, dan abadi.
Sebab itu, kecerdasan yang tidak bersifat ruhani qalbiyah seringkah hanya sebagai instrumen (alat) untuk mewujudkan keinginan nafsu, keakuan, dan motivasi-motivasi sesaat. Bahkan, dapat menjadi alat untuk mewujudkan ke¬inginan hawa nafsunya.
Dalam kehidupan, kita dapat menyaksikan betapa manusia bisa bersan¬diwara, manis madu di mulutnya, tetapi sepahit empedu rasa benci yang ber gayut di qalbunya. Menghormat bahkan menjilat seseorang yang dibutuhkannya, kemudian menghujat dan mengumpat bila orang tersebut tidak lagi dia butuhkan. Mereka memandang manusia hanya pada batas "kebutuhan” bukan dengan rasa cinta. Hal lain dapat kita simpak pada seorang pria yang kepalanya terbentur pintu, masih tetap bisa tersenyum memandang pacamya, rasa nyeri kalah oleh cinta. Seorang penjahat bisa menampakkan wajah kelinci, lemah lembut, halus tutur katanya, tetapi di hatinya tersimpan tipu muslihat serigala yang siap menerkam mangsanya yang terpedaya. Banyak orang tertipu kalau hanya mengandalkan apa yang tampak secara lahiriah.
Hal ini dikarenakan, perilaku seseorang belum tentu menampakkan orisinalitas dari kemauan sebenarnya yang tersimpan secara misterius di balik dada manusia. Kita tidak boleh mengandalkan sepenuhnya pad a potensi indrawi, tanpa mendengarkan bisikan suara hati (ruhiyah). Perilaku tanpa muatan moral adalah kering, tidak ada kedalaman dan dimensi kemanusiaan. Kita sering terjebak pada penilaian semu, keputusan yang tergesa-gesa hanya karena melihat ’’kulit luar”, sehingga mengalami kekecewaan setelah terlibat lebih jauh dengan orang yang kita nilai tersebut.
* KH. Toto Tasmara, Penerbit Gema Insani Press