Qolbu Pusat Kecerdasan Ruhani

Minggu, 25 Maret 2012 08:40 WIB | 21.286 kali
Qolbu Pusat Kecerdasan Ruhani
Sesungguhnya di dalam  jasad manusia ada mudhghah (segumpal darah), apabila dia berfungsi dengan baik, maka baiklah seluruh tubuh, dan apabila msak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, mudhghah itu adalah qalbu.

Memahami dan menangkap pengertian qalbu secara utuh adalah ke­mustahilan. Kita hanya dapat memahami melalui asumsi-asumsi dari proses perenungan yang sangat personal karena di dalam qalbu terdapat berbagai potensi yang sangat multidimensional. Sehingga, sepanjang sejarah peng­hayatan dan filsafat agama, tema yang berkaitan dengan qalbu menjadi masalah yang abadi dan selalu menggoda untuk memahaminya secara lebih mendalam. Qalbu tidak mempunyai batas atau ukuran-ukuran permanen. Sebagaimana makna qalbu itu sendiri yang bersifat kondisional (ahwal) dan tidak memiliki pengertian yang statis (maqamah). Qalbu tidak mungkin diukur dengan batas- an-batasan atau dibatasi dengan ukuran-ukuran yang pasti. Meminjam ungkap­an dari Pascal, "Le coeur a ses raisons que la raison ne connait pas ’hati mempunyai akalnya sendiri yang tidak bisa dimengerti oleh akal budinya’." Pascal melanjut­kan bahwa kebenaran hanya dapat diketahui jika kita mau mendengar suara hati (logique de coeur). Walaupun seharusnya lebih ditegaskan bahwa kebenaran hanya mungkin diketahui dan dirasakan nyata, apabila kita mau melaksanakan kata hati, bukan hanya mendengar!

Qalbu adalah hati nurani yang menerima limpahan cahaya kebenaran Ilahiah, yaitu ruh. Sebagaimana sejak di alam ruh, kita telah melakukan ke­saksian kebenaran,

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap diri mereka (seraya berfirman), ’Bukankah Aku ini Tuhanmu?’Mereka menjawab, ’Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi... ’’’ (al-Araaf: 172)

Pengertian qalbu (bentuk masdar) dari qalaba yang artinya ’berubah-ubah, berbolak-balik, tidak konsisten, berganti-ganti’. Pokoknya qalbu merupakan lokus atau tempat di dalam wahana jiwa manusia yang merupakan titik sentral atau awai segala awai yang menggerakkan perbuatan manusia yang cenderung kepada kebaikan dan keburukan. Qalbu juga merupakan saghafa atau hamparan yang menerima suara hati (conscience) yang berasal dari ruh dan sering pula disebut dengan nurani (bersifat cahaya) yang menerangi atau memberikan arah pada manusia untuk bertindak dan bersikap berdasarkan keyakinan atau prinsip yang dimilikinya.

Dengan qalbu itulah, Allah ingin memanusiakan manusia, memuliakan­nya dari segala makhluk yang diciptakan-Nya. Sebaliknya, karena qalbu itu pula, manusia membinatangkan dirinya sendiri. Hal ini bisa terjadi dikarenakan qalbu merupakan titik sentral kecerdasan dan sekaligus kebodohan ruhaniah bagi manusia. Itulah sebabnya, Allah menempatkan qalbu sebagai sentral ke­sadaran manusia sehingga Allah sendiri tidak mempedulikan tindakan yang tampak kasat mata, bahkan Allah memaafkan kesalahan yang tidak dengan sengaja disuarakan oleh hati nuraninya perbuat,

.. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilafpadanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hati (qalbu)mu...." (al- Ahzab: 5, al-Baqarah: 225)

Allah tidak memandang apa yang tampak, tetapi melihat yang lebih esensial, yaitu qalbu manusia, karena dari sinilah berangkat segala tindakan yang autentik. Rasulullah bersabda,

"Sesungguhnya Allah tidak memandang bentuk wajahmu, tidak me­mandang badanmu, melainkan Dia memandang qalbumu."

Di dalam qalbu terhimpun perasaan moral, mengalami dan menghayati tentang salah-benar, baik-buruk, serta berbagai keputusan yang harus diper- tanggungjawabkannya secara sadar, sehingga kualitas qalbu akan menentukan apakah dirinya bisa tampil sebagai subjek, bahkan sebagai wakil Tuhan di muka bumi (divine vicegerency) ataukah terpuruk dalam kebinatangan yang hina, bahkan lebih hina dari binatang yang melata. Qalbu merupakan awai dari sikap sejati manusia yang paling autentik, yaitu kejujuran, keyakinan, dan prinsip-prinsip kebenaran.

Perasaan moral tersebut akan ditampilkan dalam bentuk tindakan yang berorientasi pada prestasi (achievemnents orientation ’amal saleh’). Dengan pemahaman ini, tumbuhlah kecerdasan ruhaniah yang paling awai, yaitu ke­sadaran untuk bertanggung jawab. Sehingga, seorang karyawan yang datang terlambat dengan sengaja, pada hakikatnya dia sedang mengkhianati hati nuraninya sendiri, merusak keyakinan moralnya, yaitu iman dan sekaligus tidak memiliki rasa tanggung jawab. Iman dan takwa telah tercoreng oleh perbuatan­nya tersebut, betapa pun tindakannya tersebut dianggap sepele (hanya datang terlambat). Padahal, nilai moral tidak dapat diukur oleh asumsi demikian, tetapi rasa getir karena telah berkhianat. Bukan soal kuantitas melainkan kualitas dari nuraninya mulai dikesampingkan, dan betapa pun kecilnya sebuah tindakan yang mengkhianati komitmen iman pada akhimya akan memberikan akibat yang sangat buruk, bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan pula untuk orang lain. Bila Anda terlambat, berarti ada mekanisme yang terputus karena keberadaan Anda merupakan bagian dari sebuah sistem. Keterlambatan Anda akan ditanggung oleh teman-teman Anda dan Anda sendiri menjadi bagian dari penghambat mekanisme kerja yang akan merugikan bukan hanya Anda, tetapi perusahaan! Anda tidak saja melecehkan suara hati Anda sendiri, tetapi Anda sedang dalam keadaan zalim dan menzalimi.

 Dengan demikian, yang kita maksudkan dengan kecerdasan ruhaniah ialah ke­mampuan seseorang untuk mendengarkan hati nuraninya atau bisikan kebenaran yang meng-llahi dalam cara dirinya mengambil keputusan atau melakukan pilihan-pilihan, berempati, dan beradaptasi.



Untuk itu, kecerdasan ruhaniah sangat ditentukan oleh upaya untuk membersihkan dan memberikan pencerahan qalbu (tazkiyah, tarbiyatul quluub) sehingga mampu memberikan nasihat dan arah tindakan serta caranya kita mengambil keputusan. Qalbu harus senantiasa berada pada posisi menerima curahan cahaya ruh yang bermuatkan kebenaran dan kecintaan kepada Ilahi.

Rasulullah saw. bersabda,

"Mintalah nasihat pada dirimu, mintalah nasihat pada hati nuranimu (istafti nafsaka, istafti qalbaka) wahai Habishah (Nabi mengulanginya tiga kali). Kebaikan adalah sesuatu yang membuatjiwa tenangdan membuat hati tenang. Dosa adalah sesuatu yang membuat jiwa tidak tenteram dan terasa bimbangdi dalam hati."
(HR Ahmad)

* KH. Toto Tasmara, Penerbit Gema Insani Press




Yuk Bagikan :

Baca Juga