Sesungguhnya di dalam jasad manusia ada mudhghah (segumpal darah), apabila dia
berfungsi dengan baik, maka baiklah seluruh tubuh, dan apabila msak, maka
rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, mudhghah itu adalah qalbu.
Memahami dan
menangkap pengertian qalbu
secara utuh adalah kemustahilan. Kita
hanya dapat memahami melalui asumsi-asumsi dari proses perenungan
yang sangat personal karena di dalam qalbu terdapat
berbagai potensi yang sangat multidimensional. Sehingga, sepanjang sejarah penghayatan
dan filsafat agama, tema yang berkaitan dengan qalbu menjadi
masalah yang abadi dan selalu menggoda untuk memahaminya secara lebih mendalam.
Qalbu tidak mempunyai batas atau ukuran-ukuran permanen.
Sebagaimana makna qalbu
itu sendiri yang bersifat kondisional
(ahwal)
dan tidak memiliki pengertian yang statis (maqamah). Qalbu tidak mungkin diukur dengan batas- an-batasan atau dibatasi
dengan ukuran-ukuran yang pasti. Meminjam ungkapan dari Pascal, "Le coeur a ses raisons que la raison ne connait pas ’hati mempunyai akalnya sendiri yang tidak bisa
dimengerti oleh akal budinya’." Pascal melanjutkan bahwa kebenaran hanya dapat
diketahui jika kita mau mendengar suara hati (logique de coeur).
Walaupun seharusnya lebih ditegaskan bahwa kebenaran hanya mungkin diketahui
dan dirasakan nyata, apabila kita mau melaksanakan kata hati, bukan hanya
mendengar!
Qalbu adalah hati nurani yang menerima limpahan cahaya kebenaran Ilahiah,
yaitu ruh.
Sebagaimana sejak di alam ruh, kita telah melakukan kesaksian kebenaran,
Dan (ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah
mengambil kesaksian terhadap diri mereka (seraya berfirman),
’Bukankah Aku ini
Tuhanmu?’Mereka menjawab, ’Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi... ’’’
(al-Araaf: 172)
Pengertian qalbu (bentuk masdar) dari qalaba yang artinya ’berubah-ubah, berbolak-balik, tidak
konsisten, berganti-ganti’. Pokoknya qalbu merupakan lokus atau tempat di dalam wahana jiwa
manusia yang merupakan titik sentral atau awai segala awai yang menggerakkan
perbuatan manusia yang cenderung kepada kebaikan dan keburukan. Qalbu juga merupakan saghafa atau
hamparan yang menerima suara hati (conscience) yang
berasal dari ruh dan sering pula disebut dengan nurani (bersifat cahaya) yang
menerangi atau memberikan arah pada manusia untuk bertindak dan bersikap
berdasarkan keyakinan atau prinsip yang dimilikinya.
Dengan qalbu itulah, Allah ingin memanusiakan manusia, memuliakannya
dari segala makhluk yang diciptakan-Nya. Sebaliknya, karena qalbu itu pula, manusia membinatangkan dirinya sendiri. Hal
ini bisa terjadi dikarenakan qalbu merupakan titik sentral kecerdasan dan sekaligus
kebodohan ruhaniah bagi manusia. Itulah sebabnya, Allah menempatkan qalbu sebagai sentral kesadaran manusia sehingga Allah
sendiri tidak mempedulikan tindakan yang tampak kasat mata, bahkan Allah
memaafkan kesalahan yang tidak dengan sengaja disuarakan oleh hati nuraninya
perbuat,
.. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu
khilafpadanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hati (qalbu)mu...." (al-
Ahzab: 5, al-Baqarah: 225)
Allah
tidak memandang apa yang tampak, tetapi melihat yang lebih esensial, yaitu qalbu manusia, karena dari sinilah berangkat segala tindakan
yang autentik. Rasulullah bersabda,
"Sesungguhnya Allah tidak memandang bentuk
wajahmu, tidak memandang badanmu, melainkan Dia memandang qalbumu."
Di dalam qalbu terhimpun perasaan moral, mengalami dan menghayati tentang salah-benar,
baik-buruk, serta berbagai keputusan yang harus diper- tanggungjawabkannya
secara sadar, sehingga kualitas qalbu akan menentukan apakah dirinya bisa tampil sebagai
subjek, bahkan sebagai wakil Tuhan di muka bumi (divine vicegerency) ataukah
terpuruk dalam kebinatangan yang hina, bahkan lebih hina dari binatang yang
melata. Qalbu merupakan
awai dari sikap sejati manusia yang paling autentik, yaitu kejujuran, keyakinan, dan prinsip-prinsip kebenaran.
Perasaan moral tersebut akan ditampilkan dalam bentuk tindakan yang berorientasi pada
prestasi (achievemnents orientation ’amal saleh’). Dengan pemahaman ini, tumbuhlah kecerdasan ruhaniah
yang paling awai, yaitu kesadaran untuk bertanggung jawab. Sehingga, seorang
karyawan yang datang terlambat dengan sengaja, pada hakikatnya dia sedang
mengkhianati hati nuraninya sendiri, merusak keyakinan moralnya, yaitu iman dan
sekaligus tidak memiliki rasa
tanggung jawab. Iman dan takwa telah
tercoreng oleh perbuatannya tersebut, betapa pun tindakannya tersebut dianggap
sepele (hanya datang terlambat). Padahal, nilai moral tidak dapat diukur oleh asumsi demikian, tetapi rasa getir karena telah berkhianat. Bukan soal kuantitas melainkan kualitas
dari nuraninya mulai dikesampingkan, dan betapa pun kecilnya sebuah tindakan
yang mengkhianati komitmen iman pada akhimya akan memberikan akibat yang sangat
buruk, bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan pula untuk orang lain. Bila Anda terlambat, berarti ada mekanisme yang terputus karena
keberadaan Anda merupakan bagian dari sebuah sistem. Keterlambatan Anda akan
ditanggung oleh teman-teman Anda dan Anda sendiri menjadi bagian dari
penghambat mekanisme kerja yang akan merugikan bukan hanya Anda, tetapi
perusahaan! Anda tidak saja melecehkan suara hati Anda sendiri, tetapi Anda
sedang dalam keadaan zalim dan menzalimi.
Dengan demikian, yang kita maksudkan dengan
kecerdasan ruhaniah ialah kemampuan seseorang untuk mendengarkan hati
nuraninya atau bisikan kebenaran yang meng-llahi dalam cara dirinya mengambil
keputusan atau melakukan pilihan-pilihan, berempati, dan beradaptasi. |
Untuk itu, kecerdasan
ruhaniah sangat ditentukan oleh upaya untuk membersihkan dan memberikan
pencerahan qalbu
(tazkiyah, tarbiyatul quluub) sehingga
mampu memberikan nasihat dan arah tindakan serta caranya kita mengambil
keputusan. Qalbu
harus senantiasa berada pada posisi
menerima curahan cahaya ruh yang bermuatkan kebenaran dan kecintaan kepada
Ilahi.
Rasulullah saw. bersabda,
"Mintalah nasihat pada dirimu, mintalah nasihat pada
hati nuranimu (istafti nafsaka, istafti qalbaka) wahai Habishah (Nabi mengulanginya tiga kali). Kebaikan adalah sesuatu yang membuatjiwa tenangdan membuat
hati tenang. Dosa adalah sesuatu yang membuat jiwa tidak tenteram dan terasa
bimbangdi dalam hati."(HR Ahmad)
* KH. Toto Tasmara, Penerbit Gema Insani Press