Mereka yang memiliki kecerdasan ruhaniah, menjadikan semangat pelayanan sebagai salah satu misi kehidupannya. Bagi mereka, pelayanan adalah principium identity ’jati dirinya yang paling prinsipil’. Mereka menerjemahkan takwa dalam bentuk tindakan bertanggung jawab 1 arena cinta dan memandang manusia dengan cinta pula. Itulah sebabnya bila talewa lebih diartikan pada rasa takut, akan melahirkan pribadi-pribadi yang kerdil, kaku, dan penuh rasa rendah diri. Orang-orang yang merasa takut, dikhawatirkan mengalami perasaan tertekan (depresi), dan mudah terkena trigger untuk berbuat agresif.
Mereka yang dikuasai rasa takut akan melihat bukan sebagai bagian dari keberadaannya, melainkan manusia sebagai mahluk yang berhadapan sebagai musuh sebagaimana dikatakan Thomas Hobbes, ” Manusia adalah serigala bagi manusia yang lainnya (homo homini lupus).” Padahal, keberadaan orang lain merupakan aset Ilahiah yang harus dipupuk dan dikembangkan, karena dalam nilai diri manusia, keberadaan orang lain adalah keniscayaan. Aku ada karena aku bersama orang lain. Orang lain sebagaimana dirinya sendiri adalah sama di hadapan Ilahi.
Salah satu indikator kecerdasan ruhaniah adalah cara pandangnya yang melihat orang lain sebagai titisan atau percikan Ilahi yang oleh Scheller disebut sebagai gestollte liebe. Kata manusia diterjemahkan sebagai insan yang memberikan makna cinta kasih, lemah lembut, dan rendah hati. Sehingga, manusia secara kodrati adalah makhluk yang sarat dengari cinta kasih.
Rasa pemaafannya lebih dominan daripada benci dan dendam, bahkan dapat dikatakan bahwa sebuah kemustahilan bagi orang yang bertakwa bila di hatinya ada dendam kesumat dan kebencian. Apalagi sifat melecehkan dan merasa puas bila orang lain tersungkur sakit karena fitnahnya. Sesungguhnya fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Pemaafan, kebajikan, dan keadilan merupakan sisi lain dari sikap seorang yang peduli untuk melayani, sebagaimana
firman-Nya,
"Berlaku adillah, karena adil itu dekat kepada takwa." (al-Maa’idah : 8)
’’Bicarakanlah tentang membuat kebajikan dan takwa." (al-Mujaadilah: 9)
"Apabila mereka bertakwa serta beriman dan mengerjakan amalan- amalan yang saleh, kemudian mereka bertakwa dan beriman serta Ctetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan." (al-Maa’idah: 93)
Dengan menekankan pengertian takwa yang bermuatan cinta, tergambarlah dalam pikiran kita sosok pribadi yang santun, penuh kasih sayang, dan puncaknya melahirkan tanggung jawab untuk melayani. Bahkan, dalam pembinaan sumber daya manusia, telah dibuktikan bahwa pendekatan yang bersifat persuasif atau pendekatan dengan pemberian reward serta perhatian penuh cinta kasih memberikan motivasi yang lebih lama dan produktif dibandingkan dengan pendekatan yang bersifat coercive ’paksaan dan hukuman atau penalty.
Orang yang memiliki kecerdasan ruhaniah akan melayani manusia dan alam lingkungannya dengan penuh rasa cinta. Memberikan motivasi dengan cinta, dan mengembangkan dirinya bersama-sama dengan orang lain karena cinta pula. Mereka tidak melihat perbedaan sebagai fokus perhatian, melainkan melihat persamaan itu dengan pe nuh rasa kasih. Dengan cinta, kita hilangkan perbedaan; dan bukan karena perbedaan, kita kehilangan cinta. Rahmat, cinta kasih, dan kedamaian merupakan fitrah diri manusia. Allah berfirman,
"Disebabkan rahmat dari Aliahlah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu berlaku keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." (Ali Imran: 159)
Dengan pengertian ini, tampaklah bahwa seorang disebut cerdas secara ruhaniah bila mereka menunjukkan sikapnya yang penuh kelembutan, mampu memaafkan, memohon ampun kepada Allah, dan senantiasa menghargai nilai- nilai kebersamaan melalui musyawarah sebagai bentuk sinergi melalui pertemuan gagasan bersama (meeting of mind). Mereka pun memiliki kekuatan mental yang kuat dikarenakan keyakinan dirinya yang mendalam terhadap Allah sebagai tempat sandaran dan andalannya (hasbunallah wa ni’mal wakiil).
Perhatiannya terhadap nilai kemanusiaan merupakan sisi lain dari seorang yang memiliki kecerdasan ruhaniah. Rasa takwa yang kita terjemahkan sebagai tanggung jawab, menyebabkan kehadiran dirinya menjadi pelita bumi cahaya langit, rahmatan lil alamiin. Mereka memandang manusia sebagai aset Ilahi yang harus dikembangkan dan saling menjalin hati tanpa melihat suku bangsa dan agama. Bahkan, seorang muslim yang cerdas secara ruhaniah tidak pemah ada sedikit pun rasa benci kepada manusia. Bagaimanapun keadaan mereka, pemaafnya lebih besar dari kebenciannya. Apalagi menghilangkan nyawa manusia, merupakan bentuk kenistaan bagi pribadi seorang muslim yang memiliki kecerdasan ruhaniah tersebut. Membunuh tanpa alasan yang hak merupakan penghancuran (genocide), sebagaimana Allah berfirman,
"Barangsiapayang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Barangsiapayang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya." (al-Maa’idah: 32)
Membunuh manusia bukan hanya sekadar menghilangkan nyawa, tetapi menghapuskan seluruh potensinya. Seseorang mati terbunuh, selesailah sejarah- nya. Tetapi, bisa jadi bersamaan dengan kematiannya, umat manusia kehilangan bakat-bakat cemerlangnya yang bila saja ia mempunyai umur yang panjang mungkin akan memberikan sumbangan bagi kemakmuran, kesejahteraan, dan kemuliaan peradaban manusia. Dengan kata lain, seorang yang cerdas secara ruhani adalah mereka yang menempatkan orang lain sebagai bagian dari hidup- nya dan karenanya mereka bahagia melayani. Dengan melayani orang lain, berarti ia mengembangkan keluhuran budinya.
* KH. Toto Tasmara, Penerbit Gema Insani Press