Ibadah Haji, Bisnis, Dan Politik

Sabtu, 10 Maret 2012 00:00 WIB | 9.975 kali
Ibadah Haji, Bisnis, Dan Politik Ada sebagian orang berpendapat bahwa haji adalah ibadah murni yang tidak sah bila dikeruhkan dengan aktivitas keduniaan, seperti jual-beli, perdagangan dan lebih-lebih lagi politik. Pendapat ini ada benamya, meskipun tidak sepenuhnya benar. Itu baru benar, jika aktivitas yang dilakukan terlepas dari niat iba­dah dan atau melengahkan dari tujuan keha­diran ke Baitullah.

Ketika akan memasuki pelaksanaan iba­dah haji, penulis menganjurkan agar jamaah menangguhkan aktivitas berbelanja sampai selesainya ibadah haji, tidak juga melakukan aktivitas politik, kecuali jika telah tiba di tanah air, itu pun bila memang dikehendaki. Tidak jarang mereka yang mengabaikan anjuran ini, justru mengorbankan amalan-amalan keaga­maan/yang tidak dapat dilakukan kecuali di tanah suci, misalnya meninggalkan shalat berjamaah di Masjidil Haram, karena keasyikan berbelanja atau terpaksa shalat di lobi ho­tel atau di jalan, karena sulit membawa hasil belanjaan ke dalam masjid. Padahal menurut QS An-Nur [24]: 36-38,



... di masjid-masjid yang telah diperintahkan dan dipuji nama-Nya bertasbih di dalamnya pada waktu pagi dan petang, orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari melaksanakan shalat dengan sem- purna, membayarkan zakat. Mereka takut kepada satu hari, yang di hari itu hati dan penglihatan menjadi guncang. Mereka melakukan itu, agar Allah menganugerahkan kepada mereka balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.

Memang, ketika ayat 197 Surah Al-Baqarah-yang berbicara tentang "larangan ber­cumbu, berkata cabul, dan bertengkar"- turun, sebagian sahabat Nabi menduga bahwa larangan tersebut mencakup larangan ber­niaga, karena di sana sering terjadi per­tengkaran. Dugaan mereka diluruskan oleh Al-Quran:



Tidak ada dosa bagi kamu mencari karunia Ilahi (rezeki perniagaan, pada musim haji) (QS Al- Baqarah, [2]: 198).

Petunjuk ini memang sangat wajar-khususnya jika disadari bahwa musim haji yang dialami oleh mereka ketika itu berlanjut ber­bulan-bulan, dan karena itu pula antara lain musim haji oleh Al-Quran dinyatakan sebagai terlaksana dalam beberapa bulan tertentu yakni sejak bulan Syawwal sampai bulan Dzulhijjah:       (QS Al-Baqarah[2]: 197). Ketika itu amat menyulitkan jika jual beli dan perniagaan dilarang. Tetapi berbelanja sebaiknya ditangguhkan, agar semua potensi mengarah kepada pelaksanaan ibadah. Ini terutama untuk yang telah membawa bekal cukup dari tanah air, untuk beberapa minggu bahkan belasan hari. Apalagi jika yang dibeli bukan merupakan kebutuhan hidup.

Sekali lagi, berbelanja tidak terlarang; membawa oleh-oleh dari tanah suci untuk teman dan sanak keluarga juga merupakan hal yang baik, namun sebaiknya ditangguhkan hingga selesainya melaksanakan thawaf ifadhah.

Di bidang politik juga demikian. Memang, kalau yang dimaksud adalah cara-cara yang tak sehat untuk meraih keuntungan duniawi semata, maka ini jelas terlarang. Apalagi sam- pai mengakibatkan terganggunya kekhusyuk­an beribadah.

Marilah kita lihat beberapa praktik Nabi Saw. yang memerintahkan umatnya untuk mengikuti cara beliau dalam melaksanakan haji.

Ketika beliau melakukan thawaf, yakni melakukan putaran sebanyak tujuh kali ke- liling Ka’bah, ternyata pada tiga putaran pertama beliau berlari-lari kecil. Mengapa demikian? Ibn Abbas, seorang sahabat Nabi, menjelaskan: "Nabi berlari-lari kecil karena, ketika itu, ada yang mengisukan bahwa Mu­hammad dan pengikutnya berada dalam ke­adaan payah dan lemah. Maka, orang musyrik yang ada di Makkah mengintip untuk me­nyaksikan kebenaran isu tersebut. Kemudian Nabi dan sahabat-sahabatnya berlari-lari kecil dalam rangka menangkal isu itu." Dengan

bahasa lain, ketika Nabi Saw. melakukan thawaf, sebenarnya beliau juga melakukan semacam show of force terhadap lawan-lawan- nya. Mengapa hanya tiga putaran? Karena setelah itu para pengintip membubarkan diri. Itu juga sebabnya mengapa pada sisi-sisi Ka’bah tertentu sajalah lari-lari kecil itu dilaku- kan, karena dari sisi itu saja para pengintip dapat memandang.

Di tempat-tempat tertentu, ketika melaku­kan sa’i (yang sekarang diberi tanda lampu berwarna hijau), beliau melakukan hal yang sama, yaitu juga berlari-lari kecil untuk tujuan serupa. Demikianlah terlihat ada saja tujuan- tujuan nonibadah murni yang diperagakan oleh Nabi Saw. ketika melaksanakan ibadah haji dan yang dianjurkan untuk diteladani oleh umatnya.

Anda jangan menamai ibadah haji Nabi seperti yang terlihat di atas sebagai "ibadah politik" dalam konotasi negatif. Karena, politik dalam pandangan beliau, tidak boleh dilepas­kan dari etika. Politik beliau tidak mengandung kecraangan. ’Dari yang ’tidak kwraig perrtmg- nya adalah bahwa aktivitas politik itu beliau lakukan dalam rangka meraih kebahagiaan duniawi dan keridhaan Ilahi.[]


Disadur dari buku Haji Bersama M. Quraish Shihab, Penerbit Mizan.



Yuk Bagikan :

Baca Juga