Ada sebagian orang berpendapat bahwa haji adalah ibadah murni
yang tidak sah bila dikeruhkan dengan aktivitas keduniaan, seperti jual-beli,
perdagangan dan lebih-lebih lagi politik. Pendapat ini ada benamya, meskipun
tidak sepenuhnya benar. Itu baru benar, jika aktivitas yang dilakukan terlepas
dari niat ibadah dan atau melengahkan dari tujuan kehadiran ke Baitullah.
Ketika akan memasuki
pelaksanaan ibadah haji, penulis menganjurkan agar jamaah menangguhkan
aktivitas berbelanja sampai selesainya ibadah haji, tidak juga melakukan
aktivitas politik, kecuali jika telah tiba di tanah air, itu pun bila memang
dikehendaki. Tidak jarang mereka yang mengabaikan anjuran ini, justru mengorbankan amalan-amalan keagamaan/yang
tidak dapat dilakukan kecuali di tanah suci, misalnya meninggalkan shalat
berjamaah di Masjidil Haram, karena keasyikan berbelanja atau terpaksa shalat
di lobi hotel atau di jalan, karena sulit membawa hasil belanjaan ke dalam
masjid. Padahal menurut QS An-Nur [24]: 36-38,
... di masjid-masjid yang telah diperintahkan dan
dipuji nama-Nya bertasbih di dalamnya pada waktu pagi dan petang, orang-orang
yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari
melaksanakan shalat dengan sem- purna, membayarkan zakat. Mereka takut kepada
satu hari, yang di hari itu hati dan penglihatan menjadi guncang. Mereka
melakukan itu, agar Allah menganugerahkan kepada mereka balasan yang lebih baik
dari apa yang mereka kerjakan dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada
mereka. Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.
Memang, ketika ayat
197 Surah Al-Baqarah-yang berbicara tentang "larangan
bercumbu, berkata cabul, dan bertengkar"- turun, sebagian sahabat Nabi
menduga bahwa larangan tersebut mencakup larangan berniaga, karena di sana
sering terjadi pertengkaran. Dugaan mereka diluruskan oleh Al-Quran:
Tidak ada dosa bagi kamu mencari karunia Ilahi
(rezeki perniagaan, pada musim haji) (QS Al- Baqarah,
[2]: 198).
Petunjuk ini memang sangat wajar-khususnya
jika disadari bahwa musim haji yang dialami oleh mereka ketika itu berlanjut
berbulan-bulan, dan karena itu pula antara lain musim
haji oleh Al-Quran dinyatakan sebagai terlaksana dalam beberapa bulan tertentu
yakni sejak bulan Syawwal sampai bulan Dzulhijjah:
(QS Al-Baqarah[2]: 197). Ketika itu amat menyulitkan jika jual beli dan
perniagaan dilarang. Tetapi berbelanja sebaiknya ditangguhkan, agar semua
potensi mengarah kepada pelaksanaan ibadah. Ini terutama
untuk yang telah membawa bekal cukup dari tanah air, untuk beberapa minggu
bahkan belasan hari. Apalagi jika yang dibeli bukan merupakan kebutuhan hidup.
Sekali lagi,
berbelanja tidak terlarang; membawa oleh-oleh dari tanah suci untuk teman dan
sanak keluarga juga merupakan hal yang baik, namun sebaiknya ditangguhkan
hingga selesainya melaksanakan thawaf ifadhah.
Di bidang politik
juga demikian. Memang, kalau yang dimaksud adalah cara-cara yang tak sehat
untuk meraih keuntungan duniawi semata, maka ini jelas terlarang. Apalagi sam-
pai mengakibatkan terganggunya kekhusyukan beribadah.
Marilah kita lihat
beberapa praktik Nabi Saw.
yang memerintahkan umatnya untuk
mengikuti cara beliau dalam melaksanakan haji.
Ketika beliau
melakukan thawaf, yakni melakukan putaran sebanyak tujuh kali ke- liling Ka’bah, ternyata pada tiga putaran pertama
beliau berlari-lari kecil. Mengapa demikian? Ibn Abbas, seorang sahabat Nabi,
menjelaskan: "Nabi berlari-lari kecil karena, ketika itu, ada yang
mengisukan bahwa Muhammad dan pengikutnya berada dalam keadaan payah dan
lemah. Maka, orang musyrik yang ada di Makkah mengintip untuk menyaksikan
kebenaran isu tersebut. Kemudian Nabi dan sahabat-sahabatnya berlari-lari kecil
dalam rangka menangkal isu itu." Dengan
bahasa lain, ketika Nabi Saw. melakukan thawaf,
sebenarnya beliau juga melakukan semacam show
of force terhadap lawan-lawan- nya.
Mengapa hanya tiga putaran? Karena setelah itu para pengintip membubarkan diri.
Itu juga sebabnya mengapa pada sisi-sisi Ka’bah tertentu sajalah lari-lari kecil
itu dilaku- kan, karena dari sisi itu saja para pengintip dapat memandang.
Di tempat-tempat
tertentu, ketika melakukan sa’i (yang sekarang diberi tanda lampu berwarna
hijau), beliau melakukan hal yang sama, yaitu juga berlari-lari kecil untuk
tujuan serupa. Demikianlah terlihat ada saja tujuan- tujuan nonibadah murni
yang diperagakan oleh Nabi Saw. ketika melaksanakan ibadah
haji dan yang dianjurkan untuk diteladani oleh umatnya.
Anda jangan menamai
ibadah haji Nabi seperti yang terlihat di atas sebagai "ibadah
politik" dalam konotasi negatif. Karena, politik dalam pandangan beliau,
tidak boleh dilepaskan dari etika. Politik beliau tidak mengandung kecraangan.
’Dari yang ’tidak kwraig perrtmg- nya adalah bahwa aktivitas politik itu
beliau lakukan dalam rangka meraih kebahagiaan duniawi dan keridhaan Ilahi.[]
Disadur
dari buku Haji Bersama M. Quraish Shihab, Penerbit Mizan.