Mereka Berjiwa Besar

Sabtu, 18 Februari 2012 00:00 WIB | 24.284 kali
Mereka Berjiwa Besar Jiwa besar adalah keberanian untuk memaafkan dan sekaligus melupakan perbuatan yang penah dilakukan oleh orang lain (to forgive and forget). Disebut jiwa besar karena seseorang mungkin memaafkan, tetapi tidak berangkat  dari hati nurani yang tulus sehingga tidak mau melupakan. Hal seperti ini hanyalah pemberian maaf  yang bersifat formal ritual, tidak menyentuh nilai yang paling hakiki yaitu pembersihan dan penghapusan. Karena semangat pemberian maaf adalah penghapusan segala hal yang membuat seseorang masih ada kendala psikologis. Kita memaafkan seseorang karena kita ingin member­dayakan nilai-nilai diri yang berada dalam hatinya. Kita ingin menghapuskan segala dendam kesumat untuk diganti dengan uluran tangan yang bersifat sinergi.

Orang yang cerdas secara ruhaniah adalah mereka yang mampu memaaf­kan, betapapun pedihnya kesalahan yang pemah dibuat orang tersebut pada dirinya. Karena mereka menyadari bahwa sikap pemberian maaf, bukan saja sebagai bukti kesalehan, melainkan salah satu bentuk tanggung jawab hidup- nya. Karena apa pun yang ia pilih atau putuskan pada akhirnya akan mem­pengaruhi orang lain. Kita tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain. Bahkan, seseorang disebut ada karena mereka berada bersama dengan orang lain.

Sehingga, dengan cara menghapuskan segala kendala akan memudahkan dirinya beradaptasi dan bersama-sama dengan orang lain membangun kualitas moral dengan lebih baik lagi. Jean Paul Sartre berkata, "I am respomiblefor myself and/or everyone else. 1 am creating a certain image of man of my own choosing. In choosing my self I choosen man ’saya bertanggung jawab bagi diri sendiri maupun bagi setiap orang lainnya. Saya menciptakan gambaran tertentu tentang manu- sia sesuai dengan pilihan saya sendiri. Pada saat saya memilih bagi diri saya sendiri, sebenarnya saya pun memilih bagi orang lain’."

Allah memberikan salah satu ciri orang yang bertanggung jawab adalah mereka yang mampu mengendalikan amarah (kecerdasan emosional) dan mampu memaafkan kesalahan orang lain,

"Pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa." (al-Baqarah: 237)

Seorang yang cerdas secara ruhaniah, memiliki sikap pemaaf yang sangat besar seakan lebur dalam cintanya yang sangat mendalam terhadap kebenaran (ash-shiddiq) dan sekaligus sangat besar kepeduliannya kepada kemanusiaan.

Pada saat Rasulullah dilecehkan oleh penduduk Thaif, wajah beliau ber­cucuran darah karena lemparan batu penduduk tersebut. Pada saat itu, malaikat menawarkan kekuatan untuk membalaskan kepedihan hati Kekasih Allah yang telah dihinakan melampaui batas-batas kemanusiaan. Tetapi, keagungan ahlak Rasulullah tampak dan menggaung ke seantero jagad. Tawaran malaikat di- jawabnya dengan doa, "Ya Allah, ampunilah mereka, karena sesungguhnya mereka tidak tahu. "

Keagungan akhlak tersebut ditampakkan lagi secara lebih monumental ketika Rasulullah saw. memasuki Kota Mekah yang dikenal dengan futtuh Makkah. Pada saat itu, musuh-musuh Islam menggigil ketakutan. Mereka merasa khawatir kaum muslimin akan membalas dendam karena kekejian yang telah mereka perbuat kepada kaum muslimin.

Dalam suasana yang mencekam, Rasulullah berdiri di depan Ka’bah dan berkata dengan lantang,

"Aku akan berkata sebagaimana Yusufberkata kepada saudara-saudara­nya. Tidak ada dendam dan kebencian di hati kita semua. Kalian (musuh- musuh Islam) kalau mau, silakan pergi dan bebas ke mana engkau mau, karena kalian sudah kami maafkan."

Inilah kepemimpinan dengan keteladanan (leadership by example) yang menunjukkan jiwa besar Rasulullah saw.. Padahal, selama 23 tahun beliau dan para pengikutnya mendapatkan kepedihan dan siksaan di luar batas kemanusiaan.

Seorang yang bertakwa lebih dominan rasa cintanya daripada kebencian­nya. Lebih besar rasa perdamaiannya daripada permusuhannya. Sehingga, tidak mungkin dari mulut seorang yang bertakwa keluar kata dan kalimat yang mencerminkan sikap kebencian, dendam, dan caci maki.

Dalam dunia modem seperti sekarang ini, ternyata keberanian untuk memaafkan dan berjiwa besar telah memberikan kekuatan tersendiri kepada para manajer dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Mereka bekerja dengan tetap mendengarkan suara hatinya. Mereka mempunyai kepercayaan diri yang kuat. Mereka sadar bahwa hati nurani merupakan lokus awai dan akhir dari seluruh keputusan dirinya. Cicero berkata, ’’Nobody can give you wiser advice than yourself."

Dari penelitian yang dilakukan Labmend (1994) terhadap 200 manajer tersebut diperoleh fakta bahwa perilaku manajer yang berhasil dalam pen­capaian target dan pengembangan anak buahnya, antara lain sebagai berikut.

  1. Sikap mereka yang terbuka (openminded). Mereka tidak mempunyai rasa dendam terhadap anak buahnya, bahkan merasa senang bila anak buah­nya dapat belajar dan segera menguasai pekeijaan yang secara langsung akan meringankan tugas-tugasnya sebagai manajer.
  2. Tidak ada penghalang komunikasi (communication barriers). Mereka mampu berkomunikasi secara lancar, terbuka, dan akrab antara dirinya dan anak buahnya. Sehingga, pesan-pesan atau instruksi dapat dilaksanakan anak buahnya dengan benar tanpa merasakan beban pada diri anak buahnya.
  3. Memaafkan dan melupakan (to forgive and to forget). Bila ada kesalahan, betapapun besamya kesalahan yang dilakukan anak buahnya, mereka terbuka untuk memaafkan. Yang lebih penting lagi adalah melupakannya untuk kemudian secara bersama-sama melakukan perbaikan. Menurut para manajer tersebut, sikap memaafkan dan melupakan kesalahan me­rupakan bagian dari cara dinnya untuk memotivasi anak buahnya. Sehingga, mereka bekerja tanpa merasa ada beban yang dapat menghalangi pelak­sanaan tugasnya di lapangan.

Sikap sabar dan memaafkan membuat terbukanya cakrawala yang luas. Tidak ada sekat-sekat psikologis yang menghambat (psychological barriers) dan mendorong semua pihak bekerja dengan penuh antusias. Sikap pemaaf sebagai bagian dari nilai takwa merupakan bentuk kecerdasan ruhaniah yang secara nyata dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

 
* KH. Toto Tasmara, Penerbit Gema Insani Press



Yuk Bagikan :

Baca Juga