Jiwa
besar adalah keberanian untuk memaafkan dan sekaligus melupakan perbuatan yang
penah dilakukan oleh orang lain (to forgive and forget). Disebut jiwa besar
karena seseorang mungkin memaafkan, tetapi tidak berangkat dari hati nurani yang tulus sehingga tidak
mau melupakan. Hal seperti ini hanyalah pemberian maaf yang bersifat formal ritual, tidak menyentuh
nilai yang paling hakiki yaitu pembersihan dan penghapusan. Karena
semangat pemberian maaf adalah penghapusan segala hal yang membuat seseorang
masih ada kendala psikologis. Kita memaafkan seseorang karena kita ingin memberdayakan
nilai-nilai diri yang berada dalam hatinya. Kita ingin menghapuskan segala
dendam kesumat untuk diganti dengan uluran tangan yang bersifat sinergi.
Orang yang cerdas
secara ruhaniah adalah mereka yang mampu memaafkan, betapapun pedihnya
kesalahan yang pemah dibuat orang tersebut pada dirinya. Karena mereka
menyadari bahwa sikap pemberian maaf, bukan saja sebagai bukti kesalehan,
melainkan salah satu bentuk tanggung jawab hidup- nya. Karena apa pun yang ia
pilih atau putuskan pada akhirnya akan mempengaruhi orang lain.
Kita
tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain.
Bahkan,
seseorang disebut ada karena mereka berada bersama dengan orang lain.
Sehingga, dengan
cara menghapuskan segala kendala akan memudahkan dirinya beradaptasi dan
bersama-sama dengan orang lain membangun kualitas
moral dengan lebih baik lagi. Jean
Paul Sartre berkata, "I am respomiblefor myself and/or
everyone else. 1 am creating a certain image of man of my own choosing. In
choosing my self I choosen man ’saya bertanggung jawab
bagi diri sendiri maupun bagi setiap orang
lainnya. Saya menciptakan gambaran tertentu
tentang manu- sia sesuai dengan pilihan
saya sendiri. Pada saat saya memilih bagi diri saya sendiri,
sebenarnya saya pun memilih bagi orang lain’."
Allah memberikan
salah satu ciri orang yang bertanggung jawab adalah mereka yang mampu
mengendalikan amarah (kecerdasan emosional) dan mampu memaafkan kesalahan orang
lain,
"Pemaafan kamu itu
lebih dekat kepada takwa." (al-Baqarah: 237)
Seorang yang
cerdas secara ruhaniah, memiliki sikap pemaaf yang sangat besar seakan lebur
dalam cintanya yang sangat mendalam terhadap kebenaran (ash-shiddiq) dan sekaligus sangat besar kepeduliannya kepada
kemanusiaan.
Pada saat
Rasulullah dilecehkan oleh penduduk Thaif, wajah beliau bercucuran darah
karena lemparan batu penduduk tersebut. Pada saat itu, malaikat menawarkan
kekuatan untuk membalaskan kepedihan hati Kekasih Allah yang telah dihinakan
melampaui batas-batas kemanusiaan. Tetapi, keagungan ahlak Rasulullah tampak
dan menggaung ke seantero jagad. Tawaran malaikat di- jawabnya dengan doa, "Ya
Allah, ampunilah mereka, karena sesungguhnya mereka tidak tahu. "
Keagungan akhlak
tersebut ditampakkan lagi secara lebih monumental ketika Rasulullah saw.
memasuki
Kota Mekah yang dikenal dengan futtuh Makkah. Pada saat itu, musuh-musuh Islam
menggigil
ketakutan. Mereka merasa khawatir kaum muslimin akan membalas dendam karena
kekejian yang telah mereka perbuat kepada kaum muslimin.
Dalam
suasana yang mencekam, Rasulullah
berdiri di depan Ka’bah dan berkata dengan lantang,
"Aku akan berkata
sebagaimana Yusufberkata kepada saudara-saudaranya. Tidak ada dendam dan
kebencian di hati kita semua. Kalian (musuh- musuh Islam) kalau mau, silakan pergi dan bebas ke mana engkau mau,
karena kalian sudah kami maafkan."
Inilah kepemimpinan dengan keteladanan (leadership by example) yang menunjukkan jiwa besar Rasulullah saw.. Padahal, selama 23 tahun beliau dan para pengikutnya
mendapatkan kepedihan dan siksaan di luar batas kemanusiaan.
Seorang yang bertakwa lebih dominan rasa cintanya daripada kebenciannya. Lebih besar rasa perdamaiannya daripada permusuhannya. Sehingga, tidak
mungkin dari mulut seorang yang bertakwa keluar kata dan kalimat yang
mencerminkan sikap kebencian, dendam, dan caci maki.
Dalam dunia modem seperti sekarang ini, ternyata
keberanian untuk memaafkan dan berjiwa besar telah memberikan kekuatan
tersendiri kepada para manajer dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Mereka
bekerja dengan tetap mendengarkan suara hatinya. Mereka mempunyai kepercayaan
diri yang kuat. Mereka sadar bahwa hati nurani merupakan lokus awai dan akhir
dari seluruh keputusan dirinya. Cicero berkata, ’’Nobody can give you wiser advice than yourself."
Dari penelitian yang dilakukan Labmend (1994) terhadap
200 manajer tersebut diperoleh fakta bahwa
perilaku manajer yang berhasil dalam pencapaian
target dan pengembangan anak buahnya, antara lain sebagai berikut.
-
Sikap mereka yang terbuka (openminded).
Mereka tidak mempunyai rasa dendam terhadap anak buahnya, bahkan merasa senang bila
anak buahnya dapat belajar dan segera menguasai pekeijaan yang secara langsung
akan meringankan tugas-tugasnya sebagai manajer.
- Tidak ada penghalang komunikasi (communication barriers). Mereka mampu berkomunikasi secara lancar, terbuka, dan
akrab antara dirinya dan anak buahnya. Sehingga, pesan-pesan atau instruksi
dapat dilaksanakan anak buahnya dengan benar tanpa merasakan beban pada diri
anak buahnya.
- Memaafkan dan melupakan (to forgive and to forget). Bila ada kesalahan, betapapun besamya kesalahan
yang dilakukan anak
buahnya, mereka terbuka untuk
memaafkan. Yang lebih penting lagi adalah melupakannya untuk kemudian secara
bersama-sama melakukan perbaikan. Menurut para manajer tersebut, sikap
memaafkan dan melupakan kesalahan merupakan bagian dari cara dinnya untuk
memotivasi anak buahnya. Sehingga, mereka bekerja tanpa merasa ada beban yang
dapat menghalangi pelaksanaan tugasnya di lapangan.
Sikap sabar dan memaafkan membuat terbukanya
cakrawala yang luas. Tidak ada sekat-sekat psikologis yang menghambat (psychological barriers) dan mendorong
semua pihak bekerja dengan penuh antusias. Sikap pemaaf sebagai bagian dari
nilai takwa merupakan bentuk kecerdasan ruhaniah yang secara nyata dapat
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
* KH. Toto Tasmara, Penerbit Gema Insani
Press