"Kepastian"
yang dibutuhkan oleh ilmuwan menyangkut hukum-hukum dan tata kerja alam ini,
tidak dapat diperolehnya kecuali melalui keyakinan tentang ajaran Bapak
Monoteisme itu. Karena, apa dan atau siapa yang dapat menjamin kepastian
tersebut jika Tuhan berbilang (lebih dari satu)? Satu kali Tuhan ini mengaturnya, dan satu kali yang lain Tuhan itu (yang
mengaturnya).
Selain itu, Nabi
Ibrahim a.s. hadir di pentas kehidupan pada suatu masa persimpangan menyangkut
pandangan tentang manusia dan kemanusiaan, yaitu antara kebolehan memberi sesajen yang dikorbankan berupa manusia, atau ketidakbolehannya dengan
alasan bahwa manusia adalah makhluk yang sangat mulia.
Melalui Nabi Ibrahim
a.s., secara amaliah dan tegas, larangan tersebut dikukuhkan, tetapi bukan
karena manusia terlalu tinggi nilainya sehingga tidak wajar untuk berkorban,
atau dikorbankan, tetapi karena Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Putranya Isma’il, diperintahkan oleh Tuhan untuk dikorbankan, sebagai pertanda
bahwa apa pun-bila panggilan telah tiba-wajar untuk dikorbankan karena Allah.
Dan setelah perintah tersebut dilaksanakan dengan sepenuh hati oleh ayah dan
anak, Allah Swt.-dengan kekuasaan-Nya- menghalangi
penyembelihan tersebut dan
menggantikannya dengan domba sebagai
pertanda bahwa hanya karena kasih sayang-Nya kepada manusia, maka praktik
pengorbanan semacam itu tidak diperkenankan.
Nabi Ibrahim a.s.
menemukan dan membina keyakinannya melalui pencarian dan pengalaman-pengalaman
keruhanian yang dilaluinya. Hal ini-secara Qurani-terbukti
bukan saja dalam penemuannya tentang ke-esaan Tuhan seru sekalian alam, sebagaimana diuraikan dalam
Al-Quran Surah Al-An’am (6): 75,
Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim
tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan (Kami
memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.
Keyakinan itu juga
menyangkut keyakinan tentang hari kebangkitan. Nabi Ibrahim a.s. adalah
satu-satunya nabi yang disebut oleh Al- Quran, meminta
kepada Tuhan untuk diperlihatkan bagaimana cara-Nya menghidupkan makhluk yang
mati, dan permintaan beliau itu dikabulkan oleh Allah.
Demikianlah sebagian kecil keistimewaan Nabi
Ibrahim a.s. Oleh karenanya wajar jika beliau dijadikan
teladan untuk seluruh manusia, seperti yang
ditegaskan oleh Al-Quran Surah Al-Baqarah (2): 127,
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina)
dasar-dasar Baitullah bersama Isma’il (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami,
terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Keteladanan tersebut antara lain diwujudkan dalam
bentuk ibadah haji dengan berkunjung ke Makkah. Karena, beliaulah bersama putranya Isma’il
a.s.-yang membangun (kembali) pondasi-pondasi Ka’bah.
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan
haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai
unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh (QS
Al-Hajj [22]: 27).
Keteladanan yang diwujudkan dalam bentuk ibadah
tersebut, dan (ibadah) yang praktik-praktik ritualnya berkaitan dengan
peristiwa yang beliau dan keluarganya alami, pada hakikatnya merupakan
penegasan kembali (oleh setiap jamaah haji) tentang keterikatannya dengan
prinsip-prinsip keyakinan yang dianut oleh Nabi Ibrahim a.s. yang intinya
adalah:
Pertama, pengakuan keesaan Allah Swt. Tuhan seru sekalian alam,
serta penolakan terhadap segala macam bentuk kemusyrikan, baik berupa
patung-patung, bintang-bintang, bulan dan matahari, bahkan segala sesuatu
selain Allah Swt.
Kedua, keyakinan tentang adanya neraca keadilan Ilahi dalam
kehidupan ini, yang pun- caknya akan diperoleh setiap makhluk kelak pada hari kebangkitan.
Nabi Ibrahim a.s.
datang mengumandangkan neraca keadilan Ilahi, yang mempersamakan semua
manusia di hadapan-Nya. Sehingga, betapapun kuatnya seseorang, ia tetap sama di
hadapan Tuhan dengan orang yang selemah-lemahnya. Karena, kekuatan si kuat
diperoleh dari-Nya, sedangkan kelemahan si lemah adalah atas hikmah
kebijaksanaan- Nya. Dia dapat mencabut atau menganugerahkan kekuatan itu
kepada siapa saja sesuai dengan sunnah-sunnah yang ditetapkan-Nya.
Katakanlah: Wahai Tuhan yang memiliki kerajaan.
Engkau berikan kerajaan bagi orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut
kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki (QS Ali ’Imran [3]: 26).
Ketiga, keyakinan tentang kemanusiaan yang bersifat universal, tiada perbedaan dalam kemanusiaan seseorang dengan lainnya,
betapapun terdapat perbedaan antarmereka dalam hal-hal lainnya.
Ketiga inti ajaran ini tecermin dengan jelas atau
dilambangkan dalam praktik-praktik ibadah haji ajaran Islam.
Harus disadari bahwa keyakinan tentang keesaan Tuhan dan ketundukan semua makhluk di bawah pengawasan,
pengaturan, dan
pemeliharaan-Nya, mengantar makhluk ini- khususnya manusia-untuk menyadari bahwa mereka semua sama dalam
ketundukan kepada Tuhan. Manusia, dalam pandangan Al- Quran, sama dari segi ini dengan makhluk- makhluk lain.
Tiada satu binatang melata pun di bumi, tidak juga burung
yang terbang kedua sayapnya kecuali umat- umat juga seperti kamu
(QS Al-An’am [6]: 38).
Disadur dari buku Haji Bersama M. Quraish Shihab, Penerbit
Mizan.