Nabi Ibrahim dan Keistimewaannya Bag. II

Sabtu, 04 Februari 2012 00:00 WIB | 7.276 kali
Nabi Ibrahim dan Keistimewaannya Bag. II "Kepastian" yang dibutuhkan oleh ilmu­wan menyangkut hukum-hukum dan tata kerja alam ini, tidak dapat diperolehnya ke­cuali melalui keyakinan tentang ajaran Bapak Monoteisme itu. Karena, apa dan atau siapa yang dapat menjamin kepastian tersebut jika Tuhan berbilang (lebih dari satu)? Satu kali Tuhan ini mengaturnya, dan satu kali yang lain Tuhan itu (yang mengaturnya). Selain itu, Nabi Ibrahim a.s. hadir di pentas kehidupan pada suatu masa persimpangan menyangkut pandangan tentang manusia dan kemanusiaan, yaitu antara kebolehan memberi sesajen yang dikorbankan berupa manusia, atau ketidakbolehannya dengan alasan bahwa manusia adalah makhluk yang sangat mulia.

Melalui Nabi Ibrahim a.s., secara amaliah dan tegas, larangan tersebut dikukuhkan, tetapi bukan karena manusia terlalu tinggi nilainya sehingga tidak wajar untuk berkorban, atau dikorbankan, tetapi karena Tuhan Maha Pe­ngasih lagi Maha Penyayang. Putranya Isma’il, diperintahkan oleh Tuhan untuk dikorbankan, sebagai pertanda bahwa apa pun-bila pang­gilan telah tiba-wajar untuk dikorbankan ka­rena Allah. Dan setelah perintah tersebut dilak­sanakan dengan sepenuh hati oleh ayah dan anak, Allah Swt.-dengan kekuasaan-Nya- menghalangi penyembelihan tersebut dan menggantikannya dengan domba sebagai per­tanda bahwa hanya karena kasih sayang-Nya kepada manusia, maka praktik pengorbanan semacam itu tidak diperkenankan.

Nabi Ibrahim a.s. menemukan dan mem­bina keyakinannya melalui pencarian dan pengalaman-pengalaman keruhanian yang dilaluinya. Hal ini-secara Qurani-terbukti bukan saja dalam penemuannya tentang ke-esaan Tuhan seru sekalian alam, sebagaimana diuraikan dalam Al-Quran Surah Al-An’am (6): 75,



Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.

Keyakinan itu juga menyangkut keyakinan tentang hari kebangkitan. Nabi Ibrahim a.s. adalah satu-satunya nabi yang disebut oleh Al- Quran, meminta kepada Tuhan untuk diper­lihatkan bagaimana cara-Nya menghidupkan makhluk yang mati, dan permintaan beliau itu dikabulkan oleh Allah.

Demikianlah sebagian kecil keistimewaan Nabi Ibrahim a.s. Oleh karenanya wajar jika beliau dijadikan teladan untuk seluruh manusia, seperti yang ditegaskan oleh Al-Quran Surah Al-Baqarah (2): 127,



Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Isma’il (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami, terimalah dari­pada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkau­lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Menge­tahui."

Keteladanan tersebut antara lain diwu­judkan dalam bentuk ibadah haji dengan berkunjung ke Makkah. Karena, beliaulah ber­sama putranya Isma’il a.s.-yang membangun (kembali) pondasi-pondasi Ka’bah.



Dan berserulah kepada manusia untuk menger­jakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh (QS Al-Hajj [22]: 27).

Keteladanan yang diwujudkan dalam bentuk ibadah tersebut, dan (ibadah) yang praktik-praktik ritualnya berkaitan dengan peristiwa yang beliau dan keluarganya alami, pada hakikatnya merupakan penegasan kem­bali (oleh setiap jamaah haji) tentang keterikat­annya dengan prinsip-prinsip keyakinan yang dianut oleh Nabi Ibrahim a.s. yang intinya adalah:

Pertama, pengakuan keesaan Allah Swt. Tuhan seru sekalian alam, serta penolakan terhadap segala macam bentuk kemusyrikan, baik berupa patung-patung, bintang-bintang, bulan dan matahari, bahkan segala sesuatu selain Allah Swt.

Kedua, keyakinan tentang adanya neraca keadilan Ilahi dalam kehidupan ini, yang pun- caknya akan diperoleh setiap makhluk kelak pada hari kebangkitan.

Nabi Ibrahim a.s. datang menguman­dangkan neraca keadilan Ilahi, yang memper­samakan semua manusia di hadapan-Nya. Sehingga, betapapun kuatnya seseorang, ia tetap sama di hadapan Tuhan dengan orang yang selemah-lemahnya. Karena, kekuatan si kuat diperoleh dari-Nya, sedangkan kelemah­an si lemah adalah atas hikmah kebijaksanaan- Nya. Dia dapat mencabut atau menganugerah­kan kekuatan itu kepada siapa saja sesuai dengan sunnah-sunnah yang ditetapkan-Nya.



Katakanlah: Wahai Tuhan yang memiliki kerajaan. Engkau berikan kerajaan bagi orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki (QS Ali ’Imran [3]: 26).

Ketiga, keyakinan tentang kemanusiaan yang bersifat universal, tiada perbedaan dalam kemanusiaan seseorang dengan lainnya, beta­papun terdapat perbedaan antarmereka da­lam hal-hal lainnya.

Ketiga inti ajaran ini tecermin dengan jelas atau dilambangkan dalam praktik-praktik iba­dah haji ajaran Islam.

Harus disadari bahwa keyakinan tentang keesaan Tuhan dan ketundukan semua makh­luk di bawah pengawasan, pengaturan, dan pemeliharaan-Nya, mengantar makhluk ini- khususnya manusia-untuk menyadari bahwa mereka semua sama dalam ketundukan ke­pada Tuhan. Manusia, dalam pandangan Al- Quran, sama dari segi ini dengan makhluk- makhluk lain.

 

Tiada satu binatang melata pun di bumi, tidak juga burung yang terbang kedua sayapnya kecuali umat- umat juga seperti kamu (QS Al-An’am [6]: 38).

 
Disadur dari buku Haji Bersama M. Quraish Shihab, Penerbit Mizan.

 

 

 

 



Yuk Bagikan :

Baca Juga