Memahami hakikat ibadah haji membutuhkan
paling tidak
sekelumit pemahaman tentang sejarah dan pandangan hidup Nabi Ibrahim a.s. yang
diperintahkan Allah untuk mengumandangkan ibadah itu. Tanpa pemahaman itu,
dapat timbul kesalahpahaman atau dugaan bahwa umat Islam menyembah batu, atau
berkeliling mengkultuskan bangunan yang sangat sederhana.
Tidak kurang dari
seribu juta manusia penganut agama Yahudi, Nasrani, dan Islam mengagungkan
Nabi Ibrahim. Apa gerangan keistimewaan beliau?
Nabi Ibrahim a.s.
adalah "Bapak Monoteisme", "Bapak Ketuhanan Yang Maha
Esa". Beliau datang mengumandangkan bahwa Tuhan yang disembahnya adalah
Tuhan seru sekalian alam, bukan Tuhan satu ras dan bangsa, tidak juga Tuhan yang
terbatas untuk satu masa tertentu saja.
Terbaca dalam
Al-Quran bahwa nabi-nabi sebelum Nabi Ibrahim mengajarkan kaumnya agar
menyembah Allah dengan sebutan "Tu-
han kamu". (Ini tentu untuk menyesuaikan ajaran dengan tingkat
dan kadar pemahaman masyarakat sebelum Nabi Ibrahim). Tetapi setelah itu, Nabi
Ibrahim a.s. mengajarkan bahwa Tuhan yang disembahnya adalah Tuhan seru
sekalian alam.
Aku hadapkan wajahku kepada Tuhan yang mencintakan
semua langit dan bumi (alam raya) (QS
Al-An’am [6]: 79).
Tuhan yang
diperkenalkan oleh Nabi Ibrahim a.s. bukan sekadar tuhan suku, bangsa atau
golongan tertentu manusia, tetapi Tuhan seru sekalian alam. Tuhan yang imanen
sekaligus transenden, yang dekat kepada manusia, menyertai mereka semua secara
keseluruhan dan orang per orang, baik sendirian maupun ketika ada dalam kelompok, pada saat diam
atau bergerak, tidur atau terjaga. Bahkan, sebelum dan sesudah kehidupan dan
kemati- annya Tuhan menyertai manusia. Dia bukanlah Tuhan yang sifat-sifat-Nya
hanya monopoli pengetahuan para pemuka agama, atau yang hanya dapat dihubungi
oleh mereka. Tetapi Dia adalah Tuhan manusia seluruhnya secara universal.
Tuhan Nabi Ibrahim
a.s. adalah Tuhan yang menyertai manusia dalam seluruh perjalanan
hidupnya, pada saat tidur atau sadar- nya, sebelum dan pada saat keberadaannya di
dunia ini, dan setelah kematiannya.
Nabi Ibrahim a.s. menemukan dan membina
keyakinan itu melalui pengalaman pribadi, setelah ia mengamati bintang, bulan
dan matahari, kemudian pada akhirnya ia berkesimpulan bahwa bukan patung,
bukan pula apa yang ada di bumi, tidak juga benda-benda langit, yang wajar
disembah.
Penguasa masanya yang menyembah patung pernah
bertanya kepadanya: "Jika engkau enggan menyembah patung, maka mengapa
tidak menyembah api?"
"Bukankah air memadamkannya?" jawab
Ibrahim.
"Kalau demikian, mengapa kamu tidak
menyembah air?"
"Bukankah a wan yang mengandungnya lebih
wajar disembah daripadanya?"
"Kalau demikian sembahlah awan!"
"Angin yang menggiringnya lebih
kuasa!" jawab Ibrahim.
"Nah, mengapa tidak menyembah
angin?"
"Manusia yang menghembuskan dan
menariknya lebih mampu."
Dialog di atas tidak dilanjutkan lagi, karena
sampai di sana cukup sudah bukti bahwa manusia apabila merenung dan berpikir dengan
cermat, pasti akan sampai kepada keyakinan tentang keesaan Tuhan seru sekalian
alam.
Semua manusia, dengan risalah Bapak Monoteisme
ini, memperoleh martabat kemanusiaan. Orang kuat, betapapun kuatnya, demikian
pula orang lemah, betapapun lemah- nya, adalah sama dalam pandangan Allah.
Karena, kekuatan si kuat merupakan anuge- rah-Nya, sedang kelemahan si lemah
adalah karena ketetapan-Nya jua. Bukankah orang kuat dan lemah masing-masing
meraih apa yang diraihnya berdasarkan sunnatullah (hukum-hukum yang
ditetapkan-Nya berlaku dalam kehidupan ini)? Sunnatullah itu bersifat tetap,
tidak berubah, dan berlaku bagi semua manusia tanpa pilih kasih.
Demikianlah Nabi Ibrahim a.s. menemukan
tauhid. Sampai kini, cukup banyak penemuan manusia. Namun "penemuan"
Nabi Ibrahim merupakan penemuan manusia yang terbesar. Betapa tidak? Bukankah
dengan mengenal Allah Tuhan Yang Maha Esa, manusia dapat mengenal jati dirinya
serta mengenal dan mengatur hubungannya dengan alam?
"Penemuan Nabi Ibrahim a.s. tidak dapat
dibandingkan dengan penemuan roda, api, listrik, atau rahasia-rahasia atom, betapapun besarnya
pengaruh penemuan-penemuan tersebut. Penemuan tersebut dikuasai oleh
manusia, sedangkan penemuan Nabi
Ibrahim menguasai jiwa dan raga manusia. Penemuan beliau
menjadikan manusia yang tadinya tunduk kepada alam, menjadi mampu
mengatur alam, sambil menilai baik buruknya. Sedangkan penemuan manusia,
secara umum, dapat menjadikannya berlaku sewenang-wenang. Kesewenang-wenangan
itu tidak mungkin dilakukannya selama penemuan Nabi Ibrahim a.s. tetap
menghiasi jiwanya; penemuan tersebut berkaitan dengan apa yang diketahui dan
tidak diketahuinya, berkaitan dengan kedudukannya sebagai makhluk dan hubungan
makhluk ini dengan Tuhan, alam raya dan makhluk-makhluk sesamanya..."
Demikian lebih kurang tulis pemikir Muslim Mesir Abbas Al-Aqqad.
(bersambung...)
Disadur
dari buku Haji Bersama M. Quraish Shihab, Penerbit Mizan.