Nabi Ibrahim dan Keistimewaannya Bag. I

Senin, 30 Januari 2012 00:00 WIB | 12.115 kali
Nabi Ibrahim dan Keistimewaannya Bag. I Memahami hakikat ibadah haji membu­tuhkan paling tidak sekelumit pemahaman tentang sejarah dan pandangan hidup Nabi Ibrahim a.s. yang diperintahkan Allah untuk mengumandangkan ibadah itu. Tanpa pema­haman itu, dapat timbul kesalahpahaman atau dugaan bahwa umat Islam menyembah batu, atau berkeliling mengkultuskan bangunan yang sangat sederhana.

Tidak kurang dari seribu juta manusia penganut agama Yahudi, Nasrani, dan Islam mengagungkan Nabi Ibrahim. Apa gerangan keistimewaan beliau?

Nabi Ibrahim a.s. adalah "Bapak Mono­teisme", "Bapak Ketuhanan Yang Maha Esa". Beliau datang mengumandangkan bahwa Tuhan yang disembahnya adalah Tuhan seru sekalian alam, bukan Tuhan satu ras dan bang­sa, tidak juga Tuhan yang terbatas untuk satu masa tertentu saja.

Terbaca dalam Al-Quran bahwa nabi-nabi sebelum Nabi Ibrahim mengajarkan kaumnya agar menyembah Allah dengan sebutan "Tu-

han kamu". (Ini tentu untuk menyesuaikan ajaran dengan tingkat dan kadar pemahaman masyarakat sebelum Nabi Ibrahim). Tetapi setelah itu, Nabi Ibrahim a.s. mengajarkan bahwa Tuhan yang disembahnya adalah Tu­han seru sekalian alam.



Aku hadapkan wajahku kepada Tuhan yang men­cintakan semua langit dan bumi (alam raya) (QS Al-An’am [6]: 79).

Tuhan yang diperkenalkan oleh Nabi Ibrahim a.s. bukan sekadar tuhan suku, bangsa atau golongan tertentu manusia, tetapi Tuhan seru sekalian alam. Tuhan yang imanen sekali­gus transenden, yang dekat kepada manusia, menyertai mereka semua secara keseluruhan dan orang per orang, baik sendirian maupun ketika ada dalam kelompok, pada saat diam atau bergerak, tidur atau terjaga. Bahkan, sebelum dan sesudah kehidupan dan kemati- annya Tuhan menyertai manusia. Dia bukan­lah Tuhan yang sifat-sifat-Nya hanya monopoli pengetahuan para pemuka agama, atau yang hanya dapat dihubungi oleh mereka. Tetapi Dia adalah Tuhan manusia seluruhnya secara universal.

Tuhan Nabi Ibrahim a.s. adalah Tuhan yang menyertai manusia dalam seluruh perjalanan hidupnya, pada saat tidur atau sadar- nya, sebelum dan pada saat keberadaannya di dunia ini, dan setelah kematiannya.

Nabi Ibrahim a.s. menemukan dan mem­bina keyakinan itu melalui pengalaman pribadi, setelah ia mengamati bintang, bulan dan matahari, kemudian pada akhirnya ia ber­kesimpulan bahwa bukan patung, bukan pula apa yang ada di bumi, tidak juga benda-benda langit, yang wajar disembah.

Penguasa masanya yang menyembah patung pernah bertanya kepadanya: "Jika engkau enggan menyembah patung, maka mengapa tidak menyembah api?"

"Bukankah air memadamkannya?" jawab Ibrahim.

"Kalau demikian, mengapa kamu tidak menyembah air?"

"Bukankah a wan yang mengandungnya lebih wajar disembah daripadanya?"

"Kalau demikian sembahlah awan!"

"Angin yang menggiringnya lebih kuasa!" jawab Ibrahim.

"Nah, mengapa tidak menyembah angin?"

"Manusia yang menghembuskan dan menariknya lebih mampu."

Dialog di atas tidak dilanjutkan lagi, ka­rena sampai di sana cukup sudah bukti bahwa manusia apabila merenung dan berpikir dengan cermat, pasti akan sampai kepada keya­kinan tentang keesaan Tuhan seru sekalian alam.

Semua manusia, dengan risalah Bapak Monoteisme ini, memperoleh martabat ke­manusiaan. Orang kuat, betapapun kuatnya, demikian pula orang lemah, betapapun lemah- nya, adalah sama dalam pandangan Allah. Karena, kekuatan si kuat merupakan anuge- rah-Nya, sedang kelemahan si lemah adalah karena ketetapan-Nya jua. Bukankah orang kuat dan lemah masing-masing meraih apa yang diraihnya berdasarkan sunnatullah (hu­kum-hukum yang ditetapkan-Nya berlaku dalam kehidupan ini)? Sunnatullah itu bersifat tetap, tidak berubah, dan berlaku bagi semua manusia tanpa pilih kasih.

Demikianlah Nabi Ibrahim a.s. menemu­kan tauhid. Sampai kini, cukup banyak pene­muan manusia. Namun "penemuan" Nabi Ib­rahim merupakan penemuan manusia yang terbesar. Betapa tidak? Bukankah dengan mengenal Allah Tuhan Yang Maha Esa, manusia dapat mengenal jati dirinya serta mengenal dan mengatur hubungannya dengan alam?

"Penemuan Nabi Ibrahim a.s. tidak dapat dibandingkan dengan penemuan roda, api, lis­trik, atau rahasia-rahasia atom, betapapun besarnya pengaruh penemuan-penemuan tersebut. Penemuan tersebut dikuasai oleh

manusia, sedangkan penemuan Nabi Ibrahim menguasai jiwa dan raga manusia. Penemuan beliau menjadikan manusia yang tadinya tun­duk kepada alam, menjadi mampu mengatur alam, sambil menilai baik buruknya. Sedang­kan penemuan manusia, secara umum, dapat menjadikannya berlaku sewenang-wenang. Kesewenang-wenangan itu tidak mungkin dilakukannya selama penemuan Nabi Ibrahim a.s. tetap menghiasi jiwanya; penemuan ter­sebut berkaitan dengan apa yang diketahui dan tidak diketahuinya, berkaitan dengan ke­dudukannya sebagai makhluk dan hubungan makhluk ini dengan Tuhan, alam raya dan makhluk-makhluk sesamanya..." Demikian lebih kurang tulis pemikir Muslim Mesir Abbas Al-Aqqad. (bersambung...)

 

Disadur dari buku Haji Bersama M. Quraish Shihab, Penerbit Mizan.



Yuk Bagikan :

Baca Juga