Abatasa - Belajar Bersama

Kekuatan Sabar

pada Kamis, 26 Januari 2012 00:00 WIB

Sehingga, orang-orang yang bertakwa (bertanggung jawab) tidak me­ngenal atau memiliki kosa kata ’’cengeng". Karena makna dari sabar itu sendiri bermuatan kekuatan bukan kecengengan. Orang yang sabar itu bagaikan batu karang yang tidak pernah bergeming walau ditimpa ombak samudra. Mereka tidak memiliki rasa gentar apalagi surut dari perjalanannya untuk menempuh jalan yang sudah mereka yakini. Allah berfirman, "Bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar."(al-Ahqaaf: 35)

"Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yangpatut diutamakan." (Ali Imran: 186)

"Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu." (Ali Imran: 120)

"Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan." (Huud: 115)

Rasa tanggung jawab untuk melaksanakan amanah yang kelak akan ber­buahkan sikap islah, tidak akan terwujud kecuali didasari oleh kualitas sabar. Pasalnya, hidup cenderung untuk menyimpang (deviasi) karena banyaknya pilihan yang dapat mengalihkan perhatian dari harapan atau tujuan semula. Kualitas sabar mendorong seseorang menjadi kuat, bahkan dapat mengalahkan orang-orang yang tidak memiliki sikap kesabaran, sebagaimana firman-Nya,

"Jika ada dua puluh orang-yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh."(al-Anfaal: 65)

Daniel Goleman telah mengulas masalah emotional intelligence secara panjang lebar dan menjadi trend dari wacana baru psikolog abad ini. Menurut­nya, orang-orang yang berhasil, bukan ditentukan oleh kecerdasannya secara akademik dengan IQ yang tinggi. Tetapi, mereka yang memiliki kecerdasan emosional yang mampu mengendalikan diri dan tabah melaksanakan tugas- tugasnya. Berapa banyak orang yang ber-IQ tinggi justru menjadi anak buah dari para CEO (Chief Executive Officer) yang kecerdasannya rata-rata tetapi mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi. Seringkali kita saksikan di dalam Al-Qur’an, kata sabar berkaitan dengan kata takwa, jihad, dan ujian sebagaimana firman-Nya,

"Padahal belum nyata bagi Allah orang-orangyang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar." (Ali Imran: 142)

"Sesungguhnya barangsiapayang bertakwa dan bersabar, maka sesung­guhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik." (Yusuf: 90)

Salah satu mahkota sabar adalah sikap memaafkan. Keberanian untuk selalu berpihak pada ’’salam" sebagaimana yang diucapkan setiap mengakhiri shalat (yang pada dasamya merupakan awai dari aktualisasi shalat). Orang yang memberi maaf adalah orang yang kuat, kaya batin, dan beijiwa lapang. Karena­nya, ia mendapatkan balasan (rewards) yang sangat dimuliakan di sisi-Nya. Itulah sebabnya Allah berfirman,

"Tetapi orangyang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan." (asy-Syuura: 43)

"Hai orang-orangyang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (al- Baqarah: 153)

"Sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orangyang sabar dengan pahalayanglebih baik dari apayangmereka kerjakan." (an-Nabl: 96)

"Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka tidkakan mendatangkan kemudharatan bagimu."(Ai Imran: 120,186)

Di dalam nilai-nilai sabar itu, tampak sikapnya yang paling dominan antara lain sikap percaya diri (self confidence), optimis, mampu menahan beban ujian, dan terus berusaha sekuat tenaga (mujahadah). Mereka sangat yakin akan janji Allah yang berfirman,

"Merekayang berusaha sekuat tenaga di jalan-Nya, niscaya mereka akan diberikan petunjuk dari berbagai jalan Kami." (al-Ankabuut: 69)

Mereka berani mengambil risiko atas tindakannya. Dalam pengambilan risikonya tersebut, tentu saja bukan perbuatan nekad ban bertindak tanpa perhitungan. Tetapi, melakukan antisipasi dan memperhitungkan apa yang akan terjadi dengan tindakannya itu, atau kita sebut saja sebagai risiko yang diperhitungkan (calculated risk).

Karena itu, mereka yang cerdas secara ruhaniah tidak bersifat ’’pasif reaktif ’, melainkan proaktif. Bahkan, sangat kreatif dalam mencari jalan, metode, atau yang dikenal dalam istilah agama dengan kata wasilah,



"Hai orangyang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) kepada-Nya dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kamu mendapat keberuntungan." (al-Maa’idah: 35 )

Iman menuntut tanggung jawab dan menumbuhkan imajinasi kreatif untuk selalu mencari jalan (wasilah) menggapai ridha Allah, dengan menyala­kan api kesungguhan di atas jalan-Nya (jihad). Inilah tujuan dari kecerdasan ruhaniah yang dijanjikan kemenangan ganda dari Allah SWT.


* KH. Toto Tasmara, Penerbit Gema Insani Press

#