Apabila kita memahami dengan sadar bahwa, doa itu
merupakan esensi atau tulang sumsumnya ibadah, niscaya seorang yan g berdoa
tidak akan menyepelekan atau menganggap enteng dirinya dalam hal berdoa.
Bahkan sebaliknya, dia memberatkan dan memaksa dirinya dengan sangat
bersungguh-sungguh untuk menjadikan doa itu sebagai senjata dan media untuk
melangitkan jiwa- nya yang selalu ingin membumi dipengaruhi potensi hawaa.
Dengan
berdoa berarti dia ingin mendekatkan diri, seperti anak-anak kucing kedinginan
yang menyelusup di antara pelukan induknya. Begitulah orang yang berdoa. Dia
menitipkan diri, dia memohon perlindungan dari dosa- dosa yang diperbuatnya,
dan dia merasa dikejar oleh sesuatu sehingga lari kepada Ilahi,
"Apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepatiamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka, hendaklah
mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (al-Itaqarah: 186)
Firman Allah itu menambah keyakinan dirinya bahwa seluruh
harapan dan permintaannya, niscaya pasti (conditio sine quanon)
akan dikabulkan Allah. Karena, prasangka yang
baik kepada-Nya sebagaimana dinyatakan dalam hadits qudsi, "Sesungguhnya
keadaan-Ku menurut prasangkamu!"
Di dalam berdoa, hendaknya tersimpulkan sebuah keyakinan
sambil memandang Allah dengan prasangka yang baik (husnuzh-zhan) bahwa Allah
akan mengabulkan permohonannya serta mengampuni segala dosa dan kesalahannya.
Dengan berdoa berarti manusia sedang mengambil posisi
keilahian, yang dapat diartikan bahwa manusia mengambil tempat atau lokus yang
tidak bersifat fisik. Tidak menyentuh benda-benda dunia, melainkan menyentuh
sebuah ruang luas terbentang yang tidak dapat dikalkulasikm dengan hitungan dunia.
Berdoa mengambil posisi untuk menapaki perjalanan tanpa ujung. Karena Tuhan
tidak mungkin dihadapi secara bendawi. ’’luhan adalah bebas", tidak terikat
oleh apa pun. Bahkan, Tuhan itu sendiri menunjukkan salah satu wibawa-Nya dalam
bentuk kebebasan itu sendiri, yaitu kebebasan yang bertanggung jawab. Karena
ada muatan tanggung jawab, maka manusia tidak mungkin bebas lepas atau
bebas sebagaimana gerakan binatang.
Karena itu, jiwa
orang yang berdoa harus berada pada lokus yang bebas, tidak terikat oleh
apa
pun. Ia harus melepaskan segala belenggu duniawi, masuk dalam nuansa
yang bening sehingga benar-benar merasa kan makrifat, mengenal dirinya
sendiri terlebih dahulu. Atau, meminjam istilah filsafat Yunani, "Gnothi
Seauton ’Kenalilah dirimu’ (konon
ucapan ini adalah jawaban Dewa Apollo kepada Socrates melalui Pendeta
Delphi, wallahu a’lam).
Bahkan, dalam kaum sufi dikenal moto, ’’Man arafa nafsahufaqad arafa
rabbahu ’barangsiapa mengenal dirinya, maka dia akan mengenal
Tuhannya’."
Untuk mengenal Tuhan, manusia harus dengan sengaja atau bertujuan mengambil tempat (positioning) dalam keilahian. Ari inya,
ia harus menjadi manusia satu dimensi, yaitu melakukan aktualisasi nurani atau qalbunya semata-mata.
Jiwanya yang harus berbicara
karena hanya jiwa merdeka yang akan bisa mengambil tempat keilahian
tersebut. Karl Jasper berkata, ’’The more authentically free man, the
greater his
certainty of God ’semakin sejati kemerdekaan manusia, semakin besar
kepastiannya untuk mengenal
Tuhan’."
Mengenal Tuhan bukanlah
melihat dalam arti fisik maupun jiwa atau ukuran apa pun. Cara kita mengenal
Dia, bukanlah menyentuh Zat-Nya yang sesungguhnya. Karena Dia adalah Maha Tidak
Terjangkau. Alangkah mustahil- nya seseorang yang mengatakan bahwa ia telah
berjumpa dengan Tuhannya, kemudian membuat gambaran secara fisik tentang Zat
Tuhan. Sebab, ketika Tuhan sudah terjangkau, Dia bukan Tuhan lagi karena
sifatnya yang sangat spesifik dan distinct telah hilang terjangkau dan tersentuh oleh mahluk-Nya.
Di sinilah perbedaan esensial
dari tauhid dibandingkan dengan teologi agama lainnya. Teologi agama
lain tidak saja dapat menyentuh Tuhan, tetapi dapat juga menggambarkan
Tuhannya
dalam bentuk manusia (Yesus), dewa- dewa, dan patung berhala.
Allah tidak terdefinisikan
secara utuh karena Dia Maha Tidak Terbatas, ’’Laisa kamislihi syaiun
’tidak ada satu pun yang bisa
setara dengan-Nya’." Kita hanya bisa menangkap bayangan diri kita dalam
pribatin, prirasa yang distan- dardisasi atau diarahkan untuk menuju dan
mengarah
kepada Dia. Perasaan yang tidak mungkin diungkapkan melalui kata-kata
maupun
gambaran batin secara sempuma apalagi gambaran fisik dan lahir.
Pertanyaan abadi yang tidak
teijawabkan adalah pertanyaan, ’’Bagaimana kita melukiskan gambaran tentang
wajah Tuhan?" Apakah hal ini merupakan pertanyaan tanpa akhir?
Bagi seorang muslim yang
kafah, hal tersebut bukanlah hal yang muskil, bukan the endless
question, apalagi sebagai pertanyaan abadi yang tidak terjawab. Mengapa?
Karena di
hati kita, jauh di lubuk hati, ada hatinya hati (al-qalb ’alal qalb)
yaitu iman! Bahkan, ruh kita yang paling sejati telah menyaksikan Tuhan
dan diberi potensi mengenal Tuhan, jauh
sebelum ki a terlahir ke muka bumi.
* KH. Toto Tasmara, Penerbit Gema Insani Press