Doa, Tulang Sumsumnya Ibadah

abatasa | Rabu, 23 Oktober 2013 08:08 WIB | 7.520 kali
Doa, Tulang Sumsumnya Ibadah
Apabila kita memahami dengan sadar bahwa, doa itu merupakan esensi atau tulang sumsumnya ibadah, niscaya seorang yan g berdoa tidak akan menye­pelekan atau menganggap enteng dirinya dalam hal berdoa. Bahkan sebaliknya, dia memberatkan dan memaksa dirinya dengan sangat bersungguh-sungguh untuk menjadikan doa itu sebagai senjata dan media untuk melangitkan jiwa- nya yang selalu ingin membumi dipengaruhi potensi hawaa.

Dengan berdoa berarti dia ingin mendekatkan diri, seperti anak-anak kucing kedinginan yang menyelusup di antara pelukan induknya. Begitulah orang yang berdoa. Dia menitipkan diri, dia memohon perlindungan dari dosa- dosa yang diperbuatnya, dan dia merasa dikejar oleh sesuatu sehingga lari kepada Ilahi,

"Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepatiamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (al-Itaqarah: 186)

Firman Allah itu menambah keyakinan dirinya bahwa seluruh harapan dan permintaannya, niscaya pasti (conditio sine quanon) akan dikabulkan Allah. Karena, prasangka yang baik kepada-Nya sebagaimana dinyatakan dalam hadits qudsi, "Sesungguhnya keadaan-Ku menurut prasangkamu!"

Di dalam berdoa, hendaknya tersimpulkan sebuah keyakinan sambil memandang Allah dengan prasangka yang baik (husnuzh-zhan) bahwa Allah akan mengabulkan permohonannya serta mengampuni segala dosa dan kesalah­annya.

Dengan berdoa berarti manusia sedang mengambil posisi keilahian, yang dapat diartikan bahwa manusia mengambil tempat atau lokus yang tidak ber­sifat fisik. Tidak menyentuh benda-benda dunia, melainkan menyentuh sebuah ruang luas terbentang yang tidak dapat dikalkulasikm dengan hitungan dunia. Berdoa mengambil posisi untuk menapaki perjalanan tanpa ujung. Karena Tuhan tidak mungkin dihadapi secara bendawi. ’’luhan adalah bebas", tidak terikat oleh apa pun. Bahkan, Tuhan itu sendiri menunjukkan salah satu wibawa-Nya dalam bentuk kebebasan itu sendiri, yaitu kebebasan yang ber­tanggung jawab. Karena ada muatan tanggung jawab, maka manusia tidak mungkin bebas lepas atau bebas sebagaimana gerakan binatang.

Karena itu, jiwa orang yang berdoa harus berada pada lokus yang bebas, tidak terikat oleh apa pun. Ia harus melepaskan segala belenggu duniawi, masuk dalam nuansa yang bening sehingga benar-benar merasa kan makrifat, mengenal dirinya sendiri terlebih dahulu. Atau, meminjam istilah filsafat Yunani, "Gnothi Seauton ’Kenalilah dirimu’ (konon ucapan ini adalah jawaban Dewa Apollo kepada Socrates melalui Pendeta Delphi, wallahu a’lam). Bahkan, dalam kaum sufi dikenal moto, ’’Man arafa nafsahufaqad arafa rabbahu ’barangsiapa mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya’."

Untuk mengenal Tuhan, manusia harus dengan sengaja atau bertujuan mengambil tempat (positioning) dalam keilahian. Ari inya, ia harus menjadi manusia satu dimensi, yaitu melakukan aktualisasi nurani atau qalbunya semata-mata.

Jiwanya yang harus berbicara karena hanya jiwa merdeka yang akan bisa mengambil tempat keilahian tersebut. Karl Jasper berkata, ’’The more authen­tically free man, the greater his certainty of God ’semakin sejati kemerdekaan manusia, semakin besar kepastiannya untuk mengenal Tuhan’."

Mengenal Tuhan bukanlah melihat dalam arti fisik maupun jiwa atau ukuran apa pun. Cara kita mengenal Dia, bukanlah menyentuh Zat-Nya yang sesungguhnya. Karena Dia adalah Maha Tidak Terjangkau. Alangkah mustahil- nya seseorang yang mengatakan bahwa ia telah berjumpa dengan Tuhannya, kemudian membuat gambaran secara fisik tentang Zat Tuhan. Sebab, ketika Tuhan sudah terjangkau, Dia bukan Tuhan lagi karena sifatnya yang sangat spesifik dan distinct telah hilang terjangkau dan tersentuh oleh mahluk-Nya.

Di sinilah perbedaan esensial dari tauhid dibandingkan dengan teologi agama lainnya. Teologi agama lain tidak saja dapat menyentuh Tuhan, tetapi dapat juga menggambarkan Tuhannya dalam bentuk manusia (Yesus), dewa- dewa, dan patung berhala.

Allah tidak terdefinisikan secara utuh karena Dia Maha Tidak Terbatas, ’’Laisa kamislihi syaiun ’tidak ada satu pun yang bisa setara dengan-Nya’." Kita hanya bisa menangkap bayangan diri kita dalam pribatin, prirasa yang distan- dardisasi atau diarahkan untuk menuju dan mengarah kepada Dia. Perasaan yang tidak mungkin diungkapkan melalui kata-kata maupun gambaran batin secara sempuma apalagi gambaran fisik dan lahir.

Pertanyaan abadi yang tidak teijawabkan adalah pertanyaan, ’’Bagaimana kita melukiskan gambaran tentang wajah Tuhan?" Apakah hal ini merupakan pertanyaan tanpa akhir?

Bagi seorang muslim yang kafah, hal tersebut bukanlah hal yang muskil, bukan the endless question, apalagi sebagai pertanyaan abadi yang tidak terjawab. Mengapa? Karena di hati kita, jauh di lubuk hati, ada hatinya hati (al-qalb ’alal qalb) yaitu iman! Bahkan, ruh kita yang paling sejati telah menyaksikan Tuhan dan diberi potensi mengenal Tuhan, jauh sebelum ki a terlahir ke muka bumi.

 

* KH. Toto Tasmara, Penerbit Gema Insani Press


Yuk Bagikan :

Baca Juga