Hukum-Hukum Haji Dan Umrah

Kamis, 12 Januari 2012 00:00 WIB | 18.842 kali
Hukum-Hukum Haji Dan Umrah Bukan di sini tempatnya menguraikan secara rinci hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah haji dan umrah. Buku-buku yang menguraikan hal ini secara baik dan rinci tersedia sedemikian banyak. Yang ingin dikemukakan di sini hanyalah sekilas tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah haji. Itu pun sekadar catatan-catatan kecil dan umum, yang boleh jadi terlupakan, dan tidak ditemukan dalarn buku-buku yang populer.

Seperti diketahui, dalam setiap aktivitas termasuk aktiviras ibadah, ada hal-hal yang bersifat fardhu, wajib, sunnah, dan makruh, di samping ada juga mubah (boleh-boleh saja dikerjakan) dan haram.

Dalam ibadah haji, fardhu adalah sesuatu yang apabila tidak dikerjakan sesuai ketentu­annya, maka ibadah haji tidak sah; seperti tidak melakukan wukuf di ’Arafah.

Wajib, dalam ibadah haji atau umrah, adalah sesuatu yang jika diabaikan-secara keseluruhan, atau tidak memenuhi syarat-nya-maka haji atau umrah tetap sah, tetapi orang yang bersangkutan harus melaksanakan sanksi yang telah ditetapkan. Misalnya, ke­wajiban melontar jumrah: bila ia diabaikan, maka ia harus diganti dengan membayar dam (denda).

Sesuatu yang sunnah, bila dilakukan, atau sesuatu yang makruh, jika ditinggalkan, dapat mendukung kesempurnaan ibadah haji dan umrah. Sedang sesuatu yang mubah, tidak berdampak apa pun terhadap ibadah.

Penulis sering menemukan calon-calon jamaah haji dan umrah melakukan pelanggaran-pelanggaran atau mengabaikan sesuatu yang sunnah, atau mengerjakan sesuatu yang makruh dengan begitu mudah. Dan itu mereka lakukan hanya karena mereka kekurangan pengetahuan dan pengalaman.

Demi kesempurnaan ibadah haji dan umrah, berikut ini dikemukakan beberapa catatan:

  1. Dianjurkan (disunnahkan) untuk mandi sebelum memakai pakaian ihram. Niatnya adalah mandi dalam rangka memakai pakaian ihram. Anjuran ini ditujukan juga kepada wanita, walaupun mereka dalam keadaan haid atau nifas. Sebagai­mana dianjurkan pula menggunting kuku, mencukur rambut (kemaluan dan ketiak). Dianjurkan juga memakai wangi-wangi- an, baik untuk badan maupun pakaian ihram.
  2. Memakai pakaian ihram sebaiknya dilakukan di Miqat yakni tempat di mana calon jamaah haji atau umrah akan memulai ibadahnya (misalnya dari bandara Jed­dah, bagi orang yang langsung menuju ke Makkah).

Pakaian ihram yang dianjurkan adalah pakaian yang baru dan berwarna putih. Te­tapi, tidak ada halangan bagi pria dan wanita untuk memakai pakaian berwarna dan tidak baru, selama memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan. Alas kaki, bagi pria, disyaratkan tidak menutup kedua mata kaki, dan jari-jari kakinya. Tidak ada halangan memakai ikat pinggang, jam tangan, cincin, dan perhiasan lainnya. Emas sebaiknya dihindari oleh pria, mengingat ada ulama yang mengharamkan pria memakainya. Betapapun, menghindari bersolek dan berhias ketika melaksanakan ibadah haji dan umrah, merupakan sesuatu

yang amat terpuji. Seorang bertanya kepada Rasulullah Saw., "Bagaimana seorang yang melaksanakan ibadah haji?" Beliau menjawab singkat:


Yang kusut rambutnya lagi berdebu dan yang tidak memakai wangi-wangian sehingga berbau badan- nya (HR At-Tirmidzi).

Tidak jarang para petugas di Masjidil Ha- ram dan Masjid Nabawi, menegur pengun­jung yang bersolek, misalnya wanita yang menggunakan lip stick yang menyolok atau wangi-wangian yang menusuk.

 
Disadur dari buku Haji Bersama M. Quraish Shihab, Penerbit Mizan.


Yuk Bagikan :

Baca Juga