Iman sumber energi keilahian yang sudah tertanam sejak kita masih dalam alam ruh. Manusia sejak awalnya sudah diberikan potensi bertuhan,
"Ingatlah ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman),
’Bukankah Aku ini Tuhanmu?’Mereka menjawab, ’Benar (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi.’Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan, ’Sesungguhnya kami (Bani Adam) ada- lah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)." (al-A`raaf: 172)
Iman
merupakan kata kunci dan jawaban yang paling mendasar untuk memahami dan mengerti
tentang Tuhan. Sehingga pada dasamya, perjalanan mengenal Tuhan berarti manusia
melakukan pencarian kembali atau melakukan napak tilas untuk mengarahkan
dirinya kembali kepada esensi yang sebenarnya sebagai makhluk yang telah
bersaksi dan diberi potensi bertuhan tersebut.
Untuk itulah,
di dalam potensi iman secara implisit di dalamnya ada ilmu. Tidak mungkin ada
iman tanpa ilmu atau pengertian. Tidak mungkin kita menjadi Islam tanpa iman dan ilmu.
Karena itu,
pendapat Anselmus Carterbury (1033-1109 M) yang mengatakan bahwa fides quaerit intellectum `iman itu mencari pengertian`
kiranya belum menggambarkan iman yang utuh, karena di dalam iman tersebut pasti
ada pengertian. Kewajiban manusia adalah meningkatkan pengertian, ilmu, dan
perilakunya yang akan memperindah makna ima i itu sendiri. Hal ini hampir
sejalan dengan pernyataan Aurelius Augustinus (354-430 M) yang berkata, "Nisi crediritis, nisi intelligtis `apabila tidak beriman, tidak akan mengerti`."
Iman dalam
pengertian kita adalah "cinta" yang sejak fitrahnya melekat pada
identitas manusia itu sendiri. Cinta ini adalah percikan Rahman dan Rahim atau
hikmah tiada terkira, kendati cinta tersebut hanyalah "satu
rahmat"yang ditebarkan di muka bumi di antara rahmat lainnya yang
tergenggam dalam asma Allah.
Dengan potensi
iman itulah, manusia bergerak bebas dan tidak terikat oleh apa pun. Karena, ia
hanya boleh mengikatkan diri dan terbelenggu oleh Tuhan Kekasihnya. Iman
membebaskan jiwa dalam arti yang sejati. Hanya bisa dirasakan oleh "citra
imannya sendiri". Pantaslah masalah iman sulit untuk diperdebatkan
apalagi dikompromikan, kecuali bagi mereka yang haus untuk memenuhi dahaga
jiwanya yang mencari kebenaran hakiki.
Dengan jiwa
yang bebas, manusia mampu berbuat apa saja dalam tujuannya untuk memandang
bayangan Tuhannya. Tetapi karena fitrah manusia yang tidak hanya terdiri dari
unsur ruhani belaka (ada unsur jasad), "maka ia bebas dalam
ketidakbebasan". Artinya, dalam usahanya membebaskan diri atau me-
ruhanikan diri, ia akan berhadapan dan
berperang dengan belenggunya sendiri, yaitu
badan. Di dalam mengambil posisi keilahiannya, manusia menampakkan diri
sebagai
makhluk yang bebas tetapi terikat-jiwanya
melangit,
tetapi terhambat oleh kakinya yang di bumi.
Kenyataan ini menyebabkan manusia harus berhadapan
dengan konflik-konflik batin, pertentangan, atau bahkan tarik-menarik antara
dunia dirinya (mikro kosmos) dan pengaruh dari dunia luar (makro kosmos).
Kosmos artinya keharmonisan sebagai lawan kata dari chaos `kekacauan`.
Dengan demikian, perjalanan manusia untuk memandang
Allah atau ingin menjangkau-Nya yang hakiki tidak pemah akan berhasil. Karena, dalam
berdoa itu, sekaligus ia harus menghadapi peperangannya melawan dunia.
Khususnya, melawan hawaa yang terus menggelitik untuk menyimpangkan
arah perjalanan manusia sampai ia mati.
Manusia tidak pemah akan menyentuh Tuhan atau mencapai
hakikat Tuhan. Ia hanya menempuh jalan menuju hakikat dan mengarah kepada-Nya.
Perjalanan yang mengarah atau menuju Tuhannya itu, tampak pada perbuatan
manusia yang berdoa, yang merefleksikan hasrat jiwanya.
Karena manusia dengan doanya itu sedang mengarah dan
menuju, maka ia tidak sepantasnya mengaku diri sebagai manusia sempurna, atau
manusia yang telah sampai pada batas hakikat Ilahi. Manusia tidak bisa
menjangkau, tetapi sebaliknya Allah mampu menjangkau apa pun juga. Sehingga, di
dalam berdoa tersebut, kita meyakini bahwa,
"Aku sedang menempuh perjalanan ruhani yang mengarah
kepada Tuhanku, dan dalam perjalanan itu seluruh perilaku jiwaku dimonitor oleh
jangkauan Allah. Kendati kerinduanku untuk melihat wajah Tuhanku adalah
kemustahilan pada saat ini karena keterbatasanku, tidaklah melumpuhkan
kerinduanku untuk terus menapaki jalan yang pasti mengarah kepada-Nya (shirathal mustaqiim).
Apabila dengan iradah-Nya, Dia berfirman, Kunfayakun, lantas adakah yang
mustahil bagi Allah apabila Dia menampakkan diri-Nya dalam bentuk anugerah ilmu
atau pengertian sejati yang dilimpahkan-Nya kepadaku berupa iman? Dengan iman
itu pula aku menempuh pencarian diriku dalam tuntunan (huda) Allah agar
perjalananku tidak menyimpang dari arah? Kalau saja Allah menampakkan percikan
hikmahnya di hatiku, apakah hal itu menjatuhkan keagungan-Nya?
Keyakinan ini menyulut seluruh qalbu
bahwa
kendati aku tidak mengetahui hakikat Allah, tidaklah berarti aku memalingkan
wajah jiwaku dari arah perjalanan yang sudah kuyakini ini."
* KH.
Toto Tasmara, Penerbit Gema Insani Press