Iman

Sabtu, 07 Januari 2012 00:00 WIB | 5.807 kali
Iman Iman sumber energi keilahian yang sudah tertanam sejak kita masih dalam alam ruh. Manusia sejak awalnya sudah diberikan potensi bertuhan,

"Ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ’Bukankah Aku ini Tuhanmu?’Mereka menjawab, ’Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ’Sesungguhnya kami (Bani Adam) ada- lah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)." (al-A`raaf: 172)

Iman merupakan kata kunci dan jawaban yang paling mendasar untuk memahami dan mengerti tentang Tuhan. Sehingga pada dasamya, perjalanan mengenal Tuhan berarti manusia melakukan pencarian kembali atau melaku­kan napak tilas untuk mengarahkan dirinya kembali kepada esensi yang se­benarnya sebagai makhluk yang telah bersaksi dan diberi potensi bertuhan tersebut.

Untuk itulah, di dalam potensi iman secara implisit di dalamnya ada ilmu. Tidak mungkin ada iman tanpa ilmu atau pengertian. Tidak mungkin kita menjadi Islam tanpa iman dan ilmu.

Karena itu, pendapat Anselmus Carterbury (1033-1109 M) yang mengata­kan bahwa fides quaerit intellectum `iman itu mencari pengertian` kiranya belum menggambarkan iman yang utuh, karena di dalam iman tersebut pasti ada pengertian. Kewajiban manusia adalah meningkatkan pengertian, ilmu, dan perilakunya yang akan memperindah makna ima i itu sendiri. Hal ini hampir sejalan dengan pernyataan Aurelius Augustinus (354-430 M) yang berkata, "Nisi crediritis, nisi intelligtis `apabila tidak beriman, tidak akan mengerti`."

Iman dalam pengertian kita adalah "cinta" yang sejak fitrahnya melekat pada identitas manusia itu sendiri. Cinta ini adalah percikan Rahman dan Rahim atau hikmah tiada terkira, kendati cinta tersebut hanyalah "satu rahmat"yang ditebarkan di muka bumi di antara rahmat lainnya yang tergenggam dalam asma Allah.

Dengan potensi iman itulah, manusia bergerak bebas dan tidak terikat oleh apa pun. Karena, ia hanya boleh mengikatkan diri dan terbelenggu oleh Tuhan Kekasihnya. Iman membebaskan jiwa dalam arti yang sejati. Hanya bisa dirasa­kan oleh "citra imannya sendiri". Pantaslah masalah iman sulit untuk diper­debatkan apalagi dikompromikan, kecuali bagi mereka yang haus untuk me­menuhi dahaga jiwanya yang mencari kebenaran hakiki.

Dengan jiwa yang bebas, manusia mampu berbuat apa saja dalam tujuan­nya untuk memandang bayangan Tuhannya. Tetapi karena fitrah manusia yang tidak hanya terdiri dari unsur ruhani belaka (ada unsur jasad), "maka ia bebas dalam ketidakbebasan". Artinya, dalam usahanya membebaskan diri atau me-

ruhanikan diri, ia akan berhadapan dan berperang dengan belenggunya sendiri, yaitu badan. Di dalam mengambil posisi keilahiannya, manusia menampakkan diri sebagai makhluk yang bebas tetapi terikat-jiwanya melangit, tetapi ter­hambat oleh kakinya yang di bumi.

Kenyataan ini menyebabkan manusia harus berhadapan dengan konflik-konflik batin, pertentangan, atau bahkan tarik-menarik antara dunia dirinya (mikro kosmos) dan pengaruh dari dunia luar (makro kosmos). Kosmos artinya keharmonisan sebagai lawan kata dari chaos `kekacauan`.

Dengan demikian, perjalanan manusia untuk memandang Allah atau ingin menjangkau-Nya yang hakiki tidak pemah akan berhasil. Karena, dalam berdoa itu, sekaligus ia harus menghadapi peperangannya melawan dunia. Khususnya, melawan hawaa yang terus menggelitik untuk menyimpangkan arah perjalanan manusia sampai ia mati.

Manusia tidak pemah akan menyentuh Tuhan atau mencapai hakikat Tuhan. Ia hanya menempuh jalan menuju hakikat dan mengarah kepada-Nya. Perjalanan yang mengarah atau menuju Tuhannya itu, tampak pada perbuatan manusia yang berdoa, yang merefleksikan hasrat jiwanya.

Karena manusia dengan doanya itu sedang mengarah dan menuju, maka ia tidak sepantasnya mengaku diri sebagai manusia sempurna, atau manusia yang telah sampai pada batas hakikat Ilahi. Manusia tidak bisa menjangkau, tetapi sebaliknya Allah mampu menjangkau apa pun juga. Sehingga, di dalam berdoa tersebut, kita meyakini bahwa,

"Aku sedang menempuh perjalanan ruhani yang mengarah kepada Tuhanku, dan dalam perjalanan itu seluruh perilaku jiwaku dimonitor oleh jangkauan Allah. Kendati kerinduanku untuk melihat wajah Tuhanku adalah kemustahilan pada saat ini karena keterbatasanku, tidaklah melumpuhkan kerinduanku untuk terus menapaki jalan yang pasti mengarah kepada-Nya (shirathal mustaqiim).

Apabila dengan iradah-Nya, Dia berfirman, Kunfayakun, lantas adakah yang mustahil bagi Allah apabila Dia menampakkan diri-Nya dalam bentuk anugerah ilmu atau pengertian sejati yang dilimpahkan-Nya kepadaku berupa iman? Dengan iman itu pula aku menempuh pencarian diriku dalam tuntunan (huda) Allah agar perjalananku tidak menyimpang dari arah? Kalau saja Allah menampakkan percikan hikmahnya di hatiku, apakah hal itu menjatuhkan keagungan-Nya?

Keyakinan ini menyulut seluruh qalbu bahwa kendati aku tidak mengeta­hui hakikat Allah, tidaklah berarti aku memalingkan wajah jiwaku dari arah perjalanan yang sudah kuyakini ini."

 
* KH. Toto Tasmara, Penerbit Gema Insani Press




Yuk Bagikan :

Baca Juga