Hakikat Berdoa

Senin, 26 Desember 2011 00:00 WIB | 14.080 kali
Hakikat Berdoa Mana mungkin kita bisa menyelami misteri batin diri kita, apabila ke­sadaran qalbu terganggu oleh berbagai perangkat duniaw i. Padahal, jiwa yang misteri penuh rahasia dan sulit ditangkap oleh mata batin kita sendiri sangat membutuhkan tawajuh, konsentrasi, dan menghadapkan wajah qalbu secara sungguh-sungguh. Tanpa gangguan yang masih berbau duniawi, ucapan lidah yang mungkin lafalnya salah, suara bahana loudspeaker, dan kebisingan lingkungan.

Bahkan saat ini, doa sudah memas aki bidang upacara yang bersifat dunia, karena kesadaran budaya ruhani yang ingin menjadikan hidup duniawi itu mempunyai makna. Hanya saja perlu kiranya kita memahami bahwa berdoa pada hakikatnya ber-pribatin, dan subjektif (keinginan seseorang tentunya berbeda satu dengan lainnya). Dalam hal doa yang terkait dengan orang lain, haruslah sebuah permohonan yang universal dan mengajak semua orang untuk terlibat dalam nuansa batin. Janganlah karena untuk kelancaran dan suksesnya upacara perilaku dunia itu, maka menodai pribatin kita. Sehingga, sering kita sulit membedakan antara doa dan pidato atau bagaikan sebuah retorika yang panjang dengan nada yang keras dan melengking. Padahal Al-Qur’an sudah memberikan garis etika berdoa agar bersikap dan ber-pribatin dengan penuh rendah hati dan suara yang lembut.

Kita memang mendengarkan ucapan ’’amin" dari para hadirin, tetapi apa­kah itu merupakan tanda khusyu dan harapan yang keluar dari hati? Ataukah, justru hanyalah sebuah simbol pertanda "agar doanya yang seperti pidato itu, segera selesai karena dianggap membosankan dan tidak memberikan gores­an di hati hadirin"? Hal ini tidak berarti berdoa dalam upacara adalah salah, tetapi sekadar mengingatkan agar kita yang terlibat dalam prosesi upacara ter­sebut benar-benar menghayati adab dan etika berdoa. Juga memasang niat dan komitmen bahwa berdoa bukanlah untuk menghibur para petinggi atau penguasa.

Sekali lagi kita garis bawahi bahwa berdoa adalah bersilap untuk menghadapkan seluruh batinnya kepada Ilahi, baik dalam kesendirian maupun dalam berjamaah. Tentu saja seseorang yang sudah tinggi nilai ruhaninya, merasakan kenikmatan makrifat karena sudah terbiasa melakukan riyadah dan mujahadah serta mengkonsentrasikan dirinya. Maka, apa pun yang teijadi di lingkungannya, tidak akan menjadi perhatian dirinya. Karena qalbunya sudah larut tenggelam dalam alam ruhani, mihrab Ilahi Rabbi.

Doa yang berarti ’’memanggil, menyeru, mengharap", harus dilakukan dengan keterbukaan yang sesungguhnya. Dengan melepaskan segala atribut duniawi dan menelanjangi diri sehingga benar-benar transparan, maka aku melihat dengan sesungguhnya tentang perilaku diriku. Dengan demikian, ada kandungan yang teramat khusus di dalam doa tersebut, yaitu aku memanggil diriku di hadapan Tuhanku. Berdoa berarti memanggil diri sendiri. Jiwa dan kesadaran kita diseru dan dihentakkan agar sadar bahwa saat kita berdoa se­sungguhnya diri inilah yang berkepentingan kepada-Nya.

Ya Allah. Inilah hamba-Mu

yang meratap mengharap percikan cinta-Mu

Engkau tahu

betapa jelaga nista terus memburu

dosa dan dosa dan dosa

melagukan sonata hawa nafsu

kelu lidahku untuk mengaku di hadapan-Mu

malu jiwaku untuk menatap-Mu

Ya Allah

Dalam gundah penuh ragu aku menghampiri-Mu Menatap diriku sendiri yang selalu berpaling sesekali dosa-dosa kusesali tetapi berjuta kali kuulangi

Betapa daku harus menghadap-Mu

sedang seluruh syaraf batinku

hanyalah kisah kepalsuan

Sungguh tiada yang mendesakku, kecuali sebuah pengampunan-Mu

Doa dengan pribatin itu, harus diiringi dengan kesungguhan untuk meng­ungkap seluruh perbuatannya di hadapan Tuhan. Tidak ada sikap yang transparan dan terbuka, kecuali pada saat manusia berdoa kepada Allah.

Itulah sebabnya, di dalam berdoa itu, manusia menunjukkan kejujur­annya yang paling hakiki dan memakai kata atau bisikan jiwa yang sebenarnya, tidak dibuat-buat atau mengarang doa dengan berlebih-lebihan. Karena, selama masih ada unsur dibuat-buat atau berdoa yang masih terkait dengan dunia (ingin dipuji orang lain), maka doa tersebut belum mencerminkan jeritan jiwa yang sebenarnya. Dalam beberapa hal, doa benar-benar sangat subjektif. Suara batin yang hanya dirinya yang paling mengerti dan memahaminya. Dengan demikian, di dalam berdoa tersebut, "manusia menunjukkan kemerdekaannya untuk berbicara", ya berbicara dengan bebas untuk mengungkapkan suara hatinya tanpa merasa terbelenggu oleh orang lain. Di dalam berdoa, dia tidak merasa gagap dan gamang mengungkapkan perasaannya, karena di dalam hatinya ada optimisme yang luar biasa terhadap Allah.

Bahkan, Rasulullah membimbing kita semua agar di dalam berdoa tidak dibenarkan ada semacam "reserve", ada semacam bahasa atau ungkapan yang menyangsikan terkabulnya doa,

"Janganlah seseorang di antara kamu apabila berdoa, lalu mengucapkan, Ya Allah, ampunilah hamba jika Engkau menghendaki", atau "Ya Allah, kasih­anilah hamba jika Engkau menghendaki". Hendaklah orang yang berdoa itu menetapkan permohonannya. Sebab, tidak ada seorang pun yang melarang untuk berbuat demikian." (HR Buldiari dan Muslim)

Dalam kesempatan lain, Rasulullah bersabda,

"Berdoalah kepada Allah dan kamu harus berkeyakinan, maka pasti di­kabulkan. Ketahuilah bahwa Allah tidak akan mengabulkan doa dari hatiyang lalai."( HR at-Tirmidzi)

Mungkin seseorang tidak mendapatkan kesan yang mendalam pada saat dia berdoa. Doa hanya sekadar ucapan lidah dan ungkapan verbal yang tidak menggedor jiwa, yang tidak menyebabkan keterpanggilan hati untuk meng­hadap. Hal ini dikarenakan "kita tid ak menjadikan doa sebagai ungkapan jiwa, melainkan hanya sebagai hafalan. Ibarat burung beo yang mengucapkan kata hanya sekadar meniru, tanpa dapat mengerti dan menghayati".

Dengan demikian, betapa pentingnya kesadaran jiwa dan pemahaman yang mendalam terhadap hakikat doa. Sehingga, doa yang kita ucapkan menjadi satu bentuk ibadah yang paling esensial, sebagaimana sabda Rasulullah,

"Doa itu saripatinya ibadah."(HR Bukhari dan Muslim)

  

* KH. Toto Tasmara, Penerbit Gema Insani Press


Yuk Bagikan :

Baca Juga