Hari Raya Penyempurnaan Agama

Rabu, 21 Desember 2011 00:00 WIB | 5.857 kali
Hari Raya Penyempurnaan Agama Ketika Nabi Muhammad Saw. wukuf cli Pa­dang ’Arafah pada 9 Dzulhijjah 1418 lahun yang lalu, bertepatan dengan hari Jumat sore, turunlah wahyu terakhir kepada Muhanunad Saw.:


"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, telah Kucukupkan untukmu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam (penyerahan diri) menjadi agama untukmu" (QS Al-Ma’idah [5]: 3).

Jumat sore itulah petunjuk terakhir "langit" diterima bumi. Wajar sekali umat Islam menghayati maksudnya sambil merayakan hari raya Idul Adha yang sekaligus merupakan hari peletakan batu terakhir bangunan agama Islam.

Menarik sekali untuk dipahami dan diha­yati berkaitan dengan wahyu terakhir yang turun pada saat umat Islam merayakan Idul Adha. Misalnya, arti akmaltu yang diterjemah­kan dengan "Kusempurnakan", dan atmamtu yang diterjemahkan dengan "Kucukupkan".

Saya tidak tahu persis apa perbedaan antara kedua kata tersebut dalam bahasa Indo­nesia. Tetapi, Al-Quran menggunakan kedua­nya untuk makna yang sama tapi tidak serupa. Akmaltu diartikan dengan "menghimpun banyak hal yang kesemuanya sempurna dalam satu wadah yang utuh." Sedangkan atmamtu diartikan dengan "menghimpun banyak hal yang belum sempurna sehingga menjadi sem­purna."

"Agama" disernpurnakan, sedangkan "nikmat" dicukupkan, seperti halnya dalam ba­hasa terjemahan di atas. Ini berarti bahwa petunjuk-petunjuk agama yang beraneka ragam itu kesemuanya dan masing-masingnya telah sempurna. Jangan menduga petunjuk shalat, atau zakat, atau nikah, atau jual beli, dan sebagainya yang disampaikan oleh Al-Quran masih mempunyai kekurangan-keku­rangan. Semua telah sempurna dan dihimpun dalam satu wadah, yaitu din atau yang dinamai dengan agama Islam.

"Nikmat" telah dicukupkan. Memang banyak nikmat Tuhan, misalnya, kesehatan, keka­yaan, pengetahuan, keturunan, dan sebagainya. Tetapi, jangan menduga bahwa masing- masing telah sempurna. Kesemuanya ini, wa­laupun digabungkan, masih akan kurang. Baru sempurna apabila ia dihimpun bersama de­ngan apa yang turun dari langit berupa petun­juk-petunjuk Ilahi. Petunjuk-petunjuk itulah- ketika digabungkan dengan anugerah-anugerah semacam kesehatan, kekayaan, dan sebagainya-yang menjadikannya nikmat-nikmat yang sempurna. Bila Anda memperoleh kekayaan tanpa agama, maka betapapun banyaknya ia tetap kurang, demikian pula yang lain.

Din (agama) dan dain (utang) adalah dua kata dari akar yang sama, yang mempunyai kaitan makna yang sangat erat. Beragama berarti usaha mensyukuri anugerah-anugerah Allah Swt. Dengan kata lain, membayar "utang" dan "budi baik" Tuhan kepada kita. Sayang, kita tak mampu membayar tuntas dan sempurna, karena terlalu banyaknya anugerah tersebut, sampai-sampai kita tak dapat lagi menghitungnya. Maka untuk menampakkan iktikad baik kita kepada-Nya, kita datang menghadap dan menyerahkan segala apa yang kita miliki sambil berkata: "Ya Allah, aku tak mampu membayar utangku, karenanya aku datang menyerahkan wajahku kepada- Mu, aslamtu wajhi ilaika." Inilah Islam, dalam arti penyerahan diri kepada Allah.

Syukurlah, Allah menerima pembayaran yang demikian, dan dinyatakan secara resmi penerimaan tersebut pada wahyu terakhir itu: Telah Kuridhai (Kuterima dengan puas dan senang) Islam (penyerahan dirimu) sebagai agama dan pembayaran utang.

Idul Adha adalah hari raya penyempurna­an agama, serta hari penyerahan diri secara utuh dan bulat kepada-Nya. Semoga kita mam­pu membuktikan bahwa penyerahan diri itu bukan hanya ucapan hampa.[]

 

Disadur dari buku Haji Bersama M. Quraish Shihab, Penerbit Mizan.

 



Yuk Bagikan :

Baca Juga