Ketika Nabi Muhammad Saw. wukuf cli Padang
’Arafah pada 9 Dzulhijjah 1418 lahun yang lalu, bertepatan dengan hari Jumat sore, turunlah wahyu terakhir
kepada Muhanunad Saw.:
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, telah Kucukupkan
untukmu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam (penyerahan
diri) menjadi agama untukmu" (QS Al-Ma’idah [5]: 3).
Jumat sore itulah petunjuk terakhir
"langit" diterima bumi. Wajar sekali umat Islam menghayati maksudnya
sambil merayakan hari raya Idul Adha yang sekaligus merupakan hari peletakan
batu terakhir bangunan agama Islam.
Menarik
sekali untuk dipahami dan dihayati berkaitan dengan wahyu terakhir yang turun
pada saat umat Islam merayakan Idul Adha. Misalnya, arti akmaltu yang diterjemahkan
dengan "Kusempurnakan", dan atmamtu yang
diterjemahkan dengan "Kucukupkan".
Saya
tidak tahu persis apa perbedaan antara kedua kata tersebut dalam bahasa Indonesia.
Tetapi, Al-Quran menggunakan keduanya untuk makna yang sama tapi tidak serupa.
Akmaltu diartikan dengan "menghimpun banyak hal yang kesemuanya sempurna
dalam satu wadah yang utuh." Sedangkan atmamtu diartikan
dengan "menghimpun banyak hal yang belum sempurna sehingga menjadi sempurna."
"Agama"
disernpurnakan, sedangkan "nikmat" dicukupkan, seperti halnya dalam
bahasa terjemahan di atas. Ini berarti bahwa petunjuk-petunjuk agama yang
beraneka ragam itu kesemuanya dan masing-masingnya telah sempurna. Jangan
menduga petunjuk shalat, atau zakat, atau nikah, atau jual beli, dan sebagainya
yang disampaikan oleh Al-Quran masih mempunyai kekurangan-kekurangan. Semua telah sempurna dan
dihimpun dalam satu wadah, yaitu
din atau yang dinamai dengan agama Islam.
"Nikmat"
telah dicukupkan. Memang banyak nikmat
Tuhan, misalnya, kesehatan, kekayaan, pengetahuan, keturunan, dan sebagainya. Tetapi, jangan menduga bahwa masing-
masing telah sempurna. Kesemuanya ini, walaupun digabungkan, masih akan
kurang. Baru sempurna apabila ia dihimpun bersama dengan apa yang turun dari
langit berupa petunjuk-petunjuk Ilahi. Petunjuk-petunjuk itulah- ketika digabungkan
dengan anugerah-anugerah semacam kesehatan, kekayaan, dan sebagainya-yang
menjadikannya nikmat-nikmat yang sempurna. Bila Anda memperoleh kekayaan tanpa
agama, maka betapapun banyaknya ia tetap kurang, demikian pula yang lain.
Din (agama) dan
dain (utang)
adalah dua kata dari akar yang sama, yang mempunyai kaitan makna yang sangat
erat. Beragama berarti usaha mensyukuri anugerah-anugerah Allah Swt. Dengan
kata lain, membayar
"utang" dan "budi baik" Tuhan kepada kita. Sayang, kita tak
mampu membayar tuntas dan sempurna, karena terlalu banyaknya anugerah tersebut,
sampai-sampai kita tak dapat lagi menghitungnya. Maka untuk menampakkan iktikad
baik kita kepada-Nya, kita datang menghadap dan menyerahkan segala apa yang kita miliki sambil berkata: "Ya Allah, aku tak mampu membayar
utangku, karenanya aku datang menyerahkan wajahku kepada- Mu,
aslamtu wajhi ilaika." Inilah Islam, dalam arti
penyerahan diri kepada Allah.
Syukurlah, Allah menerima pembayaran yang demikian, dan dinyatakan secara
resmi penerimaan tersebut pada wahyu terakhir itu:
Telah Kuridhai (Kuterima
dengan puas dan senang)
Islam (penyerahan dirimu)
sebagai agama dan
pembayaran utang.
Idul Adha adalah hari raya penyempurnaan agama, serta hari penyerahan diri
secara utuh dan bulat kepada-Nya. Semoga kita mampu membuktikan bahwa
penyerahan diri itu bukan hanya ucapan hampa.[]
Disadur
dari buku Haji Bersama M. Quraish Shihab, Penerbit Mizan.