Haji dan Kemanusiaan

Senin, 05 Desember 2011 00:00 WIB | 5.323 kali
Haji dan Kemanusiaan Ibadah haji dikumandangkan oleh Ibra­him a.s. sekitar 3600 yang tahun lalu. Sesudah masa beliau, praktik-praktiknya sedikit atau banyak telah mengalami perubahan, namun kemudian diluruskan kembali oleh Nabi Mu­hammad Saw. Salah satu yang diluruskan itu adalah praktik ritual yang bertentangan de­ngan penghayatan nilai kemanusiaan univer­sal. Al-Quran Surah Al-Baqarah (2): 199 me­negur sekelompok manusia (dikenal dengan nama Al-Hummas) yang merasa memiliki keistimewaan sehingga enggan bersatu dengan orang banyak dalam melakukan wukuf. Me­reka melakukan wukuf di Muzdalifah, sedang orang banyak di ’Arafah. Pemisahan diri yang dilatarbelakangi oleh perasaan superioritas itu dicegah oleh Al-Quran dan turunlah ayat tersebut:



Bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang- orang banyak dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Al-Baqarah [2]: 199).

Tidak jelas apakah praktik bergandengan tangan saat melaksanakan thawaf pada tahap awai sejarah Islam tersebut bersumber dari ajaran Ibrahim a.s., dalam rangka mempererat persaudaraan dan rasa persamaan, atau bu­kan. Namun yang jelas, Nabi Saw. memba­talkannya bukan dengan tujuan membatalkan persaudaraan dan persamaan itu, tetapi agak­nya karena alasan-alasan praktis pelaksanaan thawaf.

Tentu makna kemanusiaan dan penga­malan nilai-nilainya tidak hanya terbatas pada persamaan nilai antara seseorang dengan yang lain, tetapi kemanusiaan mengandung makna yang jauh lebih dalam dari sekadar persamaan tersebut. Ia mencakup seperangkat nilai-nilai luhur yang seharusnya menghiasi jiwa pemiliknya, bermula dari kesadaran akan fitrah atau jati dirinya serta keharusan menye­suaikan diri dengan tujuan kehadiran manusia di pentas bumi ini.

Kemanusiaan mengantar putra-putri Adam untuk menyadari arah yang dituju serta perjuangan untuk mencapainya. Kemanusia­an menjadikan makhluk ini memiliki moral serta berkemampuan memimpin makhluk- makhluk lain untuk mencapai tujuan pencip- taan. Kemanusiaan mengantarkannya untuk menyadari bahwa ia adalah makhluk dwi- dimensi yang harus dilanjutkan evolusinya hingga titik akhir. Kemanusiaan mengantar­kannya untuk sadar bahwa ia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendirian dan harus bertenggang rasa dalam berinteraksi.

Makna-makna di atas dipraktikkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara-acara ritual, atau dalam tuntunan nonritual, baik dalam bentuk nyata maupun simbolik, baik yang berupa kewajiban untuk melaksanakan­nya maupun larangan untuk melakukannya.

 
Disadur dari buku Haji Bersama M. Quraish Shihab, Penerbit Mizan.



Yuk Bagikan :

Baca Juga