Ibadah haji dikumandangkan oleh Ibrahim a.s.
sekitar 3600 yang tahun lalu. Sesudah masa beliau, praktik-praktiknya sedikit
atau banyak telah mengalami perubahan, namun kemudian diluruskan kembali oleh
Nabi Muhammad Saw. Salah satu yang diluruskan itu adalah praktik
ritual yang bertentangan dengan penghayatan nilai kemanusiaan universal. Al-Quran Surah Al-Baqarah (2): 199 menegur sekelompok manusia
(dikenal dengan nama Al-Hummas) yang merasa memiliki keistimewaan sehingga
enggan bersatu dengan orang banyak dalam melakukan wukuf. Mereka melakukan
wukuf di Muzdalifah, sedang orang banyak di ’Arafah. Pemisahan diri yang
dilatarbelakangi oleh perasaan superioritas itu dicegah oleh Al-Quran dan
turunlah ayat tersebut:
Bertolaklah
kamu dari tempat bertolaknya orang- orang banyak dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Al-Baqarah [2]:
199).
Tidak jelas apakah praktik bergandengan tangan saat melaksanakan thawaf
pada tahap awai sejarah Islam
tersebut bersumber dari ajaran Ibrahim
a.s., dalam rangka mempererat persaudaraan dan rasa persamaan,
atau bukan. Namun yang jelas, Nabi Saw. membatalkannya bukan
dengan tujuan membatalkan persaudaraan dan persamaan itu, tetapi agaknya
karena alasan-alasan praktis pelaksanaan thawaf.
Tentu makna kemanusiaan dan pengamalan
nilai-nilainya tidak hanya terbatas pada persamaan nilai antara seseorang
dengan yang lain, tetapi kemanusiaan mengandung makna yang jauh lebih
dalam dari sekadar persamaan tersebut. Ia mencakup seperangkat nilai-nilai
luhur yang seharusnya menghiasi jiwa pemiliknya, bermula dari kesadaran akan
fitrah atau jati dirinya serta keharusan menyesuaikan diri dengan tujuan
kehadiran manusia di pentas bumi ini.
Kemanusiaan mengantar putra-putri Adam untuk
menyadari arah yang dituju serta perjuangan untuk mencapainya. Kemanusiaan
menjadikan makhluk ini memiliki moral serta berkemampuan
memimpin makhluk- makhluk lain untuk mencapai tujuan
pencip- taan. Kemanusiaan mengantarkannya untuk menyadari bahwa ia adalah
makhluk dwi- dimensi yang harus dilanjutkan evolusinya hingga titik akhir.
Kemanusiaan mengantarkannya untuk sadar bahwa ia adalah makhluk sosial yang
tidak dapat hidup sendirian dan harus bertenggang rasa dalam berinteraksi.
Makna-makna di atas dipraktikkan dalam pelaksanaan
ibadah haji, dalam acara-acara ritual, atau dalam tuntunan nonritual, baik
dalam bentuk nyata maupun simbolik, baik yang berupa kewajiban untuk
melaksanakannya maupun larangan untuk melakukannya.
Disadur
dari buku Haji Bersama M. Quraish Shihab, Penerbit Mizan.