Makna Ibadah Haji
Haji dalam arti berkunjung ke suatu tempat tertentu
untuk tujuan ibadah, dikenal oleh umat manusia melalui tuntunan agama-agama,
khususnya di belahan Timur dunia kita ini. Ibadah ini diharapkan
dapat mengantar manusia kepada pengenalan jati diri,
membersihkan, dan menyucikan jiwa mereka.
Itulah agaknya yang menjadi sebab mengapa ajaran agama-agama-dalam kaitannya
dengan ibadah haji-menganjurkan pelakunya untuk memulainya dengan mandi
(menyucikan jasmani dari segala noda).
Walaupun
ibadah haji dikenal oleh agama- agama selain agama Islam, namun terdapat perbedaan yang sangat menonjol antara
ibadah haji yang diajarkan oleh Islam dengan "ibadah haji" yang dipraktikkan oleh agama-
agama lain. Misalnya
dalam pandangan terhadap tempat-tempat yang dikunjungi, keterlibatan
pemuka-pemuka agama dalam upacara-upacara ritual, dan
pada binatang-binatang kurban yang disembelih.
Memahami
makna ibadah haji dalam ajaran Islam membutuhkan pemahaman secara khusus menyangkut
berbagai hal, khususnya sejarah kehidupan Nabi Ibrahim a.s. dan ajarannya.
Karena, praktik-praktik ritual ibadah ini banyak sekali yang
berkaitan dengan pengamalan-pengamalan beliau bersama
keluarga beliau.
Panggilan
Haji
Nabi
Ibrahim a.s. dan putranya, Isma’il, diperintahkan Allah
untuk membangun kembali Ka’bah dengan meninggikan
fondasinya, sebagaimana firman Allah
dalam Al-Qtiran i Surah Al-Baqarah
(2): 125,
Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan
tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim
tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim
dan Isma’il: "Bersihkanlah rumah-Ku
untuk orang-orang yang thawaf, yang
iktikaf, yang rukuk, dan yang sujud."
Setelah mereka membersihkan tempat itu Allah berfirman
kepada Ibrahim:
Kumandangkanlah kepada semua manusia agar melaksanakan
ibadah haji (QS Al-Hajj [22]: 27).
Konon-ketika
Nabi Ibrahim a.s. mendengar perintah ini, beliau berkata: "Suaraku
tidak akan terdengar oleh semua manusia."
Maka
Allah menjawabnya: "Engkau
hanya mengumandangkan. Akulah yang menjadikan mereka mendengarnya."
Sejak
saat itu, hingga kini ibadah haji telah dikenal-minimal
oleh setiap Muslim-sebagai kewajiban yang ditetapkan oleh Allah
bagi setiap yang mampu. Sedemikian populer kewajiban ini sehingga dalam
istilah hukum agama ia dinamai ma’lum min
al-din bi al-dharurah, yakni sebuah aksioma. Demikian Allah menepati
janji-Nya kepada Ibrahim a.s.
Jika demikian, panggilan-atau katakanlah undangan untuk
melaksanakan haji-telah diterima oleh semua manusia, lebih-lebih umat Islam. Karenanya, adalah keliru ucapan sementara orang yang enggan berkunjung ke rumah-Nya sambil
berkata: "Saya belum mendapat panggilan." Tidak! semua Muslim telah
mendapat panggilan. Bukankah semua telah mengetahui bahwa haji adalah kewajiban
bagi yang mampu?
Keliru
pula orang yang menduga bahwa haji adalah panggilan Nabi Ibrahim a.s. Tidak!
Haji adalah panggilan Ilahi, dan karena itu pula jamaah haji dinamai
Dhuyuf
Al-Rahman (Tamu-tamu Allah Yang Maha Pengasih). Bukankah mereka berkunjung
ke Baitullah (Rumah Allah)?
Tuan rumah
yang baik pastilah menyambut baik pula setiap tamunya. Tuan rumah yang pemurah
akan menyediakan segala sesuatu yang menyenangkan tamunya, selama tamu tulus
bertamu, bersikap wajar dan ber- ucap yang baik. Jangankan Allah, sebagai tuan
rumah, manusia terhormat pun demikian.
Disadur
dari buku Haji Bersama M. Quraish Shihab, Penerbit Mizan.