Visi Mereka...
Ini sudah menjadi aksioma Ilahiah, sebuah hukum yang
secara universal melekat pada fitrah kita
semua. Dengan menetapkan visi itu, justru kita ingin menanam benih terbaik
dengan memupuk dan menjauhinya dari berbagai hama bakteri yang akan
menggerogoti dan menghambat pertumbuhannya.
Organisasi
atau perusahaan sangat membutuhkan visi. Karena, visi dan misi erat kaitannya
dengan rencana perusahaan, anggaran, serta kemungkinan- kemungkinan lain yang
menjadi dasar analisis dan wajah perkembangan perusahaan di masa depan.
Perusahaan yang mampu
bertahan dalam persaingan, adalah perusahaan yang mampu menggerakkan seluruh
karyawannya untuk menatap hari esok, menghayati visi yang ditetapkannya, dan
menjadikannya sebagai kerangka sikap dan perilaku seluruh karyawan secara
sinergis. Dari para pimpinan puncak sampai pada karyawan staf mempunyai
kesimpulan atau bahasa yang sama bahwa visi adalah gambaran perusahaan di masa
depan yang harus dipersiapkan sejak dini untuk mewujudkan gambaran tersebut. Di
dalam pernyataan
visinya tersebut, mereka sudah mampu menggambarkan bentuk konsumen, tuntutan
pasar, pelayanan yang akan ditawarkan, serta ukuran- ukuran dan reputasi apa
yang diharapkan perusahaan di masa depan.
Pribahasa
Yunani kuno mengenal ungkapan, ``Civis pacem parabelum `jika engkau
ingin perdamaian, maka bersiaplah untuk berperang`!" Ungkapan ini harus ditafsirkan
bahwa kewaspadaan, persiapan, dan merasa diri terancam atau kehilangan momentum
yang tepat untuk meraih hasil optimal merupakan sikap dan
perilaku yang dituntut dari pernyataan visinya. Karena itu, tidak mungkin
mencapai tujuannya dengan sukses jika kita membuat pernyataan visi dan misi
atau budaya perusahaan yang seringkah ditulis dengan sangat muluk, tetapi tidak
ada membentuk sikap dan perilaku siaga (seperti akan menghadapi pertempuran).
Visi yang juga merupakan tujuan hidup, harus kita perjuangkan dengan
sungguh-sungguh (jihad).
Kesungguhan
menetapkan visi berarti kita melakukan semacam evaluasi yang total sebagai
dasar atau rujukan ke mana kita mengarah. Hal ini senapas dengan apa yang
diucapkan Umar ibnul-Khaththab r.a., ``Hitunglah dirimu sebelum datang hari
perhitungan. Timbanglah dirimu sebelum datang hari pertimbangan."
Pernyataannya
itu menunjukkan tanggung jawab terhadap masa depan yang dimulai dari hari
kemarin!
Penetapan
visi berarti menetapkan arah kiblat yang benar-benar dia yakini. Sehingga,
seluruh sumber daya yang dimilikinya diarahkan dan dituangkan dalam bentuk
perencanaan yang merujuk ke arah kiblat tersebut. Tetapi, jika penetapan visi
atau tujuan saja, maka itu hanya sebuah impian yang indah. Apabila tidak
dituangkan dalam bentuk tindakan-tindakan yang membutuhkan perencanaan, maka
itu adalah sebuah untaian kalimat yang muluk tanpa ruh.
Ada satu peribahasa
yang mengatakan, ``Tulislah apa yang
engkau kerjakan, dan kerjakan
apa yang
engkau tulis. Atau, rencanakan pekerjaan Anda dan yang lebih penting lagi
kerjakanlah apa yang telah Anda rencanakan (plan
your work and work your plan)."
Dengan kerangka
berpikir demikian, tampaklah bahwa antara rencana,
tindakan, dan pencapaian arah merupakan jalan lurus (shirathal
mustaqiim) yang dilaksanakannya dengan bersungguh-sungguh (jihad)
diiringi oleh ruh keterikatan (komitmen). Semuanya itu merupakan bentuk
perjalanan ruhani yang akan memperkaya khazanah kehidupannya. Hidup bukanlah
kebetulan, tetapi sebuah kesengajaan yang harus dipertanggungjawabkan sepanjang
dia meyakini bahwa amanah atau kewajiban yang menjadi tanggungannya tersebut
sesuai dengan prinsip-prinsip keyakinannya dan sesuai dengan rujukan utamanya
yaitu Al-Qur`an dan hadits.
Dengan
menetapkan visi, berarti akan terus berupaya untuk mencari jalan. (Itulah
sebabnya di dalam Islam dikenal berbagai istilah
tentang makna jalan seperti sabil, syariat, wasilah, thariq,
shiroth, dan minhaj). Jalan
dapat diartikan sebagai metode, upaya, atau cara kita memilih (ikhtiar),
sebagaimana Allah berfirman,
"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah (bertanggungjawablah) kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya." (al-Maa`idah: 35 )
Inilah makna lain dari pengertian takwa yang lebih bersifat workable, membumi, dan nyata. Ia tampak dari sikap dan tindakannya untuk memenuhi amanah dan melaksanakan atau membumikan pernyataan visi yang ditetapkannya dengan penuh tanggung jawab. Karena mereka yang cerdas secara ruhaniah, memiliki kepedulian terhadap akhirat setinggi kepeduliannya terhadap duniawi.
* KH. Toto Tasmara, Penerbit Gema Insani Press