Jamaah
haji adalah tamu-tamu Allah. Dia yang mengundang mereka melalui pesuruh-Nya,
Ibrahim a.s. Adapun pesan-Nya kepada para undangan adalah,
Datanglah
dengan membawa bekal (QS Al-Baqarah [2]: 197).
Bekal itulah
kelak yang akan menentukan "layanan Tuan rumah" kepada para tamu.
Rumah-Nya yang tanpa warna-warni mengesankan kesederhanaan. Namun demikian, bangunan
itu dapat mengarah ke mana saja. Dari mana pun Anda masuk, selama membawa bekal, Anda akan diterima-Nya.
Ada tata cara
"protokoler" yang ditetapkan-Nya, tetapi
pasti menimbulkan tanda tanya-atau bahkan mungkin tawa-jika bekal yang dibawa
tak cukup. Betapa tidak? Para tamu diminta mengelilingi rumah, mondar- mandir
antara dua bukit, melontar dengan batu-batu kecil, mencium batu hitam, pakaian yang dikenakan pria tidak boleh berjahit, alas kaki jangan menutup mata kaki, dan bila pakaian telah
dikenakan tidak boleh berhias lagi. Bersisir, menggunting kuku, dan mencabut
bulu pun bila dilakukan akan terkena denda, lebih-lebih lagi bercumbu, membunuh
binatang, maupun mencabut tumbuhan.
Di sekeliling
rumah-Nya banyak sekali pengunjung, sehingga banyak kepentingan yang dapat berbenturan.
Di samping itu ada juga penggoda, bahkan iblis dan setan
pun cukup banyak yang berkeliaran menanti mangsa atau mencari
pengikut. Di sini, kalau bekal tak cukup, bukan Rumah Tuhan yang dijumpai,
tetapi sarang iblis yang akan kita huni.
Datanglah dengan
membawa bekal. Bekal yang terbaik adalah takwa (QS
Al-Baqarah [2]: 197).
Inilah
pesan-Nya menjelaskan jenis bekal. Takwa adalah nama bagi kumpulan simpul
keagamaan yang mencakup antara lain pengetahuan, kesabaran,
ketabahan, keikhlasan, kesadaran akan jati diri, serta persamaan ma- nusia dan
kelemahannya di hadapan Allah Swt.
Dengan bekal
pengetahuan, sang tamu akan sadar bahwa apa yang dilihat dan dilakukannya
merupakan simbol-simbol yang sarat makna, dan apabila dihayati, akan mengantarkannya
masuk ke dalam lingkungan Ilahi. Ia akan menyadari, misalnya, bahwa rumah-Nya
yang mengarah ke segala arah itu melambangkan Allah yang berada di segala arah.
Dan ketika kesadaran ini muncul, tanpa segan, para tamu akan mencium atau-paling tidak-melambaikan tangan ke batu hitam tersebut. Karena
itulah lambang "Tangan Tuhan" yang diulurkan untuk menerima para
tamunya yang mengikat janji setia. Dengan bekal kesabaran dan ketabahan ia akan
menerima tanpa menggerutu segala macam kekurangan, ketidaknyamanan bahkan
ujian dan cobaan. Pasti setiap jamaah haji merasakan keletihan fisik, tetapi
itu tidak berarti jika dibandingkan dengan kenikmatan ruhani yang dikecap di
sana dan yang menanti di akhirat kelak.
Dengan bekal
kesadaran akan persama- an
manusia dan kelemahannya di hadapan Allah, para tamu akan menanggalkan atribut- atribut
"kebesaran" pada saat ia menanggalkan pakaian sehari-harinya dan
mengenakan pakaian ihram. Sejak saat inilah ia tidak akan cepat tersinggung,
apalagi marah, karena rasa
kebesarannya telah pupus sejak ia
memiliki bekai itu.
Langkah
pertama untuk memperoleh dan memelihara bekal itu adalah meluruskan niat, dan
memantapkan keikhlasan. Karena itu, singkirkanlah segala rayuan, hapus semua
iming-iming duniawi, dan hadapkan wajah kepada-Nya semata.
"Nilai setiap
perbuatan ditentukan oleh niat pelakunyaini keterangan Rasul-Nya, Muhammad Saw. Karena itu pula sejak dini dipesan- kan:
Sempurnakan
haji dan umrah demi karena Allah semata (QS
Al-Baqarah [2]: 196).
Sekali lagi:
Berbekallah, sesungguhnya
sebaik-baik bekal adalah takwa. Bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang
berakal (QS Al-Baqarah [2]: 197).[]
Disadur
dari buku Haji Bersama M. Quraish Shihab, Penerbit Mizan.