Abatasa - Belajar Bersama

Berbekal ke Rumah Allah

pada Minggu, 06 November 2011 00:00 WIB

Jamaah haji adalah tamu-tamu Allah. Dia yang mengundang mereka melalui pesuruh-Nya, Ibrahim a.s. Adapun pesan-Nya kepada para undangan adalah,



Datanglah dengan membawa bekal (QS Al-Baqarah [2]: 197).

Bekal itulah kelak yang akan menentukan "layanan Tuan rumah" kepada para tamu. Rumah-Nya yang tanpa warna-warni menge­sankan kesederhanaan. Namun demikian, ba­ngunan itu dapat mengarah ke mana saja. Dari mana pun Anda masuk, selama membawa bekal, Anda akan diterima-Nya.

Ada tata cara "protokoler" yang ditetapkan-Nya, tetapi pasti menimbulkan tanda ta­nya-atau bahkan mungkin tawa-jika bekal yang dibawa tak cukup. Betapa tidak? Para tamu diminta mengelilingi rumah, mondar- mandir antara dua bukit, melontar dengan batu-batu kecil, mencium batu hitam, pakaian yang dikenakan pria tidak boleh berjahit, alas kaki jangan menutup mata kaki, dan bila pakaian telah dikenakan tidak boleh berhias lagi. Bersisir, menggunting kuku, dan men­cabut bulu pun bila dilakukan akan terkena denda, lebih-lebih lagi bercumbu, membunuh binatang, maupun mencabut tumbuhan.

Di sekeliling rumah-Nya banyak sekali pengunjung, sehingga banyak kepentingan yang dapat berbenturan. Di samping itu ada juga penggoda, bahkan iblis dan setan pun cukup banyak yang berkeliaran menanti mangsa atau mencari pengikut. Di sini, kalau bekal tak cukup, bukan Rumah Tuhan yang dijumpai, tetapi sarang iblis yang akan kita huni.

 


Datanglah dengan membawa bekal. Bekal yang terbaik adalah takwa (QS Al-Baqarah [2]: 197).

Inilah pesan-Nya menjelaskan jenis bekal. Takwa adalah nama bagi kumpulan simpul keagamaan yang mencakup antara lain penge­tahuan, kesabaran, ketabahan, keikhlasan, kesadaran akan jati diri, serta persamaan ma- nusia dan kelemahannya di hadapan Allah Swt.

Dengan bekal pengetahuan, sang tamu akan sadar bahwa apa yang dilihat dan di­lakukannya merupakan simbol-simbol yang sarat makna, dan apabila dihayati, akan meng­antarkannya masuk ke dalam lingkungan Ilahi. Ia akan menyadari, misalnya, bahwa rumah-Nya yang mengarah ke segala arah itu melambangkan Allah yang berada di segala arah. Dan ketika kesadaran ini muncul, tanpa segan, para tamu akan mencium atau-paling tidak-melambaikan tangan ke batu hitam tersebut. Karena itulah lambang "Tangan Tuhan" yang diulurkan untuk menerima para tamunya yang mengikat janji setia. Dengan bekal kesabaran dan ketabahan ia akan me­nerima tanpa menggerutu segala macam ke­kurangan, ketidaknyamanan bahkan ujian dan cobaan. Pasti setiap jamaah haji merasa­kan keletihan fisik, tetapi itu tidak berarti jika dibandingkan dengan kenikmatan ruhani yang dikecap di sana dan yang menanti di akhirat kelak.

Dengan bekal kesadaran akan persama- an manusia dan kelemahannya di hadapan Allah, para tamu akan menanggalkan atribut- atribut "kebesaran" pada saat ia menanggal­kan pakaian sehari-harinya dan mengenakan pakaian ihram. Sejak saat inilah ia tidak akan cepat tersinggung, apalagi marah, karena rasa kebesarannya telah pupus sejak ia memiliki bekai itu.

Langkah pertama untuk memperoleh dan memelihara bekal itu adalah meluruskan niat, dan memantapkan keikhlasan. Karena itu, singkirkanlah segala rayuan, hapus semua iming-iming duniawi, dan hadapkan wajah kepada-Nya semata.

 


"Nilai setiap perbuatan ditentukan oleh niat pelakunyaini keterangan Rasul-Nya, Muham­mad Saw. Karena itu pula sejak dini dipesan- kan:



Sempurnakan haji dan umrah demi karena Allah semata (QS Al-Baqarah [2]: 196).

Sekali lagi:


Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang berakal (QS Al-Baqarah [2]: 197).[]


Disadur dari buku Haji Bersama M. Quraish Shihab, Penerbit Mizan.

#