Suatu
malam, Rasulullah Saw. berbisik
kepada istri beliau Aisyah r.a., "Apakah kamu rela pada malam (giliranmu)
ini, aku beribadah?"
"Aku
sungguh senang berada di samping-mu selalu, tetapi aku pun rela dengan apa yang
engkau sukai, yaitu beribadah kepada Allah." sahut Aisyah.
Rasul Saw. kemudian bangkit untuk berwudhu tidak
banyak air yang digunakannya. Lalu beliau shalat dengan membaca Al-Quran, sambil menangis sampai membasahi
jenggotnya kemudian sujud dan menangis, sehingga membasahi lantai. Setelah
selesai shalat beliau berbaring tetapi masih terus mencucurkan air mata.
Demikian cerita Aisyah "Tidak
biasa Rasul terlambat
ke masjid untuk shalat (sebelum) subuh. Ada apa
gerangan yang terjadi?" tanya Bilal dalam hatinya. Maka ia menuju ke
rumah Rasul, dan ditemuinya beliau sedang menangis.
"Mengapa
engkau menangis, wahai Rasul? Bukankah Allah telah mengampuni dosa-mu?"
tanya Bilal.
"Betapa
aku tidak menangis. Semalam telah turun kepadaku wahyu":
Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah,
sambil berdiri, duduk, atau berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau men-ciptakan
ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, peliharalah kami dari siksa neraka" (QS Ali
’Imran [3]: 190-191).
Rasul
Saw. kemudian
berkata kepada Bilal,
Rugilah orang yang membacanya
tapi tidak menghayati kandungannya.
Orang
berakal menggunakan potensinya untuk memahami ayat-ayat Tuhan yang tertulis di
dalam mushaf atau terbentang di alam raya. Mereka tidak menempatkan diri di menara
gading, tidak juga berpikir terlepas dari Allah, juga tidak membatasi ingatan
kepada-Nya hanya pada waktu-waktu tertentu. Berdiri, duduk, dan berbaring
sekalipun, mereka tetap mengingat-Nya. Usahanya tidak hanya sampai pada
pemahaman, tetapi pengakuan tentang "hak" yang mewarnai seluruh
ciptaan Allah. Pengakuan ini kemudian menghasilkan amal dan karya-karya besar.
Pemahaman tanpa pengakuan adalah kejahilan, pengakuan tanpa pengamalan sama
dengan kesesatan.
"Ayat-ayat
adalah jamuan Allah," demikian sabda Nabi Saw. Allah mengundang manusia untuk
menelaah ayat-ayat-Nya. Menghadiri undangan-Nya atau memenuhi panggilan-Nya
berarti menikmati "santapan"-Nya. Kenikmatan makanan dalam suatu
perjamuan akan semakin terasa dengan kehadiran teman- teman yang berbudi.
Demikian pula dengan jamuan Tuhan. Karena itu usahakan kebersamaan dalam
segala langkah Anda. Ber-jamaahlah dalam shalat, rasakan dahaga dan lapar orang
lain di
kala berpuasa, dan ketika beribadah haji jangan lupa bahwa ada orang lain yang sama dengan Anda. Mereka juga
manusia dan memiliki perasaan seperti Anda. Ada etika dan tata cara makan yang
baik yang harus dipatuhi oleh setiap orang terhormat, demikian pula dengan
undangan Tuhan.
Mengecap
cita rasa makanan
menjadi tujuan awal memenuhi
undangan. Tetapi, ada tujuan utama dari si pengundang yang harus disadari oleh
para undangan yaitu agar terjalin hubungan mesra antara kedua pihak.
Selanjutnya,
ayat-ayat yang dibaca atau dilihat yang merupakan "jenis-jenis makanan"
yang dihidangkan, bukan hanya untuk dinikmati oleh para undangan sendirian, Makanlah
yang terjangkau oleh tangan kananmu dan ulurkan makanan itu kepada yang tidak
menjangkaunya, pesan Allah. Ini berarti ada tanggung jawab untuk
memberi sesuatu kepada orang lain. Karena
itu bagilah pengalaman dan penghayatan kepada orang lain,
Sebar
luaskan kedamaian, berikan orang lain pangan,
dan shalatlah ketika orang-orang tidur.
Begitulah
antara lain ciri
haji yang mabrur. Namun demikian, pengetahuan saja tidak cukup. Pengakuan pun
masih kurang. Buahnya harus ada untuk diri sendiri dan dibagikan pula kepada
orang lain. Rugilah
orang yang tidak menghadiri jamuan yang mewah ini, tetapi lebih rugi lagi orang
yang menghadirinya tanpa menikmati hidangannya, sedangkan orang yang hanya
menikmatinya sendiri amat tercela.[]
Disadur
dari buku Haji Bersama M. Quraish Shihab, Penerbit Mizan