Mereka
yang cerdas secara ruhani, sangat menyadari bahwa hidup yang dijalaninya
bukanlah "kebetulan" tetapi sebuah kesengajaan yang harus dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung
jawab (takwa). Hidup bukan hanya sekadar mencari karier, pangkat, dan jabatan,
melainkan rasa tanggung
jawabnya terhadap masa depan.
"Hai orang-orang yang beriman, bertanggung jawablah
(bertakwa) kepada Allah
dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang dipersiapkan untuk
hari esok, dan bertanggungjawablah (bertakwa) kepada Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala yang kamu kerjakan."(al-Hasyr: 18)
Mereka yang menghayati makna ayat tersebut akan tampak dari dari
caranya meneliti perjalanan hidupnya secara utuh. Mereka menjadikan masa lalu
sebagai pelajaran yang sangat berharga untuk membuat rencana yang lebih cermat.
Sehingga, mereka membuat proyeksi seakan-akan mereka sudah mengetahui gambaran
dirinya di masa depan. Gambaran yang dimaksud tidak lain adalah visi (berasal dari kata vision `cara pandang ke masa depan`). Yaitu, cara kita melihat gambar
diri di hari esok. Daya imajinasinya sangat kreatif dan positif untuk mencari
wajah dirinya yang penuh makna. Dengan daya imajinasinya itu, seakan-akan
mereka sudah menentukan nasib dirinya di masa depan. Walaupun demikian, tentu
saja imajinasi tersebut bukanlah sesuatu yang besifat spekulatif. Tetapi,
sebuah tindakan yang didasari oleh pengalaman, pengetahuan, dan harapan.
Mereka menetapkan visinya berdasarkan alasan-alasan (raison d`etre) yang bisa dipertanggungjawabkannya dan mampu menjawab
alasan-alasan atas pilihan visinya itu. Misalnya, "Apakah gambaran masa depan yang menjadi impian dan harapannya?
Apakah keputusan yang dilakukannya merupakan keterpanggilan hati nurani,
ataukah sebuah keterpaksaan? Alasan apa yang bisa dipertanggungjawabkan
sehingga kita mengambil posisi tertentu (positioning) dan sejauh mana hal tersebut sesuai dengan prinsip? Apa risiko atau konsekuensi yang akan dihadapi.
Persiapan apa yang telah dilakukan untuk membimbing pencapaian harapan
tersebut?"
Mereka yang ingin mempertajam kecerdasan ruhaninya, menetapkan
visinya melampaui daerah duniawi atau yang bersifat duniawi (terrestrial), sehingga menjadikan qalbunya sebagai
suara hati (conscience) yang
selalu didengar. Visi atau tujuan setiap muslim yang cerdas secara spiritual
itu, akan menjadikan pertemuan Allah sebagai puncak dari pernyataan visi
pribadinya yang kemudian dijabarkan dalam bentuk perbuatan baik yang terukur
dan terarah. Pertemuan dengan Allah atau kerinduan untuk pulang ke kampung
akhirat merupakan obsesi yang mendorong dirinya untuk menjadikan dunia hanya
sekadar hamparan sajadah ibadah, sebuah perantauan yang harus kembali pulang ke
akhirat dengan membawa bekal
serta memenuhi seluruh tanggungjawabnya untuk dapat berjumpa dengan sang
kekasih yaitu Allah SWT,
"Barangsiapa yang mengharapkan pertemuan (liqa)
dengan Tuhannya, hendaklah ia melakukan amal saleh dan janganlah
beribadah dengan mempersekutukan-Nya dengan apa pun
juga." (al-Kahfi: 110)
"Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan
pertemuan dengan Kami dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa
tenteram dengan kehidupan itu; dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami
(tanda-tanda), mereka itu tempatnya di neraka disebabkan oleh apa yang selalu
mereka perbuat." (Yunus: 7-8)
Kesadaran ruhaniah yang paling mendalam
adalah kesadaran bahwa hidup adalah kesementaraan yang harus dilaksanakan dengan
penuh tanggung jawab; sebuah perantauan yang harus dan niscaya kembali ke
kampung halaman dengan membawa bekal; dan perjalanan singkat untuk menempuh
perjalanan yang panjang dan abadi. Dalam jiwanya terdapat keyakinan bahw a
hanya orang- orang yang bertanggung jawab untuk menunaikan amanahnya yang akan
memperoleh kemenangan di dunia dan akhirat. Allah berfirman,
"Allah menyelamatkan orang-orangyangbertakwa karena
kemenangan mereka. " (az-Zumar: 61)
"Orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam surga
berombong-rombongan (pula)."(az-Zumar: 73)
"Kami selamatkan orang-orangyangberiman dan mereka adalah
orang- orang yang bertakwa." (Fushshilat: 18)
"Kehidupan akhirat itu di sisi Tuhanmu adalah bagi
orang-orangyang bertakwa." (az-Zukhruf: 35)
Dengan menetapkan pandangan dan keyakinan seperti itu, menyebabkan
kedamaian dan kepasrahan yang luar biasa untuk selalu berbuat kebaikan dan
memenuhi harapan diri yang merindu jumpa dengan Ilahi Ralbi. Karena itu, kita
tidak mengenal wihdatul wujud, seperti yang diperkenalkan al-Halaj atau
pemikiran Nicola de
Cusanus tentang "coincidentia oppositorum", sebagaimana di kalangan mistik
aliran kepercayaan dikenal istilah manunggaling kawula Gusti yang memberi
pengertian bersatunya zat, di mana aku dan Allah menyatu. Kita hanya mengenal
bersatunya kehendak atau iradah Allah dengan kehendak diri kita (manunggaling
karsa). Jalan yang ditempuh adalah jalan yang sesuai dengan petunjuk Allah (ash-shirathal mustaqiim).
(bersambung)
* KH. Toto Tasmara, Penerbit Gema Insani Press