Tazkiyatun Nafs

Senin, 17 Oktober 2011 00:00 WIB | 5.847 kali
Tazkiyatun Nafs Sikap untuk melatih hati dan membersihkannya (tazkiyatun nafs) tidak berakhir hanya pada wacana falsafah semata. Di era modem yang mereka anggap rasional pun masalah hati nurani menjadi semakin penting untuk dikaji dan menjadi bagian penting dari wacana praksis pengembangan diri yang tetap aktual. Bahkan, Stephen R. Covey mengakui bahwa hati nurani harus senantiasa dilatih secara sungguh-sungguh dengan cara,

"Membaca dan merenungkan literatur tentang kebijaksanaan, mengamati pengalaman orang lain, meluangkan waktu untuk tenang dan mendengarkan suara kedalaman batin kita lalu menanggapi suara tersebut. Tidaklah cukup hanya mendengarkan hati nurani, kita juga harus menanggapinya."

Salah satu kata kunci kecerdasan ruhaniah berada pada hati nurani. Ke­mudian mampu menanggapi bisikan nurani kita tersebut dengan member­dayakan dan mengarahkan seluruh potensi qalbu, yaitufu`ad, shadr, dan hawaa. Tentu saja kita tidak hanya sekadar mendengarkan nurani, tetapi yang lebih utama lagi adalah menyatakan bisikan tersebut secara gagah dan penuh ke­yakinan. Karena, nurani tidak bisa kita bohongi, kecuali kita ingin menyaksikan hati yang terasa pedih bertambah sakit karena sikap pengkhianatan yang kita lakukan. Seorang yang cerdas secara ruhaniah itu akan menunjukkan rasa tanggung jawabnya dengan terus-menerus berorientasi pada kebajikan atau amal prestatif (achievements orientation), sebagaimana Allah berfirman,

"`Apabila mereka senantiasa bertakwa serta beriman dan mengerjakan amalan-amalan yangsaleh, kemudian mereka tetap ber-tanggungjawab dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertanggungjawab dan berbuat ke- bajikan."(al-Maa`idah: 93)

Dari ayat di atas, tampak dengan sangat jelas keterkaitan antara takwa (sikap tanggung jawab), iman (prinsip), dan amal saleh (achievements orien­tation) yang merupakan indikasi kecerdasan ruhaniah. Orang-orang yang ber­tanggung jawab itu (al-muttaqiin) disebutkan dengan sangat jelas dan aplikatif di dalam Al-Qur`an.

Kecerdasan ruhani sangat erat kaitannya dengan cara dirinya mempertahan­kan prinsip lalu bertanggung jawab untuk melaksanakan prinsip-prinsipnya itu dengan tetap menjaga keseimbangan dan melahirkan nilai manfaat yang ber­kesesuaian (saleh). Prinsip merupakan fitrah paling mendasar bagi harga diri manusia. Nilai takwa atau tanggung jawab merupakan ciri seorang profesional. Mereka yang melanggar prinsip dan menodai hati nurani merupakan dosa kema­nusiaan yang paling ironis, sebagaimana Mahatma Gandhi membuat daftar tujuh dosa orang-orang yang menodai prinsip atau nuraninya tersebut sebagai berikut.
  1. Kekayaan tanpa kerja (wealth without work).
  2. Kenikmatan tanpa suara hati (pleasure without conscience).
  3. Pengetahuan tanpa karakter (knowledge without character).
  4. Perdagangan tanpa etika (moralitas) (commerce without morality).
  5. Ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan (science without humanity).
  6. Agama tanpa pengorbanan (religion without sacrifice).
  7. Politik tanpa prinsip (politic without principle).
Tujuh dosa itu dapat saja diteruskan menjadi daftar yang lebih panjang. Misalnya, mengaku Islam tetapi tidak islami sikapnya dan membaca Al-Qur`an tetapi tidak Qur`ani. Begitu juga dengan agama-agama yang lain. Selama agama hanya sekadar simbol budaya tanpa memberikan kontribusi yang nyata bagi kemanusiaan, niscaya nurani mereka buta dan terperangkap dalam ilah baru, yaitu bertuhankan agama. Tidak shalat dan tidak berbuat kebailcan, tetapi bila agamanya disinggung mereka berani mati untuk agamanya.

Kelihatannya mereka cerdas secara ruhani, padahal mereka hanya meng- hafalkan teks kitab suci tanpa sedikitpun mempraktekkannya sebagai keteladan­an. Mereka terperangkap dalam pendewaan agama. Tuhan tidak lagi dipuja me­lebihi agamanya. Mereka memuja agama melebihi Tuhannya.


* KH. Toto Tasmara, Penerbit Gema Insani Press



Yuk Bagikan :

Baca Juga