Sikap untuk melatih hati dan
membersihkannya (tazkiyatun nafs)
tidak berakhir hanya pada wacana falsafah semata. Di era modem yang mereka
anggap rasional pun masalah hati nurani menjadi semakin penting untuk dikaji
dan menjadi bagian penting dari wacana praksis pengembangan diri yang tetap
aktual. Bahkan, Stephen R.
Covey mengakui bahwa hati nurani harus senantiasa dilatih secara
sungguh-sungguh dengan cara,
"Membaca dan
merenungkan literatur tentang kebijaksanaan, mengamati pengalaman orang lain, meluangkan waktu untuk tenang dan
mendengarkan suara kedalaman batin kita lalu menanggapi suara tersebut.
Tidaklah cukup hanya mendengarkan hati nurani, kita juga harus menanggapinya."
Salah satu kata kunci kecerdasan
ruhaniah berada pada hati nurani. Kemudian mampu menanggapi bisikan nurani
kita tersebut dengan memberdayakan dan mengarahkan seluruh potensi qalbu, yaitufu`ad, shadr, dan hawaa. Tentu saja kita tidak hanya sekadar
mendengarkan nurani, tetapi yang lebih utama lagi adalah menyatakan bisikan
tersebut secara gagah dan penuh keyakinan. Karena, nurani tidak bisa kita
bohongi, kecuali kita ingin menyaksikan hati yang terasa pedih bertambah sakit
karena sikap pengkhianatan yang kita lakukan. Seorang yang cerdas secara
ruhaniah itu akan menunjukkan rasa tanggung
jawabnya dengan terus-menerus berorientasi pada kebajikan atau amal prestatif (achievements orientation), sebagaimana Allah berfirman,
"`Apabila
mereka senantiasa bertakwa serta beriman dan mengerjakan amalan-amalan
yangsaleh, kemudian mereka tetap ber-tanggungjawab dan beriman, kemudian mereka
(tetap juga) bertanggungjawab dan berbuat ke- bajikan."(al-Maa`idah:
93)
Dari
ayat di atas, tampak dengan sangat jelas keterkaitan antara takwa (sikap
tanggung jawab), iman (prinsip), dan amal saleh (achievements orientation) yang merupakan indikasi kecerdasan ruhaniah. Orang-orang yang bertanggung
jawab itu (al-muttaqiin)
disebutkan dengan sangat jelas dan aplikatif di dalam Al-Qur`an.
Kecerdasan
ruhani sangat erat kaitannya dengan cara dirinya mempertahankan prinsip lalu
bertanggung jawab untuk melaksanakan prinsip-prinsipnya itu dengan tetap
menjaga keseimbangan dan melahirkan nilai manfaat yang berkesesuaian (saleh).
Prinsip merupakan fitrah paling mendasar
bagi harga diri manusia. Nilai takwa atau tanggung jawab merupakan ciri seorang
profesional. Mereka yang melanggar prinsip dan menodai hati nurani merupakan
dosa kemanusiaan yang paling ironis,
sebagaimana Mahatma Gandhi
membuat daftar tujuh dosa orang-orang yang menodai prinsip atau nuraninya
tersebut sebagai berikut.
- Kekayaan tanpa kerja (wealth without work).
- Kenikmatan tanpa suara hati (pleasure without conscience).
- Pengetahuan
tanpa karakter (knowledge without character).
- Perdagangan tanpa etika
(moralitas) (commerce without morality).
- Ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan
(science without humanity).
- Agama
tanpa pengorbanan (religion without sacrifice).
- Politik
tanpa prinsip (politic without principle).
Tujuh
dosa itu dapat saja diteruskan menjadi daftar yang lebih panjang. Misalnya,
mengaku Islam tetapi
tidak islami sikapnya dan membaca Al-Qur`an tetapi tidak Qur`ani. Begitu juga dengan agama-agama
yang lain. Selama
agama hanya sekadar simbol budaya tanpa memberikan kontribusi yang nyata bagi
kemanusiaan, niscaya nurani mereka buta dan terperangkap dalam ilah baru, yaitu bertuhankan agama.
Tidak shalat dan tidak berbuat kebailcan, tetapi bila agamanya disinggung
mereka berani mati untuk agamanya.
Kelihatannya mereka cerdas secara
ruhani, padahal mereka hanya meng- hafalkan teks kitab suci tanpa sedikitpun
mempraktekkannya sebagai keteladanan. Mereka terperangkap dalam pendewaan
agama. Tuhan tidak lagi dipuja melebihi agamanya. Mereka memuja agama melebihi
Tuhannya.
* KH. Toto Tasmara, Penerbit Gema Insani Press