Labbaika

Jum'at, 14 Oktober 2011 00:00 WIB | 8.576 kali
Labbaika Bila Anda bermaksud memperkenankan pang­gilan satu pihak, maka Anda dapat berkata Labbaik. Itu sebabnya kata tersebut selalu diucapkan berulang-ulang oleh jamaah haji dalam rangka pelaksanaan ibadahnya. Pang­gilan haji bermula dari perintah Allah Swt. kepada Nabi Ibrahim, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran Surah Al-Hajj (22): 27,
arab3.jpg
Kumandangkan panggilan kepada manusia untuk melaksanakan haji...

"Suaraku tidak akan dapat terdengar oleh mereka, ya Allah!"
"Yang penting adalah serukan panggilan itu, Kami akan memperdengarkannya."

Begitu dialog Allah dengan Nabi Ibrahim a.s. yang ditemukan riwayatnya dalam ber­bagai kitab tafsir.

Mahabenar Allah, tidak seorang manusia (Muslim) pun yang tidak pernah mendengar adanya panggilan itu. Tidak seorang manusia (Muslim) pun yang tidak mengetahui adanya kewajiban memperkenankan panggilan itu. Ibadah haji sudah demikian populer di ka­langan umat sehingga ia termasuk dalam kategori apa yang dinamai ma`lumum min al-din bi al-dharurah (pengetahuan pada tingkat aksio­ma) sehingga tidak ada alasan yang dapat dikemukakan untuk berkata, "Saya tidak tahu." Tidak juga wajar bermohon kepada teman yang berhaji, "Panggillah saya di sini!", kecuali jika yang dimaksud dengan ucapan ini per­mohonan untuk didoakan agar dapat juga dianugerahi kemampuan untuk melaksana­kan ibadah haji.

Semua orang telah mendapatkan pang­gilan, meskipun beraneka ragam sikap manu­sia menghadapi panggilan tersebut. Ada yang ingin memenuhinya, mampu serta kemudian melaksanakannya; ada yang ingin dan mam­pu, tapi ada aral yang melintang sehingga maksudnya tidak tercapai; ada juga yang mampu, kesempatan baginya terbentang, tetapi hatinya tidak tergerak, langkahnya justru menjauh. Sebaliknya, tidak sedikit pula yang berkeinginan tetapi apa daya tangannya tak sampai.

Amat teliti redaksi ayat Al-Quran tentang ihwal haji ini dan lagi Mahabijaksana Tuhan dalam petunjuk-Nya. Lillahi ‘ala al-nasi hijj al-bayt (mengerjakan haji adalah kewajiban manusia...), demikian bunyi penggalan ayat 97 Surah Ali ’Imran yang, antara lain, meng­isyaratkan bahwa semua manusia telah men­dapat panggilan dan semua dituntut meme­nuhinya. Nah, bagaimana dengan orang yang ingin tetapi ada halangan, atau daya dan dana tidak memenuhi syarat? Lanjutan penggalan ayat di atas menunjukkan betapa bijaksananya Allah: Bagi yang sanggup mengadakan per­jalanan ke sana. Ini berarti bahwa Allah me­maafkan mereka. Tuhan memahami dan me­maklumi mereka.

Bagaimana dengan orang yang mampu, daya dan dana, tak ada aral yang melintang, apakah wajar mereka berdalih menutupi ke­engganannya, "Saya belum mendapat pang­gilan"? Demi Tuhan, saya khawatir ia mem­peroleh murka berganda: pertama, karena keengganannya memperkenankan panggilan, dan kedua, karena dalihnya mengingkari sampainya panggilan itu kepadanya.

Bagi orang yang melaksanakan ibadah haji, kita yakin, pasti Allah menyambut me­reka selama kehadirannya ke sana lillah (me­nurut bahasa ayat di atas), yakni bertujuan memenuhi panggilan-Nya dan selama ia mengucapkan dengan tulus.

arab4.jpg  
Kuperkenankan panggilan-Mu, ya Allah, kuperke- nankan panggilan-Mu.

Sehingga niat, sikap, dan tingkah lakunya tidak bertentangan dengan ucapan itu. Ka­rena, jika bertentangan, Tuhan akan menyam­butnya dengan berfirman: Engkau berbohong, engkau datang dengan maksud dan tujuan lain.

Untuk itu kita patut serta menyampaikan pesan dini agama kepada setiap calon jamaah. "Luruskan niat! Kalau tak dapat sejak terbetik keinginan, maka sejak melangkahkan kaki untuk menunaikan ibadah haji. Dan kalau ini pun tidak, maka paling lambat pada saat me­ngenakan pakaian ihram." Itulah anak tangga pertama mendapatkan kedudukan sebagai tamu Allah. Memperoleh kehormatan berada di hadirat-Nya dan membawa kembali izin me­lanjutkan perjalanan menuju ridha-Nya. Nabi Muhammad Saw. bersabda,
arab5.jpg

Haji yang mabrur tidak ada ganjaranya kecuali surga (HR. Bukhari Muslim).
 

Disadur dari buku Haji Bersama M. Quraish Shihab, Penerbit Mizan  


Yuk Bagikan :

Baca Juga