Bila Anda bermaksud memperkenankan panggilan satu pihak, maka
Anda dapat berkata Labbaik. Itu sebabnya kata tersebut selalu diucapkan berulang-ulang oleh
jamaah haji dalam rangka pelaksanaan ibadahnya. Panggilan haji bermula dari
perintah Allah Swt. kepada Nabi Ibrahim, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran
Surah Al-Hajj (22): 27,
Kumandangkan panggilan kepada manusia untuk melaksanakan
haji...
"Suaraku tidak akan dapat terdengar oleh mereka, ya
Allah!"
"Yang
penting adalah serukan panggilan
itu, Kami akan memperdengarkannya."
Begitu dialog Allah dengan Nabi
Ibrahim a.s. yang ditemukan riwayatnya dalam berbagai kitab tafsir.
Mahabenar Allah, tidak seorang
manusia (Muslim) pun yang tidak pernah mendengar adanya panggilan itu. Tidak
seorang manusia (Muslim) pun yang tidak mengetahui adanya kewajiban
memperkenankan panggilan itu. Ibadah haji sudah demikian populer di kalangan
umat sehingga ia termasuk dalam kategori apa yang dinamai ma`lumum
min al-din bi al-dharurah
(pengetahuan pada tingkat aksioma) sehingga tidak ada alasan yang dapat dikemukakan
untuk berkata, "Saya tidak tahu." Tidak juga wajar bermohon kepada
teman yang berhaji, "Panggillah saya di sini!", kecuali jika yang
dimaksud dengan ucapan ini permohonan untuk didoakan agar dapat juga
dianugerahi kemampuan untuk melaksanakan ibadah haji.
Semua orang telah mendapatkan panggilan,
meskipun beraneka ragam sikap manusia menghadapi panggilan tersebut. Ada yang
ingin memenuhinya, mampu serta kemudian melaksanakannya; ada yang ingin dan mampu,
tapi ada aral yang melintang sehingga maksudnya tidak tercapai; ada juga yang
mampu, kesempatan baginya terbentang, tetapi
hatinya tidak tergerak, langkahnya justru menjauh. Sebaliknya, tidak sedikit
pula yang berkeinginan tetapi apa daya tangannya tak sampai.
Amat
teliti redaksi ayat Al-Quran tentang ihwal haji ini dan lagi Mahabijaksana
Tuhan dalam petunjuk-Nya. Lillahi
‘ala al-nasi hijj al-bayt (mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia...), demikian bunyi penggalan ayat 97 Surah Ali ’Imran yang,
antara lain, mengisyaratkan
bahwa semua manusia telah mendapat panggilan dan semua dituntut memenuhinya.
Nah, bagaimana dengan orang yang ingin tetapi ada halangan, atau daya dan dana
tidak memenuhi syarat? Lanjutan penggalan ayat di atas menunjukkan betapa
bijaksananya Allah: Bagi
yang sanggup mengadakan perjalanan ke sana.
Ini berarti bahwa Allah memaafkan mereka. Tuhan memahami dan memaklumi
mereka.
Bagaimana dengan orang yang mampu, daya dan dana, tak ada aral
yang melintang, apakah wajar mereka berdalih menutupi keengganannya,
"Saya belum mendapat panggilan"? Demi Tuhan, saya khawatir ia memperoleh
murka berganda: pertama,
karena keengganannya memperkenankan panggilan, dan kedua, karena
dalihnya mengingkari sampainya panggilan itu kepadanya.
Bagi orang yang melaksanakan
ibadah haji, kita yakin, pasti Allah menyambut mereka selama kehadirannya ke
sana lillah (menurut
bahasa ayat di atas), yakni bertujuan memenuhi panggilan-Nya dan selama ia
mengucapkan dengan tulus.
Kuperkenankan panggilan-Mu, ya Allah, kuperke- nankan
panggilan-Mu.
Sehingga
niat, sikap, dan tingkah lakunya tidak bertentangan dengan ucapan itu. Karena,
jika bertentangan, Tuhan akan menyambutnya dengan berfirman: Engkau berbohong, engkau datang dengan maksud dan tujuan lain.
Untuk itu kita patut serta menyampaikan pesan dini agama kepada
setiap calon jamaah. "Luruskan niat! Kalau tak dapat sejak terbetik keinginan,
maka sejak melangkahkan kaki untuk menunaikan ibadah haji. Dan kalau ini pun
tidak, maka paling lambat
pada saat mengenakan pakaian ihram." Itulah anak tangga pertama
mendapatkan kedudukan sebagai tamu Allah. Memperoleh kehormatan berada di
hadirat-Nya dan membawa kembali izin melanjutkan perjalanan menuju ridha-Nya.
Nabi Muhammad Saw. bersabda,
Haji yang mabrur tidak ada ganjaranya
kecuali surga (HR. Bukhari Muslim).
Disadur dari buku Haji Bersama M. Quraish Shihab, Penerbit Mizan