Karena rasa tanggung jawab itu pula, maka seorang muslim tidak mungkin mengkhianati hati nuraninya
dengan melakukan perbuatan dosa dan permusuhan yang sengit penuh dendam
kesumat. Karena prinsip keimanannya lebih menekankan pada perdamaian,
kebebasan, dan penghargaan yang mendalam terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Itulah sebabnya Allah berfirman,
"...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran...." (al-Maa`idah:
2)
Dengan demikian, takwa
berkaitan dengan masalah nurani (berasal dari kata nur `cahaya atau yang bersifat cahaya`). Sehingga, takwa merupakan hasil dari pencerahan qalbu yang terang benderang dan membuat seseorang memahami lalu
bertindak di atas kebenaran saja. Karenanya, orang yang bertakwa selalu meminta
nasihat kepada qalbunya. Itulah sebabnya Rasulullah saw.
(sambil menunjukkan jari tangan ke dadanya) bersabda,
"At-takwa
hahunna `takwa
itu ada di sini (di qalbu)`."
Untuk memelihara nilai
atau prinsip tanggung jawab tersebut, kita di-perintahkan
untuk mendidik dan membersihkan hati (tarbiah dan tazkiyah) secara
berkesinambungan agar mata hati tetap disadarkan untuk menerima cahaya-Nya
(nurani). Misalnya, dengan cara melakukan perjalanan, melihat berbagai fenomena
alam, mengambil pelajaran historis dari berbagai peristiwa baik maupun buruk
dari hasil peradaban dan kreasi manusia di muka bumi. Allah berfirman,
"Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka
mempunyai hati yang dapat mengerti atau telingayangdapat mendengar?
Sesungguhnya bukan mata yang buta, melainkan yang buta adalah hati yang ada di
dalam dada."(al-Hajj:
46)
Hati yang buta berarti
nurani yang kehilangan prinsip hidup, lumpuh, dan kehilangan arah kiblat.
Sehingga, mereka tersesat dalam perjalanannya menempuh tujuan hakiki yang harus
ditempuhnya. Sebaliknya, yang di-maksudkan
dengan mata hati yang melihat berarti dia merasakan nyala api kebenaran yang
diyakininya dan menjadi patokan atau prinsip-prinsip kehidupannya. Mereka yang
memiliki hati nurani itu, akan berawal dari prinsip dan berakhir dengan
prinsip. Bahkan, mati dengan prinsip yang diyakininya merupakan kebahagiaan
sejati bagi dirinya.
Beberapa dekade yang
silam, kita menyaksikan budaya "bushido samurai" orang-orang Jepang, yang melakukan harakiri atau sepuku bunuh diri
karena
mempertahankan awal
dan akhir dari prinsip-prinsip mereka. Kita juga menyaksikan keberanian luar
biasa para assabiquunal awwaluun `para pionir atau pelopor generasi awai
penegak dakwah islamiah` yang rela berkorban,
bahkan mati tersungkur dengan senyum dikulum, karena mereka memiliki prinsip.
Dari penelitian, ditemukan fakta bahwa para CEO (Chief Executive Officer)
yang berhasil sampai pada puncak karirya adalah mereka yang
mempunyai prinsip dalam hidupnya.
Mereka mampu
menetapkan arah kiblat atau visi yang benar dengan penuh percaya diri (self confidence)
dan bertanggung jawab atas keputusan- keputusannya.
Ini semua berkaitan dengan hati nurani yang merupakan sumber dari kecerdasan
ruhaniahnya.
Peter Drucker, seorang yang dikenal
sebagai begawan di bidang manajemen, berkata, "Bila ada sesuatu yang
salah, mulailah dengan meneliti dari diri Anda sendiri." Hal ini sebagaimana
yang disabdakan Rasulullah bahwa segala sesuatu harus dimulai dengan
keteladanan dan penelitian dari diri sendiri, "Ibda bin nafsika!"
Itulah sebabnya dalam khazanah sufisme, pelatihan jiwa
(riyadhah) merupakan bagian sangat penting untuk mendidik hati nurani agar
tetap hidup tegak dan menegakkan prinsip-prinsip yang kita yakini.
* KH. Toto Tasmara, Penerbit Gema Insani Press