Tanda Taqwa Adanya di Qolbu

Selasa, 11 Oktober 2011 00:00 WIB | 11.971 kali
Tanda Taqwa Adanya di Qolbu Karena rasa tanggung jawab itu pula, maka seorang muslim tidak mungkin mengkhianati hati nuraninya dengan melakukan perbuatan dosa dan per­musuhan yang sengit penuh dendam kesumat. Karena prinsip keimanannya lebih menekankan pada perdamaian, kebebasan, dan penghargaan yang men­dalam terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Itulah sebabnya Allah berfirman,

arab2.jpg
 

"...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran...." (al-Maa`idah: 2)

Dengan demikian, takwa berkaitan dengan masalah nurani (berasal dari kata nur `cahaya atau yang bersifat cahaya`). Sehingga, takwa merupakan hasil dari pencerahan qalbu yang terang benderang dan membuat seseorang me­mahami lalu bertindak di atas kebenaran saja. Karenanya, orang yang bertakwa selalu meminta nasihat kepada qalbunya. Itulah sebabnya Rasulullah saw. (sambil menunjukkan jari tangan ke dadanya) bersabda,

"At-takwa hahunna `takwa itu ada di sini (di qalbu)`."

Untuk memelihara nilai atau prinsip tanggung jawab tersebut, kita di-perintahkan untuk mendidik dan membersihkan hati (tarbiah dan tazkiyah) secara berkesinambungan agar mata hati tetap disadarkan untuk menerima cahaya-Nya (nurani). Misalnya, dengan cara melakukan perjalanan, melihat berbagai fenomena alam, mengambil pelajaran historis dari berbagai peristiwa baik maupun buruk dari hasil peradaban dan kreasi manusia di muka bumi. Allah berfirman,

"Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dapat mengerti atau telingayangdapat mendengar? Sesungguhnya bukan mata yang buta, melainkan yang buta adalah hati yang ada di dalam dada."(al-Hajj: 46)

Hati yang buta berarti nurani yang kehilangan prinsip hidup, lumpuh, dan kehilangan arah kiblat. Sehingga, mereka tersesat dalam perjalanannya menempuh tujuan hakiki yang harus ditempuhnya. Sebaliknya, yang di-maksudkan dengan mata hati yang melihat berarti dia merasakan nyala api kebenaran yang diyakininya dan menjadi patokan atau prinsip-prinsip ke­hidupannya. Mereka yang memiliki hati nurani itu, akan berawal dari prinsip dan berakhir dengan prinsip. Bahkan, mati dengan prinsip yang diyakininya merupakan kebahagiaan sejati bagi dirinya.

Beberapa dekade yang silam, kita menyaksikan budaya "bushido samurai" orang-orang Jepang, yang melakukan harakiri atau sepuku bunuh diri


karena mempertahankan awal dan akhir dari prinsip-prinsip mereka. Kita juga menyaksikan keberanian luar biasa para assabiquunal awwaluun `para pionir atau pelopor generasi awai penegak dakwah islamiah` yang rela berkorban, bahkan mati tersungkur dengan senyum dikulum, karena mereka memiliki prinsip. Dari penelitian, ditemukan fakta bahwa para CEO (Chief Executive Officer) yang berhasil sampai pada puncak karirya adalah mereka yang mem­punyai prinsip dalam hidupnya.

Mereka mampu menetapkan arah kiblat atau visi yang benar dengan penuh percaya diri (self confidence) dan bertanggung jawab atas keputusan- keputusannya. Ini semua berkaitan dengan hati nurani yang merupakan sumber dari kecerdasan ruhaniahnya.

Peter Drucker, seorang yang dikenal sebagai begawan di bidang manajemen, berkata, "Bila ada sesuatu yang salah, mulailah dengan meneliti dari diri Anda sendiri." Hal ini sebagaimana yang disabdakan Rasulullah bahwa segala sesuatu harus dimulai dengan keteladanan dan penelitian dari diri sendiri, "Ibda bin nafsika!"

Itulah sebabnya dalam khazanah sufisme, pelatihan jiwa (riyadhah) me­rupakan bagian sangat penting untuk mendidik hati nurani agar tetap hidup tegak dan menegakkan prinsip-prinsip yang kita yakini.

* KH. Toto Tasmara, Penerbit Gema Insani Press



Yuk Bagikan :

Baca Juga