Takwa Sebagai Rasa Tanggung Jawab

Senin, 03 Oktober 2011 14:31 WIB | 8.440 kali
Takwa Sebagai Rasa Tanggung Jawab Dalam kaitannya dengan kecerdasan ruhaniah, pengertian takwa sebagai bentuk tanggung jawab tersebut akan terasa lebih aplikatif dan memiliki tolok ukur yang jelas serta dapat dilaksanakan secara praktis (workable) sehingga mempengaruhi perilaku kita sehari-hari. Takwa bukanlah sesuatu yang misterius atau mengawang-awang, bagaikan batas langit yang terasa sangat jauh, sehingga tidak memberi motivasi yang kuat bagi kita untuk berbuat secara nyata karena ia kurang memberikan gambaran, inspirasi, dan dorongan yang bersifat motivatif.

Takwa merupakan bentuk rasa tanggung jawab yang dilaksanakan dengan penuh rasa cinta dan menunjukkan amal prestatif di bawah semangat peng­harapan ridha Allah. Sehingga, sadarlah kita bahwa dengan bertakwa, berarti ada semacam nyala api di dalam qalbu yang mendorong pembuktian atau penunaian amanah sebagai "rasa tanggung jawab yang mendalam" atas ke­wajiban-kewajiban kita sebagai muslim. Tentunya pembuktian atau penunaian amanah itu dilakukan dengan semangat yang berwawasan pencapaian amal prestasi.

Tanggung jawab adalah menanggung dan memberi jawaban, sebagaimana di dalam bahasa Inggris, kita mengenal responsibility, yakni able to respond. Dengan demikian, pengertian takwa yang kita tafsirkan sebagai "tindakan bertanggung jawab" (yang ternyata lebih mendalam dari responsibility) dapat didefinisikan sebagai "sikap dan tindakan seseorang di dalam menerima sesuatu sebagai amanah dengan penuh rasa cinta ingin menunaikannya dalam bentuk pilihan-pilihan amal saleh".

Amanah adalah titipan yang menjadi tanggungan, bentuk kewajiban, atau utang yang harus kita bayar dengan cara melunasinya sehingga kita merasa aman atau terbebas dari segala tuntutan. Bertanggung jawab berarti kemam­puan seseorang untuk menunaikan amanah karena adanya harapan atau tujuan tertentu, yakni "bebas merdeka dari segala belenggu, iman, aman, amanah, dan mutmainah". Sedangkan, yang dimaksudkan dengan pilihan-pilihan amal saleh adalah cara kita berikhtiar (memilih yang terbaik) untuk memberikan respons yang paling baik.

Harta, jabatan, anak, bahkan hidup itu sendiri harus kita persepsi sebagai amanah. Karena, di dalamnya ada harapan-harapan untuk meningkatkan dan memeliharanya dengan sebaik-baiknya.

Lihatlah kaitan antara kata iman yang kemudian dari keyakinan tersebut melahirkan rasa "aman". Yaitu, kondisi yang bebas dari ancaman atau situasi tanpa kekhawatiran yang membelenggu dirinya sehingga di tangan mereka segala sesuatu tidak akan cedera atau rusak. Bila seseorang bisa dipercaya (iman, kredibel) dan di tangannya segala sesuatu akan terpelihara dengan aman, maka orang pun akan merasakan tenteram (mutmainah) karena merasakan ada jaminan yang kuat yaitu iman dan aman. Amanah berasal dari prinsip iman. Sehingga, kewajiban atau tanggungan yang tidak berasal dari prinsip iman bukan amanah melainkan tiran (thaghut), yaitu bentuk pemaksaan yang tidak berdasarkan prinsip atau nilai-nilai iman. Dalam hal ini, setiap pribadi harus mampu mempersepsi dan memilih apakah sesuatu itu merupakan amanah atau sebaliknya sebuah perintah yang akan menyimpang atau mengkhianati prinsip iman yang kita yakini.

Dengan demikian, seseorang diwajibkan untuk melakukan penalaran, analisis, dan keberanian untuk mengambil sikap sebelum memberikan respons atau jawaban. Takwa sebagai bentuk tanggung jawab hanya bergandengan tangan dengan kebaikan saja. Takwa hanya dapat bersanding dengan prinsip keimanan. Di luar hal itu, tidak ada takwa atau tanggung jawab. Sehingga, seseorang tidak diperkenankan untuk mengikuti apa saja di luar pengetahuan­nya karena seluruh keputusannya tersebut akan dimintai pertanggungjawab­annya, sebagaimana firman Allah,


"Janganlah engkau mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentang hal tersebut, karena pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya." (al-Israa`: 36)

* KH. Toto Tasmara, Penerbit Gema Insani Press


Yuk Bagikan :

Baca Juga