Dalam kaitannya dengan kecerdasan ruhaniah, pengertian
takwa sebagai bentuk tanggung jawab tersebut akan terasa lebih aplikatif dan
memiliki tolok ukur yang jelas serta dapat dilaksanakan secara praktis (workable)
sehingga mempengaruhi perilaku kita sehari-hari. Takwa bukanlah sesuatu yang
misterius atau mengawang-awang, bagaikan batas langit yang terasa sangat jauh,
sehingga tidak memberi motivasi yang kuat bagi kita untuk berbuat secara nyata
karena ia kurang memberikan gambaran, inspirasi, dan dorongan yang bersifat
motivatif.
Takwa merupakan bentuk rasa tanggung
jawab yang dilaksanakan dengan penuh rasa cinta
dan menunjukkan amal prestatif di bawah semangat pengharapan ridha Allah.
Sehingga, sadarlah kita bahwa dengan bertakwa, berarti ada semacam nyala api di
dalam qalbu yang mendorong pembuktian atau penunaian amanah
sebagai "rasa tanggung jawab yang mendalam" atas kewajiban-kewajiban kita
sebagai muslim. Tentunya pembuktian atau penunaian amanah itu dilakukan dengan
semangat yang berwawasan pencapaian amal prestasi.
Tanggung jawab adalah menanggung dan memberi jawaban,
sebagaimana di dalam bahasa Inggris, kita mengenal responsibility, yakni able to respond. Dengan
demikian, pengertian takwa yang kita tafsirkan sebagai "tindakan
bertanggung jawab" (yang ternyata lebih mendalam dari responsibility)
dapat didefinisikan sebagai "sikap dan tindakan seseorang
di dalam menerima sesuatu sebagai amanah dengan penuh rasa cinta ingin menunaikannya dalam bentuk pilihan-pilihan amal
saleh".
Amanah adalah titipan yang menjadi tanggungan, bentuk
kewajiban, atau utang yang harus kita bayar dengan cara melunasinya sehingga
kita merasa aman atau terbebas dari segala tuntutan. Bertanggung jawab berarti
kemampuan seseorang untuk menunaikan amanah karena adanya harapan atau tujuan
tertentu, yakni "bebas merdeka dari segala belenggu, iman, aman,
amanah, dan mutmainah". Sedangkan, yang dimaksudkan dengan pilihan-pilihan amal
saleh adalah cara kita berikhtiar (memilih yang terbaik) untuk memberikan
respons yang paling baik.
Harta, jabatan, anak, bahkan hidup itu sendiri harus kita
persepsi sebagai amanah. Karena, di dalamnya ada harapan-harapan untuk
meningkatkan dan memeliharanya dengan sebaik-baiknya.
Lihatlah kaitan antara kata iman yang
kemudian dari keyakinan tersebut melahirkan rasa "aman".
Yaitu, kondisi yang bebas dari ancaman atau situasi tanpa kekhawatiran yang
membelenggu dirinya sehingga di tangan mereka segala sesuatu tidak akan cedera
atau rusak. Bila seseorang bisa dipercaya (iman, kredibel) dan di tangannya
segala sesuatu akan terpelihara dengan aman, maka orang pun akan merasakan
tenteram (mutmainah) karena merasakan ada jaminan yang kuat yaitu iman dan
aman. Amanah berasal dari prinsip iman. Sehingga, kewajiban atau tanggungan
yang tidak berasal dari prinsip iman bukan amanah melainkan tiran (thaghut),
yaitu bentuk pemaksaan yang tidak berdasarkan prinsip atau nilai-nilai iman.
Dalam hal ini, setiap pribadi harus mampu mempersepsi dan memilih apakah
sesuatu itu merupakan amanah atau sebaliknya sebuah perintah yang akan menyimpang
atau mengkhianati prinsip iman yang kita yakini.
Dengan
demikian, seseorang diwajibkan untuk melakukan penalaran, analisis, dan
keberanian untuk mengambil sikap sebelum memberikan respons atau jawaban. Takwa
sebagai bentuk tanggung jawab hanya bergandengan tangan dengan kebaikan saja.
Takwa hanya dapat bersanding dengan prinsip keimanan. Di luar hal itu, tidak
ada takwa atau tanggung jawab. Sehingga, seseorang tidak diperkenankan untuk
mengikuti apa saja di luar pengetahuannya karena seluruh keputusannya tersebut
akan dimintai pertanggungjawabannya, sebagaimana firman Allah,
"Janganlah engkau mengikuti apa-apa yang kamu
tidak memiliki pengetahuan tentang hal tersebut, karena pendengaran,
penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya."
(al-Israa`:
36)
* KH. Toto Tasmara, Penerbit Gema Insani Press