Abatasa - Belajar Bersama

Ulama dan Kekuasaan

pada Kamis, 16 Juni 2011 11:51 WIB

Dalam sebuah kitab yang cukup masyhur di dunia tasawuf, Kasyful Mahjub, diceritakan bahwa suatu ketika Khalifah al-Mansur dari Dinasti Abbasiyah mengundang empat ulama besar ahli fikih untuk datang ke istananya. Mereka adalah Abu Hanifah, Sufyan al-Tsauri, Mis`ar bin Qidam, dan Syuraih.

Sang Khalifah bermaksud mengangkat mereka menjadi hakim agung kerajaan (Qadhi), sebuah jabatan yang sangat strategis lagi menggiurkan. Namun, keempat ulama besar itu sepakat menolak permintaan Khalifah al-Mansur. Sufyan al-Tsauri memilih melarikan diri ke sebuah pelabuhan dan bersembunyi di bawah kapal yang hendak berlayar, sementara yang lain berangkat menuju istana untuk menyampaikan penolakan.

Sesampainya di istana, sang Khalifah menunjuk Abu Hanifah untuk menjadi hakim agung, namun ia berusaha mengelak dengan mengatakan, "Wahai Amirul Mukminin, aku bukanlah orang Arab melainkan sahabat orang-orang Arab. Pemimpin Arab tidak akan menerima keputusan hakim agung seperti aku."

Khalifah pun menerima keberatan Abu Hanifah dan memanggil Mis`ar bin Qidam untuk tampil ke muka. "Engkaulah yang harus menjadi hakim agung," tunjuk Khalifah al-Mansur. Namun, Mis`ar menaggapinya dengan berpura-pura bertingkah laku seperti orang gila. "Keluarkan orang ini (Mis`ar--Red), ia sudah gila!" teriak Khalifah al-Mansur.

Tinggallah seorang ulama lagi, Syuraih pun dititahkan untuk mengisi kekosongan jabatan Qadhi. Syuraih mengajukan keberatan yang sama seperti dilakukan oleh dua ulama sebelumnya. Syuraih berkata, "Wahai Khalifah, aku ini mudah bersedih dan gemar melucu, padahal orang yang penyedih dan suka bercanda tidak layak menjadi hakim." Namun demikian, penolakan Syuraih itu tak diterima oleh Khalifah al-Mansur. Sebaliknya, oleh khalifah, Syuraih didaulat memegang tampuk kehakiman, sebab tak ada lagi ulama yang sangat berkompeten untuk memegang jabatan tersebut. Sementara, ulama lainnya sudah menyatakan penolakannya atas jabatan hakim agung itu.

Kisah yang terjadi pada masa keemasan Islam ini mencerminkan keteguhan ulama dalam memegang prinsip untuk tidak tergoda oleh manisnya kekuasaan. Bagi mereka, kekuasaan merupakan momok yang sangat menakutkan. Karena, hal itu berpotensi mempersempit ruang gerak dan independensi sang ulama. Selain itu, jabatan sebagai hakim itu sangat berat, karena merupakan amanat yang mahaberat dan dapat memalingkan mereka dari ibadah kepada Allah SWT. Karenanya, alih-alih memperebutkan jabatan, para ulama justru berusaha menghindari segala macam bentuk kekuasaan dan godaan duniawi dari diri mereka. Mereka senantiasa menghindarinya dengan berbagai cara.

Berbeda dengan kondisi saat ini, banyak orang termasuk para ulama malah beramai-ramai mendekati kekuasaan, bahkan menggalang kekuatan untuk meraihnya. Akibatnya, ulama tidak lagi membimbing dan mengayomi umat, tetapi memanfaatkannya sebagai pelicin menuju kursi kekuasaan. Alangkah rindunya kita akan kehadiran para ulama seperti Abu Hanifah yang mempertahankan integritas dan kepribadiannya serta sanggup menolak jabatan, setinggi apa pun kekuasaan itu. Kita merindukan ulama yang memilih kesucian hati ketimbang keindahan rumahnya.


Redaktur:
Siwi Tri Puji B

STMIK AMIKOM

Sumber: republika.co.id

#