Sumpah dan Amanah

KH. Abdullah Gymnastiar | Kamis, 03 Juli 2008 11:43 WIB | 9.079 kali
Sumpah dan Amanah
"Tanda orang-orang munafik itu ada tiga keadaan. Pertama, apabila berkata-kata ia berdusta. Kedua, apabila berjanji ia mengingkari. Ketiga, apabila diberikan amanah ia mengkhianatinya" (HR. Bukhari dan Muslim). Entah kenapa setiap mendengar kata "Demi Allah', jiwa ini selalu bergetar.

Tidak mengherankan, karena sumpah adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan, apalagi garansinya dikaitkan dengan nama Allah Yang Mahaagung. Sayangnya, kita masih melihat orang yang begitu mudah mengucapkan sumpah, dan begitu mudah pula mengkhianatinya. Demikian pula yang terjadi di negara kita, seorang pejabat terlihat begitu mudah melakukan penyelewengan padahal sebelum diamanahi suatu tugas ia disumpah terlebih dulu. Sebuah sumpah bisa mengandung banyak konsekuensi. Karena itu, kegigihan untuk memenuhi janji adalah sebuah kehormatan.

Sebaliknya kegagalan memenuhi janji dengan disengaja tentunya menunjukkan tanda kemunafikan kita. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati di dalam berjanji dan bersumpah. Sumpah yang tergolong berat adalah sumpah jabatan. Kita sering mendengar bagaimana para pejabat disumpah untuk tidak menerima apapun yang tidak sah berkaitan dengan jabatannya. Bila ia tidak serius mengamalkan sumpahnya tersebut, maka ia dikategorikan seorang pengkhianat. Hal lain adalah sumpah yang sering diucapkan tatkala pernikahan. Karena itu, berjuanglah sekuat tenaga untuk menjaga kualitas akad kita tersebut.

Begitu pula dengan iklan. Sumpah yang diucapkan bisa dikategorikan palsu tatkala apa yang didengungkan tidak sesuai dengan kualitas produk sebenarnya. Bila kita menjadi pelakunya, kita sesungguhnya telah menipu pembeli dan sekali-kali untung yang diperoleh tidak akan berkah. Saudaraku, alangkah baiknya apabila kita tidak mudah mengobral sumpah dan janji, karena semua itu harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Dalam sebuah Hadisnya Rasulullah SAW mengungkapkan tiga ciri orang munafik. Pertama, bila berbicara selalu dusta. Kedua, kalau berjanji selalu mengingkari. Dan ketiga, kalau diberi amanat ia khianat.

Kalau kita ingin tahu siapa diri kita, caranya mudah sekali! Berapa banyak dusta yang keluar dari mulut kita, berapa banyak tipu muslihat yang keluar dari mulut kita. Hati-hati saudaraku jangan sampai kita menjadi seorang pendusta. Berkaitan dengan ciri kemunafikan yang pertama. Kita harus berhati-hati terhadap dusta termasuk yang kecil sekalipun. Jangan sampai untuk bergurau saja kita berdusta, untuk menceritakan film saja kita berdusta agar terlihat lebih seru. Atau sedang ceramah, supaya kita terihat lebih pandai. ''Di dalam kita anu disebutkan...'' Padahal kita tidak tahu isi kitab tersebut. Saudaraku hindarilah dusta sekecil apapun, walau hanya pada anak kecil.

Jagalah diri kita dari sikap munafik. Karena sekali saja orang mengetahui kita berdusta, akan sangat sulit sekali untuk mengembalikan kepercayaan dan citra diri kita. Kedua berkaitan dengan janji. Bertanyalah selalu pada diri sebelum berjanji. Sanggupkah saya memenuhi janji ini? Siapkah saya menanggung konsekuensi dari janji yang diucapkan? Kita harus berhati-hati kala berjanji. Manakala sedang berhutang dan belum sanggup membayar, ungkapkanlah keadaan kita yang sebenarnya dan siap menaggungung risiko.

Jangan sampai kita berjanji dan terus berjanji tanpa bisa melunasi. Begitu pula saat kita dilanda asmara. Biasanya, orang yang sedang dilanda asmara sering mengobral janji. Sahabat, walaupun diungkapkan dengan nada bergurau, janji tetaplah janji. Kita harus berusaha menepatinya walaupun kita harus mengorbankan banyak hal. Teladanilah Rasulullah SAW. Beliau pernah menunggu orang hingga tiga hari lamanya hanya untuk menepati sebuah janji. Ciri orang munafik yang ketiga adalah khianat tatkala diberi amanat.

Amanat di sini cakupannya sangat luas. Anak adalah amanat bagi orang tua. Istri adalah amanat bagi suami. Begitu pula dengan ilmu, kekayaan, maupun jabatan dan kekuasaan. Semuanya adalah amanat yang harus dijaga dan ditunaikan dengan baik. Suatu kali seseorang pernah menasihati saya, "Aa, jangan sampai tergiur oleh kekuasaan, karena kekuasaan itu manis sekali rasanya tapi menghancurkan. Kalau orang sudah duduk dalam singgasana kekuasaan, ia akan 'susah' turun karena empuknya kursi kekuasaan itu. Bagaimana tidak, ia dilayani dan dihormati secara duniawi. Karena itu, tidak semua orang bisa keluar dari lingkaran kekuasaan".

Kekuasaan yang tidak terkendali biasanya akan berujung pada terbukanya aib diri. Betapa banyak orang yang sebelum berkuasa namanya dikenal baik, tapi setelah berkuasa ia dikutuk banyak orang karena tidak amanat. Saudaraku, hati-hatilah dengan yang namanya amanat kekuasaan. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang buruk. Yang buruk adalah tipu daya kekuasaan yang akan membuat orang terlena dan menjadi tidak amanat. Inilah yang membuat orang mengutuk dan mencaci seorang penguasa. Walaupun demikian, banyak orang yang derajatnya semakin baik setelah ia berkuasa.

Lihatlah bagaimana para khalifah pengganti Rasulullah SAW dan juga Umar bin Abdul Aziz. Walau mereka berkuasa hanya sebentar, tapi namanya tetap harum hingga sekarang. Apa kuncinya? Mereka mengemban kekuasaan dengan sikap amanat. Sayangnya, sekarang timbul kecenderungan semakin lama seseorang berkuasa, maka ia akan semakin dikutuk dan dibenci. Karena itu, bila kita mendapatkan sebuah jabatan dalam level apapun kita jangan berbangga hati dulu, karena jabatan bisa menghinakan. Kita layak berbangga bahkan sujud syukur tatkala kita mampu menjalankan kekuasaan dengan amanat. Wallahu a'lam bish-shawab.



Yuk Bagikan :

Baca Juga