Dan sesungguhnya
Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang
berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar kami menyatakan (baik
buruknya ) hal ihwalmu. (Q.S. Muhammad [47] : 31)
Ada
satu fenomena menarik yang tampaknya dapat menjadi indikasi betapa
sebagian besar manusia kerapkali kurang pandai menentukan skala
prioritas dalam melakukan suatu tindakan ataupun mengerjakan suatu
amalan. Lihatlah, misalnya dalam sebagaian dari prosesi amalan
orang-orang ketika menunaikan ibadah umrah atau haji.
Di Masjidil Haram
ada yang namanya Multazam, yakni satu tempat yang mega mustajab.
Letaknya antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah. Orang-orang yang ingin
mencium Hajar Aswad jumlahnya ratusan. Sehingga
berdesak-desakan. Akan tetapi yang sungguh mengherankan adalah mengapa
orang-orang yang memilih berada di Multazam jumlahnya amat sedikit?
Sungguh tidak sebanding dengan mereka yang mau mencium Hajar Aswad.
Apalagi bila dibandingkan dengan jumlah orang yang thawaf, yang
jumlahnya beratus-ratus apalagi ketika musim haji, jumlah itu bahkan
bisa sampai beribu-ribu.
Padahal
justru tempat inilah yang dijanjikan Allah amat mustajab. Mengapa
gerangan? Sekiranya mau kita banding-banding antara kedua tempat itu,
akan tampak kenyataan bahwa keutamaan (fadhilah) berdoa di Multazam itu, wallahu a’lam, lebih
tinggi daripada mencium Hajar Aswad. Mencium Hajar Aswad itu hukumnya
sunnah; dikerjakan mendapat pahala, tidak dikerjakan sekalipun tidak
menjadi dosa. Akan tetapi, kalau untuk dapat menciumnya saja harus
berdesakan dan berebutan, sehingga sampai-sampai harus saling sikut dan
saling dorong, tidaklah ini termasuk perbuatan zhalim?
Bagi
yang pernah melaksanakan unrah atau haji, pemandangan orang-orang
saling berebut untuk mencium Hajar Aswad itu, memang tampak begitu.
Orang-orang
yang sedang dalam prosesi ibadah umrah/haji itu sendiri akan memaklumi
keadaan itu. Betapa tidak! Untuk sampai dapat menciumnya saja alangkah
susahnya karena setiap orang sama-sama ingin dapat lebih dulu. Apalagi
untuk keluar dari kerumunan setelah usai melakukan ibadah tersebut.
Akibatnya, tangan bisa secara reflek menyikut, mendorong kepala, dan
sebagainya. Alih-alih ingin memperoleh pahala sunnah, malah bisa jadi
kita menyakiti orang lain. Bukankah itu sangat potensial berakibat dosa?
Anehnya
terhadap Multazam yang notabene tempat yang teramat mustajab,
orang-orang sepertinya tidak berminat. Akibatnya, orang-orang yang
mendatangi tempat itu jumlahnya sedikit saja. Sekiranyakita memilih
berdoa disana, suasananya akan terasa relatif tenang karena tidak saling
mengganggu, sehingga kita pun bisa berdoa secara lebih khusyuk.
Dari
kisah yang dipaparkan tersebut hikmah yang dapat dipetik, banyak,
ternyata di antara kita yang kurang memiliki kemampuan untuk menentukan
prioritas (hampir) dalam setiap tindakan. Ketika hendak melakukan
sesuatu, kerapkali kita hanya terdorong oleh rasa suka atau sekadar
karena ingin belaka, yang tentunya tanpa didasari pengetahuan,
pemikiran, dan pertimbangan yang matang.
Oleh karena itu alangkah
bijaksananya kita seandainya dalam mengambil suatu tindakan kuncinya
ternyata terletak pada diri kita sendiri, sekiranya disadari bahwa diri
kita memiliki karakter yang kurang baik, maka keinginan untuk
mengubahnya menjadi baik, bukanlah datang dari orang lain, melainkan
dari diri sendiri. Kesungguhan untuk berproses meniti perubahan dari
waktu ke waktu itulah yang Insya Allah akan membuahkan kedewasaan,
kearifan dan kematangan hidup.
Wallahu a’lam bish showab