Nasib Seorang Supir Bajaj

abatasa | Selasa, 04 Februari 2014 04:56 WIB | 6.595 kali
Nasib Seorang Supir Bajaj
Matahari Jakarta begitu terik. Seperti membakar jalanan yang penuh sesak dengan berbagai kendaraan. Asap knalpot yang keluar dari bermacam-macam kendaraan itu menambah gerah dan panasnya kota Jakarta. Di antara lalu lalang kendaraan itu, seorang laki-laki berusia sekitar 40 tahun tampak berdiri tegak di samping bajaj tuanya.

Cat bajaj yang sudah pudar seperti menegaskan jalan nasib yang dijalaninya. Kedua mata lelaki itu mengamati setiap orang yang melintas di depannya. Sesekali dia menanyakan tujuan dari orang-orang yang ditemuinya. Ada seseorang datang mendekat. Lalu terjadilah tawar menawar harga di antara kedua orang tersebut, dan akhirnya lelaki itu membukakan pintu bajajnya. Bajaj meluncur perlahan. Menyusup di antara ramainya jalanan. Begitulah pekerjaan sehari-hari Sukirno, lelaki kelahiran Purwokerto yang mencoba mengadu nasib di urat nadi kehidupan Jakarta.

Menjadi sopir bajaj sebenarnya bukan tujuan utama baqi kedatangan Sukirno ke Jakarta. Ia datang dengan sebuah obsesi besar, obsesi yang barangkali dapat merubah jalan nasibnya menjadi lebih baik di kemudian hari. Waktu itu tahun 1984. Sukirno pergi meninggalkan kampung halamannya, dan merantau ke Jakarta. Tujuannya hanya satu, yaitu kuliah. Kampus yang dipilihnya pun tidak tanggung-tanggung. Dia mendaftar di jurusan Poltek Universitas lndonesia, sebuah perguruan tinggi terkemuka di kota itu.

Namun obsesi kuliah hanya tinggal obsesi. Sukirno gagal menembus ketatnya persaingan untuk menjadi mahasiswa UI. Dan karena terbentur dengan masalah dana, apalagi dia hidup di suatu tempat yang takmemberi ruang pengampunan bagi mereka yang tidak cermat memanfaatkan peluang kerja, akhirnya Sukirno mengubur obsesinya, dan memilih bekerja di sebuah pabrik melamin di daerah Sunter Jakarta.

Dalam sekejap, nasib telah merubah Sukirno dari yang semula bercita-cita menjadi mahasiswa Poltek kini malah menjadi buruh pabrik. Mau tidak mau, dia harus menerima sekian banyak ketentuan yang diberlakukan oleh hampir tiap pabrik kepada para buruhnya. Sukirno harus siap diperintah, siap menerima tekanan, omelan mandor dan juga kejar target. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Selang dua tahun Sukirno bekerja menjadi buruh pabrik, akhirnya dia memutuskan untuk keluar.

"Saya benar-benar tertekan. Apalagi saya orang yang tidak senang diperintah-perintah. Hal yang paling membuat saya tidak betah bekerja di sana adalah karena waktu shalat di pabrik sangat terbatas. Tempatnya juga tidak layak. Shalat jadi tidak tenang dan seperti diburu-buru karena harus bergantian dengan buruh yang lain. Jangankan untuk bisa mengerjakan shalat sunnah dhuha yang bisa dikerjakan dua rakaat, shalat wajib zhuhur, dan ashar yang empat rakaat saja waktunya sangat singkat’: papar Sukirno mengenang masa lalunya.

Keluar dari pabrik membuat Sukirno berpikir untuk mencari pekerjaan yang lain. Pada tahun 1987 dia berinisiatif membuat SIM bajaj. Dia berniat menjadi sopir bajaj milik saudaranya. Maka, sejak saat itulah dia memutuskan untuk menjadi sopir bajaj. Mencari rezeki di jalanan dengan menjadi sopir bajaj tentu membutuhkan ketabahan dan kesabaran yang serba ekstra. Setiap hari badan harus selalu fit, karena mesti bergulat dengan polusi, panas, macet dan rebutan penumpang yang terkadang berakhir dengan adu fisik sesama sopir. Belum lagi jika berpikir tentang target setoran yang harus dibayar.

Tetapi Sukirno tidak ngotot. Dengan menanamkan prinsip dan niat yang tulus serta tekad yang kuat, dia yakin dapat melewati semua itu. Dia percaya bahwa Tuhan tidak mungkin mengalihkan rezeki yang sudah diperuntukkan bagi seseorang kepada orang lain hanya karena kalah rebutan. Itulah yang diyakini SUkirno selama ini. Apalagi sebelum narik bajaj, dia mempunyai kebiasaan mengerjakan shalat Dhuha yang ditekuni sejak beberapa tahun lalu. Kebiasaan itulah yang membuat Sukirno menjadi tenang, dan sabar menjalani kehidupannya sebagai sopir bajaj.

Waktu terus berjalan membawa suka duka Sukirno sebagai sopir bajaj. Pada tahun 1994, Sukirno mencoba membeli tanah di daerah Bekasi dari hasil tabungannya selama ini. Tanah itu baru lunas lima tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1999. Dan berkat ketekunan, keuletan, kesabaran dan juga doa-doanya, pada tahun 2000 Sukirno dipercaya untuk mengelola satu buah bajaj. Kepercayaan itu ia jaga dengan baik, sehingga pada waktu berikutnya ia malah dipercaya untuk mengelola dua puluh baja.

Kini Sukirno semakin eksis sebagai pengelola bajaj. Ada sekitar 48 orang yang menjadi pengemudi bajaj kelolaannya. Sebagai seorang pengelola bajaj, tentu Sukirno tidak perlu lagi mengemudi bajaj untuk mendapatkan rezeki. Nasibnya telah berubah dari seorang pengemudi bajaj menjadi pengelola bajaj. Sebuah prestasi yang tidak pernah disangkasangka sebelumnya.

Untuk meraih sebuah kesuksesan orang memang mem-butuhkan modal berupa uang. Akan tetapi sebuah kepercayaan merupakan modal yang tidak kalah pentingnya untuk dijaga, selain itu ibadah juga merupakan jembatan yang harus ditegakkan.

Dikutip dari buku Kisah - Kisah Ajaib Pengubah Hidup!
Penulis Ustadz Amrin Ali Hasan


Yuk Bagikan :

Baca Juga