Pernahkah anda merasakan bumi yang kira diami ini menjadi sempit sehingga napas kira menjadi sesak? Jika belum, dengarlah kisah Ka’ab bin Malik lima belas abad yang lampau. Ketika Nabi, yaitu Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Mararah bin Rabi’ah.
Ka’ab bercerita, "Ketika kudengar berita bahwa Nabi telah kembali dari Tabuk, terpikir dalam hatiku untuk berdusta. Aku berpikir bagaimana supaya selamat dari kemurkaan Nabi. Namun ketika Nabi sudah sampai di Madinah, aku berpikir bahwa aku tidak akan selamat sedikit pun. Aku kemudian memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya mengapa aku tidak ikut berperang bersama beliau. " Nabi datang di Madinah. Aku temui dia. Beliau tersenyum marah
"Kemarilah, " ujar Nabi. Aku duduk di dekat beliau.
Nabi yang mulia bertanya, Apa yang menyebabkanmu tidak ikut berperang?."
Aku berkata, "ya rasul Allah, jikalau aku menghadap penduduk dunia selain engkau, tentu aku sanggup menyelamatkan didi dari kemurkaan dengan mengajikan alasan, tetapi demi Allah, sekiranya aku berdusta kepada engkau agar engakau ridha, mungkin Allah segera membuatmu marah kepadaku. Demi Allah, waktu aku meninggalkan diri, aku berada dalam keadaan yang baik (dan mampu berperang)."
Rasul bersabda, " Orang ini bebicara benar. Pergilah sampai Allah memberikan keputusan tentang kamu"
Nabi kemudian mengisolir Ka’ab dan keduan temannya sampai datang putusan dari Allah. Nabi melarang kaum Muslim berbicara kepada mereka bahkan, istri mereka pun kemudia dilarang mendekati mereka. Wajah umta Islam berubah kalau melihat Ka’ab. Mereka segera memalingkan wajahnya.
Ka’ab bercerita, "Aku shalat berjama’ah bersama kaum Mslimin. Aku berkeliling kota dan pasar. Tidak seorangpun menegurku. Aku darangi Rasul sesudah shalat. Aku ucapkan salam kepadanya. Aku ingin tahu apakah beliau menggerakkan bibirnya membalas salamku. Aku shalat di dekatnya dan mencoba melirik kepadanya, usai shalat beliau melihatku, tetapi segera memalingkan wajahnya ke arah lain Aku tinggalkan Nabi. Aku berjalan dan berjalan, sampai ke rumah saudara sepupuku, Abu qatadah. Kuucapkan salam tetapi demi Allah ia tidak menjawab salamku."
Aku berkata, "hai abu Qatadah, tahukah engkau bahwa aku mencintai Allah dan Rasul-Nya? Aku ulangi beberapa kali. Abu Qatadah hanya diam. Aku ulangi lagi. Ia menjawab, "allah dan Rasul-nya lebih tahu, " air mata menggelegak di pelupuk mataku. Aku beranjak dari rumahnya.
Kejadian ini berlangsung lima puluh hari. Ka’ab dan kedua kawnnya mengasingkan diri di sebuah bukit keluarganya mengantarkan makanan kepada mereka. Suatu hari Ka’ab berkata, "orang - orang dilarang bicara kepada kita. Kita pun sepatutnya tidak saling bicara. Setelah itu mereka tinggal berjauhan. "
Datang pula utusan dari syam yang bermaksud merangkul Ka’ab dan kedua temannya agar membelot dari islam dan bergabung dengan non-Muslim.
Ka’ab berkata, " Tawaran ini juga bagian dai cobaan."
Ka’ab menampiknya dan tetap setia dalam islam meski telah diisolir oleh umat islam setiap hari Ka’ab dan kedua rekannya berdo’a, beristigfah dan menangis. Setelah lima puluh hari. Allah menurunkan ayat:" dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. " (QS At-Tawbah : 118 )
Ka’ab mendengar berita pengampunan ini setelah subuh. Ia memeluh pembawa berita. Ia rebahkan dirinya bersujud syukur. Segera ia temui rasul. Rasul menyambutnya dengan senyum yang bersinar. Ketika melihat sambutan Nabi seperti itu (yang berbeda dengan sebelumnya). Ka’ab tidak dapat menahan air matanya. Ia menciumi tangan dan kaku Rasul yang mulia. Karena ia mendapat ampunan itu berkat kejujurannya, ia berjanju bahwa sejak itu lidahnya tidak akan pernah mengucapkan kebohongan.
( Tafsir al -Durr Al-Mantsur 4:309-315; Jalaluddin Rakhmat, 1993 : 77-80 )
dikutip dari : La Tahzan Kumpulan Kisah Inspiratif