`Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu `anhu menulis surat kepada `Abdullah
bin `Abbas Radhiyallahu `anhu yang isinya, "Amma ba`du. Sesungguhnya
seseorang merasa rugi dengan sesuatu yang hilang darinya, padahal hal
itu tidak akan bisa ia dapatkan dan merasa bahagia dengan mendapatkan
sesuatu yang pasti ia dapatkan. Maka berbahagialah dengan apa-apa yang
aku ucapkan dari urusan akhirat dan menyesallah dari sesuatu yang hilang
darimu akan urusan akhirat, janganlah terlalu bahagia dengan apa yang
engkau dapatkan dari urusan dunia. Dan jadikanlah semua fikiranmu
tertuju kepada sesuatu yang terjadi setelah kematian. "
Aku melihat pencari dunia, walaupun umurnya panjang, dan mendapatkan kebahagiaan, juga kenikmatan darinya.
Bagaikan seorang tukang bangunan yang membangun, setelah bangunan yang ia buat berdiri tegak, maka bangunan itu roboh. [1]
Saudaraku tercinta...
Sebab kegalauan hidup itu ada lima macam dan seyogyanya seseorang merasakan kegalauan karena kelima macam tersebut:
Pertama : Kegalauan karena dosa pada masa lampau, karena dia
telah melakukan sebuah perbuatan dosa sedangkan dia tidak tahu apakah
dosa tersebut diampuni atau tidak? Dalam keadaan tersebut dia harus
selalu merasakan kegalauan dan sibuk karenanya.
Kedua : Dia telah melakukan kebaikan, tetapi dia tidak tahu apakah kebaikan tersebut diterima atau tidak.
Ketiga : Dia mengetahui kehidupannya yang telah lalu dan apa yang
terjadi kepadanya, tetapi dia tidak mengetahui apa yang akan menimpanya
pada masa mendatang.
Keempat : Dia mengetahui bahwa Allah menyiapkan dua tempat untuk
manusia pada hari Kiamat, tetapi dia tidak mengetahui ke manakah dia
akan kembali (apakah ke Surga atau ke Neraka)?
Kelima : Dia tidak tahu apakah Allah ridha kepadanya atau membencinya?
Siapa yang merasa galau dengan lima hal di atas dalam kehidupannya, maka tidak ada kesempatan baginya untuk tertawa. [2]
Ibrahim at-Taimi rahimahullah berkata, "Berapa jarak antara kalian
dengan mereka (orang-orang shalih)? Dunia datang kepada mereka, tetapi
mereka meninggalkannya, dan dunia meninggalkan kalian, tetapi kalian
terus mengejarnya." [3]
Seakan-akan engkau tidak mendengar berita orang-orang terdahulu, dan
tidak melihat apa yang dilakukan oleh zaman terhadap mereka yang ada.
Jika engkau tidak tahu, maka itu semua adalah rumah-rumah mereka, yang dihancurkan oleh angin dan hujan.
Demikianlah mereka semua telah berlalu dan orang yang ada sekarang ini, berlalu sehingga mereka semua kelak dikumpulkan.
Sampai kapan engkau tidak bangkit sedangkan waktu yang ditentukan telah
dekat dan sampai kapan bendungan di dalam hatimu tidak terbelah.
Sungguh engkau akan bangkit ketika semua penutup telah terbuka dan
engkau akan mengingat kata-kataku ketika tidak bermanfaat lagi apa yang
engkau ingat.
Abu Dzarr al-Ghifari Radhiyallahu `anhu berdiri di dekat Ka`bah dan
berkata, "Wahai manusia, aku adalah Jundub al-Ghifari, marilah kita
menuju saudara kita yang selalu memberikan nasihat." Lalu yang lainnya
berkerumun mengelilinginya, beliau berkata, "Bagaimana pendapat kalian
jika hendak melakukan perjalanan, bukankah dia akan menyiapkan
perbekalan dan segala sesuatu yang dibutuhkannya?" Mereka semua
menjawab, "Tentu saja." Lalu dia berkata lagi, "Sesungguhnya perjalanan
menuju akhirat adalah lebih jauh, maka ambillah segala sesuatu yang
kalian butuhkan!" Mereka semua bertanya, "Apa yang kami butuhkan itu?"
Beliau berkata, "Lakukanlah haji sebagai persiapan untuk masalah-masalah
yang sangat besar. Berpuasalah pada suatu hari yang sangat panas
sebagai bekal untuk hari di mana semua manusia dikumpulkan. Lakukanlah
shalat dua raka`at di malam yang gelap sebagai persiapan bagi ketakutan
di dalam kubur, sebuah kalimat yang baik engkau katakan atau diam untuk
tidak mengungkapkan kata-kata yang jelek sebagai bekal bagi hari yang
sangat agung, bershadaqahlah dengan hartamu agar engkau selamat pada
hari yang penuh dengan kesulitan, jadikanlah dunia menjadi dua majelis:
satu majelis untuk mencari yang halal (rizki) dan satu majelis untuk
mencari kebahagiaan di akhirat, sedangkan yang ketiganya akan
mencelakakanmu dan tidak bermanfaat bagimu. Bagilah harta itu menjadi
dua dirham, satu dirham dinafkahkan untuk keluarga dan satu dirham
lainnya engkau persembahkan untuk akhirat."
Saudaraku semuslim...
Lihatlah orang yang mendapatkan dunia dan per-hiasannya, apakah dia pergi dengan membawa selain amal dan kafan.
Al-Hasan al-Bashri, kehidupannya sangat berbeda dengan kehidupan kita,
beliau rahimahullah berkata, "Aku mendapati suatu kaum (para Sahabat
Nabi) dan bersanding dengan beberapa orang dari mereka, mereka sama
sekali tidak merasa senang dengan dunia yang didapatkan dan sama sekali
tidak mengejar dunia yang lari dari mereka. Dunia di mata mereka lebih
hina daripada tanah, bahkan salah satu di antara me-reka hidup selama
lima puluh tahun atau enam puluh tahun. Akan tetapi ia tidak pernah
memiliki pakaian yang cukup dan tidak pernah memiliki tungku yang baik,
ia sama sekali tidak membuat penghalang antara tanah dengan dirinya dan
tidak pernah memerintahkan orang yang ada di rumahnya untuk membuat
sebuah makanan baginya. Tetapi ketika malam tiba, mereka menancapkan
kedua kaki dengan berdiri dan menghamparkan wajah-wajah mereka untuk
bersujud, air mata berlinang, mengalir di garis wajah mereka dengan
bermunajat kepada Rabb dalam kebebasan mereka. Jika mereka melakukan
suatu kebaikan, maka mereka selalu mensyukurinya dan memohon kepada
Allah agar amal itu diterima. Dan jika mereka melakukan kejelekan, maka
perasaan sedih selalu menghantui dan mereka pun terus memohon kepada
Allah agar diampuni. Demi Allah, mereka sama sekali tidak akan selamat
dari dosa kecuali dengan ampunan Allah sebagai kasih-sayang dan karunia
bagi mereka."[4]
Saudaraku tercinta, di manakah kita di antara mereka?!
Engkau menyambungkan dosa dengan dosa dan berharap mendapatkan, Surga dan kebahagiaan ahli ibadah dengannya.
Dan engkau lupa sesungguhnya Allah mengeluarkan Adam, darinya menuju dunia hanya karena satu kesalahan (dosa).
Kita -wahai saudaraku- mencari kenikmatan dan kebahagiaan dengan menjauhi segala kekeruhan.
Inilah keadaan kita, adapun keadaan Abud Darda` sebagaimana yang
digambarkan oleh beliau dalam ungkapannya, "Aku mencintai kefakiran
karena kerendahan hatiku kepada Allah, aku mencintai kematian karena
kerinduanku kepada-Nya, dan aku mencintai kondisiku dalam keadaan sakit
sebagai penghapus atas dosa-dosaku."[5]
Manusia memiliki ketamakan terhadap dunia dengan rencananya, sedangkan kejernihannya telah tercampur dengan kekeruhan.
Setelah dunia itu dibagikan, sebenarnya mereka sama sekali tidak
dikaruniai rizki karena akal mereka, akan tetapi mereka dikaruniai
dengan takdir Allah.
Berapa banyak orang yang beradab lagi cerdas tetapi dunia tidak memihak
kepadanya dan berapa banyak orang bodoh yang mendapatkan dunia hanya
dengan kelalaian.
Seandainya dunia itu didapatkan dengan kekuatan atau dengan
menggulingkan, niscaya elang akan terbang dengan membawa makanan burung
pipit. [6]
Dunia walaupun dia adalah sesuatu yang sangat hina, hanya saja dia
adalah sebuah lorong perjalanan menuju akhirat dan sebuah jembatan
menuju dua tempat, Surga atau Neraka. Marilah kita melihat satu lorong
yang mengantarkan seseorang menuju Surga, yaitu amal (shalih) di dunia.
Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
"Seseorang dari kalangan sebelum kalian dihisab akan tetapi tidak
didapat darinya satu kebaikan pun hanya saja dia adalah orang yang
selalu bergaul dengan selainnya yang ada dalam keadaan sulit, dia
memerintahkan anak mudanya untuk membayarkan hutang orang yang sulit
tadi. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman, `‘Aku sebenarnya lebih berhak
untuk melakukannya, maka ampunilah ia.`" [HR. Al-Bukhari dan Muslim dengan lafazh milik Muslim]
Imam asy-Syafi`i rahimahullah berkata, "Amal yang paling sulit adalah
tiga macam: berderma dalam keadaan sulit, wara` dalam keadaan menyendiri
dan sebuah ungkapan yang hak di hadapan orang yang diharapkan dan orang
yang ditakuti."[7]
Al-Hasan rahimahullah berkata, "Esok hari setiap orang sesuai dengan apa
yang menjadi beban fikirannya dan setiap orang yang memikirkan sesuatu,
maka dia akan banyak mengingatnya. Sesungguhnya tidak ada dunia bagi
orang yang tidak memikirkan akhirat. Dan siapa saja yang lebih
mementingkan dunia daripada akhirat, maka dia tidak akan mendapatkan
dunia dan akhirat."[8]
[Disalin dari kitab Ad-Dun-yaa Zhillun Zaa-il, Penulis `Abdul Malik bin
Muhammad al-Qasim, Edisi Indonesia Menyikapi Kehidupan Dunia Negeri
Ujian Penuh Cobaan, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu
Katsir]
Footnotes
[1]. Irsyaadil `Ibaad, hal. 120.
[2]. Tanbiihul Ghaafiliin (I/213).
[3]. Shifatush Shafwah (III/90) dan as-Siyar (V/61).
[4]. Al-Ihyaa` (IV/239).
[5]. Az-Zuhd, hal. 217.
[6]. Taariikhul Khulafaa`, hal. 171.
[7]. Shifatush Shafwah (II/251).
[8]. Hilyatul Auliyaa`, hal. 144