Tak Takut Miskin Karena Memberi

abatasa | Kamis, 13 Juni 2013 05:33 WIB | 9.752 kali
Tak Takut Miskin Karena Memberi
"Apakah kemiskinan itu, Bu? Anak-anak di taman bilang kita miskin. Benarkah itu, Bu?" tanya sang anak.
"Tidak, kita tidak miskin, Aiko," jawab ibunya.
"Apakah kemiskinan itu?" Aiko, sang anak, bertanya lagi.
"Miskin berarti tidak mempunyai sesuatu apapun untuk diberikan kepada orang lain." Aiko agak terkejut.
"Oh? Tapi kita memerlukan semua barang yang kita punyai, apakah yang dapat kita berikan?" katanya menyelidik.

"Kau ingatkah perempuan pedagang keliling yang ke sini minggu lalu? Kita memberinya sebagian dari makanan kita kepadanya. Karena ia tidak mendapat tempat menginap di kota, ia kembali ke sini dan kita memberinya tempat tidur."

"Kita menjadi bersempit-sempitan," jawab Aiko.
Tapi sang ibu tak kalah sigap. "Dan kita sering memberikan sebagian dari sayuran kita kepada keluarga Watari, bukan?" katanya.
"Ibulah yang memberinya. Hanya saya sendiri yang miskin. Saya tak punya apa-apa untuk saya berikan kepada orang lain."

Sang ibu tersenyum dan memberikan pandangan teduh pada anaknya."Oh, kau punya. Setiap orang mempunyai sesuatu untuk diberikan kepada orang lain. Pikirkanlah hal itu dan kau akan menemukan sesuatu."

Tak lama setelah itu, sang anak pun mendapatkan jawabannya. "Bu! Saya mempunyai sesuatu untuk saya berikan. Saya dapat memberikan cerita-cerita saya kepada teman-teman saya. Saya dapat memberikan kepada mereka cerita-cerita dongeng yang saya dengar dan baca di sekolah."

"Tentu! Kau pintar bercerita. Bapakmu juga. Setiap orang senang mendengar cerita."
"Saya akan memberikan cerita kepada mereka, sekarang ini juga!"

**

Dialog tersebut dapat ditemukan dalam kumpulan kisah-kisah inspiratif, Aiko and Her Cousin Kenichi. Dialog antara ibu dan anak itu, telah meneguhkan sebuah kesadaran besar, bahwa setiap kita bisa memberi. Ini lebih dari sekadar sebuah kesadaran sosial. Tapi kesadaran untuk menjadi berarti lantaran membagi kebahagiaan untuk orang lain.

Akhlak tentang kesadaran terhadap kehidupan orang lain, dimiliki oleh qudwah yang tak ada bandingnya, yakni Rasulullah saw. Utusan Allah itu bahkan disebut sebagai "orang yang tak takut miskin karena memberi".

Dialah yang menanamkan prinsip menolong orang lain untuk menolong diri sendiri. Perhatikanlah bagaimana sabdanya, "Allah swt selalu menolong seoarng hamba, selama hamba itu menolong saudaranya." Atau, sabdanya yang lain, "Barangsiapa yang memberi kemudahan kepada saudaranya, maka Allah akan memberi kemudahan baginya di dunia dan akhirat."

Itu adalah prinsip memberi dan menerima yang ditanamkan Rasulullah saw. Memberi kepada sesama dan hanya terobsesi untuk menerima dari Allah swt. Sehingga pada praktiknya, prinsip itu berubah menjadi memberi dan memberi, give and give. Sebab penerimaan itu tidak datang dari manusia tapi dari Allah swt.

Mengajak untuk peduli sosial, memberi bantuan kepada orang lain, menolong atau memberikan jasa, mengeluarkan infaq dan sedekah, sering memunculkan pertanyaan, "Bagaimana saya bisa membantu orang lain? Saya sendiri dalam kondisi kurang dan membutuhkan." Sementara Rasulullah saw menanamkan nilai bersedekah ini, justru pada saat seseorang sulit mengeluarkannya.

Suatu hari datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw dan bertanya, "Ya Rasulullah, sedekah apa yang paling besar pahalanya?" Rasulullah saw mengatakan, "Engkau bersedekah sedangkan engkau sedang dalam kondisi sehat, sangat membutuhkan, takut miskin, dan punya obsesi menjadi kaya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menjelaskan bahwa dalam situasi sesorang bertanya, "Apa yang bisa saya bantu, karena saya juga dalam kondisi membutuhkan" tadi itulah, bobot pahala sedekah. Semakin seseorang berada pada posisi dilematis antara keinginan dirinya terhadap apa yang akan disedekahkan, semakin tinggi nilai sedekahnya jika benar-benar dilakukan. Tentu saja kesadaran memberi kepada orang lain, tidak selalu berupa benda, materi, uang, atau bantuan yang memiliki nilai nominal. Tapi bisa berupa pikiran, waktu, ide-ide, fisik, atau apapun yang bisa kita beri dan bermanfaat.

Sekarang, kita layak bertanya pada diri sendiri, apa yang akan kita berikan untuk orang lain? Ingat, setiap kita punya sesuatu yang bisa kita berikan kepada orang lain. Pikirkanlah baik-baik apa sesuatu itu. Niscaya kita akan menemukannya.

***

Sumber: Tarbawi Edisi 146 Th. 8 Dzulhijjah 1427 H / 4 Januari 2007


Yuk Bagikan :

Baca Juga