Dia dan Chat

abatasa | Jum'at, 07 Juni 2013 06:03 WIB | 4.198 kali
Dia dan Chat
Pegawai wanita itu mematikan perangkat komputer. Dia bercerita tentang kisah sahabatnya sebagai berikut.
Penampilannya menawan, tetapi dia terlihat pucat, pendiam, dan jarang berbicara; dia juga berasal dari keluarga terpandang. Semua karyawan mengkritiknya karena dia sering menyepi dan menyendiri. Dia rekan baru yang bekerja bersama kami.

Suatu ketika, aku mencoba memancingnya keluar dari kesendiriannya dengan cerita-cerita lucu. Pada saat yang lain, dengan memberikan makanan. Aku mencoba mengorek isi hatinya, namun setiap saat aku merasa ada dinding yang menghalangiku.

Aku sedikit mengenalnya. Ayah dan ibunya berpendidikan tinggi, dosen di universitas. Dia sendiri baru lulus, sudah menikah dan menunggu kejadian bahagia. Setiap yang dia ceritakan kepadaku tidak sampai pada poin yang menyebabkan dia menjadi pendiam dan suka menyendiri.

Suatu hari, aku dikagetkan oleh dia yang berdiri terpaku di depan pintu. Aku berdiri menyambutnya. Dia hanya menatapku menyelidik, "Apa ini?" tanyanya.

"Komputer alat aku bekerja. Seperti yang kamu ketahui, dia adalah media modern. Aku tidak pernah meninggalkannya baik di rumah maupun di kantor," jawabku.

"Apa yang kamu perbuat dengan komputer ini di rumah? Apakah kamu menyelesaikan pekerjaanmu?"
"Tidak. Aku membukanya untuk mengetahui kondisi manusia dan berita mereka melalui internet/’ jawabku santai. Aku terkejut melihatnya kaget dan gelisah.

"Demi Allah. Kamu jangan begitu. Aku mencintaimu karena Allah. Alat ini adalah perusak, dia menghancurkan hidup pemiliknya," ungkapnya dengan penuh semangat. Aku heran dengan sikapnya ini. Setelah agak tenang, dia meminta izin untuk pergi. Aku ingin menayai tentang maksudnya, tetapi dia diam. Aku membiarkannya dan aku bertanya-tanya, "Kenapa alat ini menjadi perusak. Padahal alat ini bisa untuk mengatur hidup kita?"

Hari berikutnya, aku pergi menemuinya, aku ingin mengetahui penyebabnya. Aku mengucapkan salam, dia menjawabnya dan tidak lebih. Aku mulai berbasa-basi dan tiba- tiba aku bertanya, "Kenapa kamu bilang komputer itu alat perusak yang menghancurkan pemiliknya?"

Dia memandangku dengan pandangan penuh selidik. Kemudian berkata, "Apakah kamu masuk ’room’?"
"Ya. Pasti," jawabku.
Bibirnya gemetar dan dia bertambah pucat. Dia mulai menggumam dengan beberapa kata yang tidak jelas, tapi itu menunjukkan keterkejutannya.

Dia memandang kepadaku dengan pandangan belas kasihan memelas, "Saudari, apakah kamu mau menerima nasihat dari seorang saudari yang menyayangimu. Laman ini dulu juga menjadi kesibukanku dan ruang chat menurutku yang paling penting. Dari sana, aku mengenal seorang pemuda yang menarik hatiku dengan banyak berbincang. Urusan ini terus berlanjut sampai dia mengundangku di room khusus agar dia bisa menanyaiku tentang pribadiku dan aku juga bisa menanyainya tentang pribadinya. Hubungan antara kami semakin kuat. Masing-masing dari kami seperti cermin untuk yang lain, walaupun dia belum pernah melihatku dan aku juga belum pernah melihatnya."

"Sayangnya, aku tidak berterus terang kepada kedua orang tuaku tentang hubungan ini. Aku keranjingan duduk berjam- jam mengobrol dengan pemuda itu. Anehnya, kedua orang tuaku tidak pernah bertanya kepadaku. Apakah ini kesalahan mereka atau kesalahanku? Aku tidak tahu."

"Hubungan kami semakin berkembang. Dia mengajakku bertemu. Sungguh aku tidak pernah membayangkan hubungan ini akan berkembang segawat ini. Dia menenangkanku bahwa pertemuan ini akan berlangsung di tempat umum sehingga dia bisa melihatku seperti yang dia lukis di dalam khayalnya. Tanpa ragu-ragu, aku setuju dan menemuinya. Aku menghela napas panjang dan melepaskannya. Saat dia melihatku, dia berkata, ’Persis seperti yang aku bayangkan.’ Dia duduk dan berkata lagi, ’Kita dilahirkan untuk menjadi satu. Aku ingin kamu menjadi istriku.’

’Tapi aku masih belum menyelesaikan pendidikanku,’ jawabku.
’Tidak apa-apa kita menikah setelah kamu menyelesaikan pendidikan, apalagi akhir tahun tinggal beberapa bulan lagi. Kita bisa menyiapkan rumah tangga dan kita juga bisa mempersiapkan diri untuk itu,’ ujarnya.

"Bagaimana dia menundukkanku, aku tidak tahu. Aku bercerita kepada kedua orang tuaku bahwa saudara dari sahabatku hendak melamar. Aku tidak menceritakan hal sebenarnya dan aku memujinya."

"Pernikahan pun dilangsungkan di hotel mewah. Dia royal dan murah hati dalam membeli tanda mata dan hadiah serta mempersiapkan peralatan rumah tangga. Aku terbang ke kota tempat dia bekerja. Dia memperlakukanku dengan halus, sampai aku merasa iri kepadanya, namun di dalam hatiku berbicara lain. Dia mulai memaksaku untuk bekerja sehingga aku tidak kesepian. Aku benar-benar pergi bekerja. Perusahaan memintaku bekerja lembur, aku terkejut melihat suamiku memotivasiku untuk itu. Dia beralasan, pihak perusahaan percaya kepadaku dan pasti aku mempunyai nilai plus di mata mereka. Aku bekerja sehari penuh, mulai pagi hingga malam."

"Tiba-tiba, suatu hari, aku merasa letih, lalu aku meminta izin untuk pulang. Biasanya suami yang mengantar dan menjemputku di kantor. Aku menghentikan taksi. Sampai di rumah, aku memutar daun pintu, namun pintu terkunci. Aku mengetuk pintu dan dia membukanya beberapa saat kemudian; dia tampak gugup. Aku bertanya, mengapa dia mengunci pintu, namun dia lari dan tidak mau menjawab."

"Aku masuk ke kamar tidur. Aku menemukan baju tidur berceceran di lantai. Aku tidak peduli. Karena aku kelelahan dan pusing maka aku segera terlelap. Setelah bangun, aku teringat kejadian tadi dan jalannya peristiwa. Rasa ragu dan curiga menghantui hatiku, tapi aku tidak menanyainya dan aku berpura-pura tidak peduli. Dia memaksaku untuk pergi ke dokter untuk periksa. Di sana, dokter membawa kabar gembira untuk kami. Aku melihatnya terkejut dan bermuka masam, tidak seperti suami-suami lain yang gembira dengan kehadiran anak pertama. Dia beralasan, waktunya tidak tepat."

"Beberapa hari kemudian, aku pulang dari kerja secara mendadak. Masya Allah, apa yang aku lihat. Aku mendadak berhenti. Aku melihatnya bersama wanita lain. Air mata memenuhi kelopak mata sang wanita. Dia berusaha menyembunyikannya dengan berpaling. Dia menundukkan kepala dan menutupnya dengan tangan. Diam sebentar kemudian santai lagi. Aku melihatnya dan dia melihatku. Kenapa aku harus melihat mereka di kamar tidurku?

Bumi terasa berguncang bagiku dan membuatku sesak. Karena terkejut dengan yang aku lihat, aku tidak mengucapkan satu patah kata pun. Aku menunggu di luar, sampai gadis simpanan itu keluar. Lalu aku membereskan barang-barangku, sedangkan suamiku tidak mengeluarkan satu kata pun. Aku pulang ke rumah keluargaku dengan pesawat pertama."

"Aku adalah korban dari perangkat laknat ini yang mempermainkan hidup manusia dan mengancam masa depan mereka."

"Sekarang, aku seperti yang kamu lihat, seorang janda, padahal aku masih muda. Ini adalah harga yang harus kubayar untuk dustaku terhadap kedua orang tuaku dan rasa percaya yang aku berikan kepada orang lain tanpa waspada."

"Setelah terlambat, aku baru tahu bahwa perangkat ini mengandung madu dan racun. Dan racunnya lebih banyak daripada susunya. Ketahuilah, Saudariku, segala sesuatu yang menggelitik dadamu dan kamu tidak ingin diketahui orang lain, itu adalah dosa, maka hindarilah. Maka kamu akan selamat dan juga hidup serta masa depanmu akan selamat."

Dikutip dari Kisah Kisah Penggugah Jiwa.
karya Abdurrahman Bakar


Yuk Bagikan :

Baca Juga