PADA suatu hari ketika sedang berkecamuk Perang Uhud, Rasulullah
mengangkat pedang, lalu bersabda kepada para sahabat yang ada waktu itu,
"Siapakah di antara kalian yang mau menerima dan menggunakan pedang
ini?
Para sahabat hampir semua mengulurkan tangannya seraya berkata, "Saya,
saya," sahut mereka.
Melihat reaksi para sahabat demikian kemudian Rasulullah bersabda lagi
dengan suara agak tinggi, "Siapakah di antara kalian yang mau menerima
dan menggunakan pedang ini dengan penuh tanggung jawab"?
Karena disertai dengan kata-kata tanggung jawab, untuk beberapa saat
tidak ada yang menjawab. Akan tetapi, tidak terlalu lama, kemudian Abu
Dujanah salah seorang di antara mereka yang duduk cukup jauh dari
baginda Rasul, berteriak sambil berkata, "Wahai utusan Allah insya Allah
saya mau menerimanya dengan penuh tanggung jawab".
Tanpa berpikir kembali kemudian Rasulullah memberikan pedang tersebut
kepadanya sambil berkata, "Semoga engkau bisa menggunakannya dengan
sebaik-baiknya".
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa pada peperangan tersebut Abu
Dujanah berhasil memenggal leher orang-orang musyrik yang akan
membahayakan kaum Muslimin.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Abu Dujanah adalah seorang sahabat
Rasul yang tidak begitu populer di kalangan kaum Muslimin. Kalau
kebetulan Rasulullah mengadakan suatu musyawarah dengan para sahabat
yang lainnya tentang sesuatu hal, Abu Dujanah senantiasa mengikutinya
dengan baik, ia memiliki perhatian besar terhadap keselamatan kaum
Muslimin dan perjuangan Rasulullah sekalipun kalau ada
musyawarah/pertemuan tertentu duduknya selalu berjauhan dengan baginda
Rasul.
Abu Dujanah menerima pedang dari Rasulullah dalam keadaan kritis dan
krisis sehingga ini merupakan amanah yang cukup berat. Ia tahu memegang
pedang bukan untuk tidak berbuat apa-apa, hanya sensasi atau hanya untuk
membela diri sendiri yang kemudian disalahgunakan. Akan tetapi, ia harus
berbuat banyak untuk kepentingan bersama, kepentingan kaum Muslimin
bahkan kalau perlu ia harus berani memenggal leher musuh yang
nyata-nyata memang akan membahayakan Rasulullah dan kaum Muslimin.
Demikian prinsip Abu Dujanah.
Dari cerita singkat di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa pertama
memilih pemimpin yang betul-betul bertanggung jawab itu memang susah.
Kedua, bagi kaum Muslimin dalam memilih seseorang yang akan memangku
jabatan atau kedudukan tertentu, harus betul-betul pandai memilih orang
yang profesional, amanah, memiliki visi dan misi yang jelas, setiap
kebijakannya siap untuk dipertanggungjawabkan baik kepada yang
memilihnya itu sendiri, atau kepada Allah SWT.
Ketiga, dalam memilih orang yang akan memangku jabatan tertentu, tidak
mesti orang yang hanya memiliki kepopuleran dan terkenal, sementara
kemampuannya masih dipertanyakan.
Keempat, dalam konteks lain Rasulullah pernah mewanti-wanti kepada kita
bahwa dalam suatu proses pemilihan pemimpin, jangan sekali-kali suaramu
diberikan (memilih) kepada calon pemimpin yang terlalu ambisius.
Adalah diri sendiri, pemimpin keluarga, pemimpin masyarakat termasuk
pemimpin bangsa dan negara merupakan amanah yang mau tidak mau, senang
ataupun tidak, akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Mahkamah
Yang Mahaagung Allah SWT. Yang tidak mungkin ada kekeliruan yang benar
menjadi salah, yang salah menjadi benar, manipulasi data, laporan
fiktif, dan lain sebagainya.
Setiap perkara yang diajukan kepadaNya didasarkan kepada laporan
jaringan makro yang bernilai kontrol lensa Sunatullah. Bukan hanya
kiprah lahiriah, tetapi bisikan batin yang paling halus di dasar kalbu
pun bisa dideteksi secara cermat dan akurat.
Oleh karena itu, pandai-pandailah dalam memilih pemimpin dan
hati-hatilah apabila hendak memegang amanah. Wallahu ’alam bi
al-shawab.***